Sunday 29 April 2018

Siapa yang akan menjadi 'Leicester City' di Pilpres 2019?

Foto: Wikimedia

Jika pemilihan presiden 2019 kembali menghadirkan calon yang sama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, maka pilpres ini mirip Liga Spanyol. Kurang greget karena tidak memberi kejutan apa-apa.


Dalam sepuluh atau lima belas tahun terakhir, orang lebih senang menonton Liga Ingris dibanding Liga Spanyol. Bukan karena kualitas permainan Liga Spanyol lebih buruk. Tetapi, tidak ada kejutan yang terjadi di La Liga. Juara turnamen, kalau tidak Barcelona ya Real Madrid.

Pernah sih Atletico Madrid menjadi juara pada musim 2013-14. Tetapi dari 2007-2017, Barcelona memenangi enam kali dan Real Madrid tiga kali. Ateltico Madrid bukanlah tim sembarangan. Mereka pernah menjadi jawara beberapa kali. Pada musim 1995-96, 1976-77, 1972-73 dan musim sebelumnya. Artinya, mereka memang tim kuat. Jadi, faktor kejuatannya tidak terlampau besar.

Bandingkan dengan Liga Inggris. Tim papan bawah yang tidak diperhitungkan, kadang bisa mengalahkan klub kuat semisal Arsenal, Manchester United, Chelsea, Liverpool ataupun Manchester City. Laga tiap pekan membuat deg-degan. Bahkan, pada musim 2015-16, Leicester City menjadi juara Liga Inggris untuk pertama kalinya. Gak pernah kebayang kan? Tim cere ini bisa mengalahkan klub kaya Manchester City yang beertabur bintang, Manchester United, Liverpool serta Chelsea. Tim-tim ini memiliki pelatih kawakan semacam Arsene Wenger ataupun Jose Mourinho. Kebetulan? Terserah! Tapi kalau dalam semusim bisa menjaga penampilan prima adalah suatu keajaiban dan perlu kerja keras.

Nah, kalau pilpres 2019 ini menghadirkan calon itu-itu lagi, apa menariknya? Gaya retorika, cara menyerang si kampret dan cebong, akan sama saja. Isu yang akan digelontorkan juga sama: PKI, antek aseng, pelanggar HAM, diktator, dan isu SARA. Terus apa yang baru? Apa yang bisa dinikmati? Mungkin masih lebih menarik Pilkada DKI Jakarta yang menghadirkan calon baru dengan daya serang berbeda (terlepas dari isu-isu yang dimainkan).

Pilpres 2019 akan menarik jika ada calon alternatif. Kedua calon lama boleh maju lagi, tapi ada calon ketiga yang bisa menjadi pilihan bagi mereka yang bosan dengan retorika politik keduanya. Dulu, orang memilih calon B bisa jadi hanya karena tidak suka dengan calon A. Kalau ada calon C, mereka yang tidak suka dengan A dan B, bisa memilih calon C. Meski calon alternatif itu juga belum tentu lebih baik dari keduanya. Setidaknya mereka memiliki harapan baru ketimbang memilih yang sudah jelas-jelas mengerti arah dan kebijakannya.

Akankah muncul calon alternatif yang akan menjadi seperti Leicester City di Liga Inggris musim 2015-16? Kita tunggu sampai pendaftaran resmi ke KPU Agustus mendatang. Semoga muncul, entah Sam Aliano atau Sam Gong.....(***)

Thursday 26 April 2018

Wawancara Orang Tokyo, Malah Bertemu Tetangga Lama

Foto: Agoda

Mengetahui Koga Rumiko, pecinta kain dan batik Indonesia asal Tokyo, berada di Aceh, saya menghubungi beliau untuk bertemu. Malam itu, ia memberi nomor telepon dan kontak temannya, untuk janji wawancara esok hari di Jakarta sebelum terbang ke Tokyo.


Pagi hari, Ida, teman Koga san, menghubungi saya dan memberi waktu wawancara di hotel tempat mereka menginap. Saya setuju dan datang tepat waktu ke TKP. Lega, karena dengan didampingi Mbak Ida, wawancara akan lancar. Maklum, saya tidak bisa ngomong Jepang sementara Koga san belum lancar bahasa Indonesia dan tidak bisa ngomong Inggris. Beberapa tahun lalu, saat nulis batik, saya wawancara melalui email dengan Koga san. Pertanyaan dalam bahasa Jepang. Saya buat melalui Google translate dengan bahasa Inggris. Meski agak ribet, tetapi saya bisa mengerti maksud Koga san. Dan alhamdulillah, tulisannya dianggap berbobot.

"Saya sibuk sekali. Saya mau menerima wawancara Joko san karena tabloid ini berbobot," ujar Koga san sebelum wawancara. Meski senang, tapi saya khawatir jangan-jangan ia hanya menyenangkan hati saya. Dari mana ia tahu tulisan saya berbobot? Dan ini langsung saya tanyakan, tentu melalui Mbak Ida.

Menurutnya, sekitar dua tahun silam, ia pernah membaca tulisan saya tentang sebuah film yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Saya pernah menulis film Murudeka 17805 atau Merdeka 170845. Film ini dilarang diputar di Indonesia. Saya menyaksikan penayangan film ini di Galeri Foto Antara dilanjutkan dengan diskusi. Setelah terbit, artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Oda Kenji, dosen Bahasa Jepang, di Universitas Jenderal Sudirman.

"Saya dan suami membaca artikel itu. Jadi saya tahu kualitas tabloid ini," jelas Koga san. Harap maklum, suami Koga seorang jurnalis juga. Kata suami, sangat disayangkan tabloid seperti ini hanya dibagikan gratis.

Setelah basa-basi, wawancara dimulai. Sekitar 42 menit. Saya tidak berani lama-lama karena hanya diberi waktu satu jam. Sudah dipotong basa-basi 10 menit he heee. Menjelang akhir wawancara, Mbak Ida menanyakan asal saya.

"Magelang? Saya juga Magelang. Dimana?" ujarnya sumringah. Saya jawab di Kebonpolo, belakang pasar. Mbak Ida langsung berdiri mengajak salaman. "Saya depan pasar, kios yang jual bensin sebelum masuk ke TK YWKA," tambahnya girang.

Kegirangan Mbak Ida berlanjut setelah tahu kita sama-sama lulusan SMAN 2 Magelang. Dia angkatan 86, saya 87. Melihat saya dan Ida sumringah, Koga san heran. Akhirnya dijelaskan, jika kami berasal dari kota yang sama, kampung yang sama dan sekolah yang sama. Mbak Ida sempat tinggal di Jepang. Tiba-tiba suami, yang asli Jepang, meminta untuk hidup di Indonesia. Akhirnya menetap di Nusa Dua, Bali.

Setelah memotret, saya mau pamit. Tapi, Koga san meminta waktu lima menit untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya kira pertanyaan ringan, ternyata kayak sesi wawancara ahli ekonomi. Duh, kok jadi saya diwawancarai. Ada tiga pertanyaan penting. Pertama, 25 tahun ke depan Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian kuat. Apa pendapat Anda, yakin atau tidak?  Kedua, 25 tahun ke depan dengan kondisi ekonomi seperti itu, Anda ingin jadi apa? Ketiga, 25 tahun ke depan, budaya original Indonesia apa yang bisa dipertahankan?

Saya jawab satu per satu. dan itu perlu 15 menit sendiri. Dan uniknya, dia mencatat jawaban saya. Nggak ngerti mau ditulis dimana he heee. Pertanyaan kedua, saya jawab, 25 tahun ke depan, usia saya 75. Sudah pensiun dan ingin menjadi petani di pinggir Kali Progo. Dua pertanyaan lain saya jawab panjang lebar, tidak perlu ditulis di sini! (Grand Cemara Hotel, 25 April 2018)

Friday 20 April 2018

Terhimpit di antara Ketek Kecut Penumpang

Stasiun Depok (Foto: Joko Harismoyo)
Biasanya saya naik kereta dari Stasiun Depok pukul 09:41 WIB. Ini kereta jurusan Bogor-Jatinegara paling nyaman karena peluang duduknya lebih besar. Lima menit sebelumnya, kereta jurusan Nambo-Angke sudah lewat sehingga penumpang yang akan ke Pasar Tanah Abang atau Sudirman-Thamrin sudah naik kereta tersebut. Apalagi, kereta dari Nambo (Cibinong) tak sepadat kereta dari arah Bogor.

Namun hari itu (Selasa, 17 April 2018) saya tiba di Stasiun Depok sudah pukul 10:00. "Kereta jurusan Angke tersedia di Stasiun Bogor," bunyi pengumuman melalui pengeras suara. Karena belum berangkat, saya harus menunggu 25-30 menit lagi. Dan saat menunggu itu, penumpang terus berdatangan.

Saya membayangkan, kereta sudah penuh dari Bogor, ditambah penumpang dari Stasiun Cilebut, Bojonggede, Citayam dan juga Depok. Bakal berdesakan. tapi, tak ada pilihan lain karena sudah siang. Terlambat masuk kantor boleh, tapi ya jangan kebangetanlah.

Ketika kereta datang, saya berusaha masuk gerbong, bagaimana pun caranya. Beruntung (biasa falsafah Jawa), di Depok pintu yang dibuka sebelah kiri. Di stasiun berikutnya, pintu yang dibuka sebalah kanan sehingga posisi saya yang nempel di pintu kiri kereta relatif aman dari desak-desakan penumpang yang akan turun-naik gerbong.

Di Stasiun Depok baru, penumpang merangsek lagi. Serasa naik kereta pada busy hour, jam 06:00-08:00. Mereka yang berdesakan di dekat pintu kereta umumnya pria. Tapi, saya melihat gadis bertinggi sekitar 150-155 cm di antara penumpang tersebut. Karena tingginya di bawah rata-rata, ia terpaksa berada di antara ketek penumpang pria. Ia berdiri di depan saya, agak menyerong.

Di tengah keterhimpitan itu, ia memegang HP. Bukan main game, tetapi WA-nan. Sepertinya dengan pacarnya. Saya bisa membaca isi pesan karena posisi HP berada di bawah wajah saya. Kepo juga lama-lama. Saya intip layarnya.

"Penuh banget kereta. bangsat nih bapak-bapak depan gue kayaknya gak mandi deh. Keteknya bau banget," tulis si gadis.

"Kasih tahu bapaknya suruh mandi," balasnya si cowok sambil menyisipkan emoji senyum.

"Kasih tahu gimana, berdiri aja susah," gerutunya.

"Semangat ya sayang, aku mau visit dulu," timpal si cowok.

Karena penasaran dengan 'bau ketek' tadi, saya lihat wajah terdakwa. Sepertinya sih mandi, cuma jaket kuning yang dipakai rupanya sudah kumal. Mungkin belum dicuci plus panas bercampur keringat sehingga menebarkan aroma kurang sedap. Saya tidak mencium aroma itu. Entah karena pengaruh flu yang saya derita atau posisi bapak itu tidak persis di depan saya. Lagian, saya juga tidak berada di bawah keteknya, seperi si gadis yang malang itu.

Saat si gadis bersiap-siap turun di Stasiun Tebet, dia bertukar posisi dengan si bapak. Dari pada saya berada di depan bapak tadi, saya pun beringsut ke pinggir pintu kanan bersama-sama penumpang yang akan turun. Selamat, saya tidak jadi menghirup aroma sedap dari si jaket kuning itu. (***)



Wednesday 11 April 2018

Festival Kuliner Magelang 2018 Hanya untuk Anak Muda?

Tenda kuliner di antara meriam dan Gunung Sumbing.

Meski waktunya mepet, saya menyempatkan diri datang ke Festival Kuliner Magelang 2018 di Museum BPK Magelang (eks kantor Karisedenan Kedu) pada Minggu, 8 April 2018 (festival berlangsung 6-8 April). Saya tak mencicipi apapun, kecuali membeli dawet untuk mengusir dahaga di siang yang membara itu.

Pedaganga kerak telur di jalan masuk festival.

Sebenarnya, Sabtu siang saya ingin mampir ke festival tetapi tak keuber. Baru sampai di rumah, Sabtu siang saya langsung liputan ke restoran Jepang Maruyaki di Karet, kemudian dilanjutkan acara pengajian 100 hari meninggalnya ayah. Jam 08:00 malam saya sudah tidur (maklum sebelumnya begadang terus).

Minggu siang, bersama keponakan yang duduk di kelas XII SMA, saya meluncur ke TKP. Pengunjung ramai karena mobil sampai parkir di pinggir jalan. Promosinya memang gencar karena acara ini merupakan bagian dari peringatan ulang tahun kota Magelang yang ke-1.112 (wuih tua ternyata. Lebih tua dari Jakarta yang baru berumur 490 tahun pada 2017).

Kerak telur siap santap.
Lokasi festival cukup luas. Untuk parkir kendaraan roda 2 dan 4 tak kesulitan. Sebelum masuk, keponakan membeli dua tiket. Harga tiket masuk hanya Rp3.000. Cukup murah. Apalagi saat menyerahkan tiket, masing-masing pengunjung mendapat voucher diskon Rp3.000 untuk membeli ayam goreng Ninit. Jadi, kalau beli ayam goreng di situ, masuk festivalnya menjadi gratis (canggih juga nih om Heru Pranoto dalam berpromosi).

Oh iya, sebelum membeli tiket, saya melihat pedagang kerak telur di jalan menuju tiket box. Sekitar tiga orang. Saya pikir mereka orang Betawi yang sengaja didatangkan panitia untuk meramaikan acara. Sebelum pulang, ponakan membeli kerak telur itu. Iseng-iseng saya tanya, "Asli Jakarte ya Bang." Jawabnya menohok, "Kulo saking Jogja (saya dari Yogyakarta)." Sambil berkata, tangannya juga menunjuk ke pedagang kerak telur lainnya. Jadi, mereka semua asli Yogyakarta bukan Batavia.

Tiket box.
Tiket dan voucher diskon.

Saya datang ke lokasi sudah siang, sekitar jam 11:00 sehingga tak bisa menyaksikan panggung tari yang ada di sebelah kanan. Namun, lomba lukis (mewarnai) untuk anak-anak masih berlangsung. Lokasi festival menarik karena di balik tenda-tenda penjual makanan, kita bisa melihat Gunung Sumbing dengan pemandangan yang menarik.


Pintu masuk.
Sebelum berangkat saya membayangkan akan bertemu masakan kenangan dari Nusantara, seperti rawon, ayam taliwang, gudeg, pecel, soto kudus, nasi gandul (pati), mie aceh, nasi jamblang, pempek, palu basa dan kuliner nusantara lainnya. Untuk jajanan, saya membayangkan geblek, cenil, gatot, getuk ireng, timus atau endog gludhuk.

Sayang, untuk masakan tradisional saya hanya menemukan pecel. Sisanya, berdagang ayam goreng, nasi bakar, atau fried chicken. Jajanan yang ada adalah bakso kerikil, siomay, pempek, sosis bakar, bakso bakar, ice cream, jus, coklat dengan berbagai variannya. Ada sih yang jual wedang jahe atau kopi. Karena panas banget, minum kopi jadi kurang pas walau aromanya cukup menggoda.


Gunung Sumbing di kejauhan.



Lomba mewarnai.
Saya dan ponakan memilih minum dawet untuk pelepas dahaga. Kami minum di bawah pohon yang rindang. Sisa bungkus makanan dan gelas plastik berserakan. Tempat sampah hanya berjarak sekitar 20 meter dari lokasi teduh. Tetapi, pengunjung malas membuang sampah di tempat yang sudah disediakan. Padahal, tempat sampah itu baru isi separo saat saya membuang gelas plastik bekas dawet. Harus ada gerakan untuk menjaga kebersihan agar orang-orang tak membuang sampah sembarangan.

Habis minum dawet saya ke Meteseh dilanjut ke Kebonpolo, pamit pulang Depok. Saya tak jadi makan di festival kuliner karena tidak menemukan makanan kelangenan. Masakan dan jajanan modern memang cocok untuk kawula muda, bukan senior seperti saya. Atau jangan-jangan saya yang salah masuk. Harusnya saya mengunjungi Festival Makanan Djadoel yang digagas Pemkab Magelang di lapangan Soepardi, Mungkid pada 23-25 Maret 2018. Festival Kuliner Magelang 2018 bukan untuk saya, tetapi anak muda yang menyukai sosis dan sejenisnya.

Sosis bakar kesukaan remaja.
Moga-moga tahun depan Pemkot yang mengadakan festival makanan jadoel sehingga bisa mengobati kerinduan akan makanan tradisional Magelang yang tak ditemukan di tempat lain. (Foto: Joko Harismoyo)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...