Belakangan ini muncul website dan blog yang tak jelas
juntrungannya. Mereka pakai embel-embel provokatif. Sebarkanlah! Dan kata-kata
bombastis sejenisnya.
Kata-kata yang sering dipakai adalah share ke yang lain,
bagikan, atau simpan. Kadang disertai ancaman seperti surat berantai di masa
lampau. Kalau tidak di-sharing akan mendapat petaka, bencana dan duka lara.
Uang hilang, dompet dicopet, mobil nabrak, atau anak disambar kereta.
Fenomena ini makin menggila saat pilpres. Beberapa tokoh
medsos memelintir berita, mengomentari lalu menjatuhan lawan politiknya. Hal
ini juga dilakukan oleh media partisan.
Apakah pasca pilpres era sharing membabi buta ini sudah
berakhir? Belum dan malah menjadi-jadi. Kalau dulu hanya berkutat di soal SARA
dan politik, kini lebih bervariasi.
Di bidang kesehatan, muncul berita menakjubkan. Daun X bisa
menyembuhkan kanker yang sudah diderita puluhan tahun. Atau kulit buah bisa
menyehatkan jantung? Sahihkah berita tersebut. Dari mana sumbernya? Hasil
penelitian atau bualan tukang jamu di depan Krisna Teater di samping alun-alun
kota Magelang era 80-an? Dan kalau ada orang apes yang mengikuti petunjuk blog
gak jelas itu lalu sekarat, siapa bertanggung jawab? Penulis atau penyebar
berita terakhir ke orang itu?
Di bidang gosip selebriti, bermunculan judul seperti koran
merah. Terungkap si Y ternyata punya simpanan. Setelah dibaca ternyata punya
simpanan uang di bank (nah loh). Atau si A bicara blak-blakan di sini! Apa yang
dibicarakan? Film terbarunya!
Para motivator pun memanfaatkan momen ini. Yang Like dan
sharing berita ini bisa memiliki rumah di tahun 2016. Paranormal tak mau
ketinggalan. Yang Aamiin dan sharing akan dimudahkan jodohnya. Benarkah ketika
kita share artikel itu kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan?
Di bidang politik, masih saja pelintir memelintir. Orang akan
menshare berita yang mendukung opininya. Fakta sama bisa ditulis bertolak
belakang oleh media yang berseberangan. Jarang yang mau membaca berita dari
kedua kubu secara obyektif.
Ada kesamaan pola dari blog pemuja pageview itu: membuat
judul bombastis untuk menarik minat baca. Kadang antara judul dan isi berita
tidak nyambung. Saya tidak tahu apakah tulisan seperti ini bisa dikategorikan
berita yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dengan 5W dan 1H.
Celakanya, banyak netizen di negeri ini yang malas membaca.
Jika judulnya terlihat menarik, langsung share tanpa membaca secara utuh.
Kadang ada kampret atau kecebong yang share berita tahun lalu yang dipelintir
oleh panutan mereka menjadi seperti berita kekinian. Lebih celaka lagi, para
pesharing berita gelap gulita ini juga datang dari mereka yang berpendidikan
tinggi. Mereka bukan oon tetapi hanya malas membaca berita utuhnya.
Maka jangan heran kalau ada berita PHK tahun lalu muncul
lagi di medsos, atau foto jalan raya di Selandia Baru diklaim sebagi hasil
kerja prejabat sekarang di Papua.
Apakah kita tidak boleh sharing? Boleh dan malah wajib jika
artikel itu untuk kemaslahatan umat. Untuk mengetahui artikel itu bermanfaat
atau tidak, tentu kita harus membaca sampai tuntas. Bukan hanya melihat judul.
Kualitas seseorang bukan dilihat seberapa banyak artikel
yang di share saban hari tetapi seberapa banyak artikel bermanfaat yang pernah
dibagikan kepada sesama. *