Monday 27 June 2016

Puisi di atas bis kota

Ilustrasi: Youtube

Sebagai penumpang tetap Metromini atau Kopaja rute Dukuh Atas - Menara Thamrin dan sebaliknya, saya hafal mereka yang mencari nafkah di atas bis mulai dari pengamen hingga penyair.

Tipe pengamen di atas bis pun bermacam-macam. Ada ibu-ibu tua, untuk tidak menyebut nenek, yang selalu menyanyikan lagu Sepanjang Jalan Kenangan diiringi botol air mineral plastik yang di dalamnya diisi beras. Suaranya cedal, penampilannya bersih. Banyak penumpang yang memberi uang padanya karena kasihan.

Ada juga ibu-ibu tua berkerudung. Dia selalu menyanyikan sholawad di atas bis. Pikirnya, sesuai dengan kostum yang dipakai. Mereka beroperasi di atas jam 19.00 malam, ketika penumpang bis mulai berkurang. Saya, tidak tahu seandainya sore hari juga beroperasi.

Kadang, ada pengamen anak-anak muda punk dengan tattoo lengkap, tindik di hidung dan telinga. Kadang, mereka menyantikan lagu ciptaannya sendiri yang menuturkan kesulitan mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Dia mengamen untuk mencari makan. Lebih mulia dibanding harus merampok. Model seperti ini, membuat penumpang malas mengeluarkan uang. Hanya sedikit yang memberi uang.

Jumat malam lalu, saya bertemu penyair di atas bis. Sudah beberapa kali saya melihat wajah lelaki setengah baya itu. Namun, baru kali ini dia menuntaskan baca puisi secara utuh karena dia naik dari halte Sarinah di Jalan MH Thamrin dan berhenti di Stasiun Sudirman, Jakarta. Bis berhenti di lampu merah Bunderan HI sehingga waktu untuk berekspresi menjadi lebih lama.

Dia mengawali dengan puisi karya Wiji Thukul. Sebelum membaca, dia memberi pengantar, siapa Wiji Thukul. “Wiji Thukul adalah penyair pro demokrasi di rezim Orde Baru. Dia menyuarakan kebebasan. Ia hilang dan sampai sekarang tak tahu rimbanya,” ujarnya dengan nada keras dan pelan. Kata “tak tahu rimbanya” mendapat intonasi khusus sehingga penumpang merasakan aura kekejaman.

Lalu dia membaca pusisi Sajak Suara. Runtut tanpa membaca.

Sajak Suara

sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan

Selesai membaca Sajak Suara, dia membaca puisi kedua karya Ucok Virgo. Tak bicara tentang kebebasan. Mungkin, dia tahu tema tersebut sudah usang karena kebebasan berbicara, saat ini, sudah bukan barang mewah lagi. Orang bebas berbicara, bahkan di media sosial.

Tema yang diangkat tentang korupsi. Tema aktual. Saya tak ingat persis syairnya. Sebenarnya pendek, hanya beberapa kalimat. Saya googling pun, puisi yang dimaksud tak ketemu. Berikut petikan syair tersebut.

Tentang Korupsi
Di Philipina, koruptor tidak boleh memimpin organisasi sosial
Di Italia, koruptor tidak boleh memimpin klub sepak bola
Di Bali, koruptor memimpin sebuah partai besar

Puisi di atas, jelas puisi baru karena persoalan yang diangkat adalah peristiwa politik yang belum lama berselang. Ketika partai besar menggelar musyawarah nasional dan memilih mantan ketua DPR yang tersandung kasus Papa Minta Saham menjadi ketumnya. Soal bagaimana ia bisa menjadi ketua, tak perlu dibahas karena bisa membutuhkan tulisan satu buku sendiri.

Selesai puisi kedua, bis melintasi Bunderan HI. Waktu yang tersisa tak lama. Ia melanjutkan dengan puisi karya Taufik Ismail. Nama penyair ini tak asing. Anehnya, dia hanya membaca sepenggal saja (yang berwarna biru). Entah karena tidak hafal atau waktu yang tersedia sangat mepet.

Kami Muak dan Bosan

Dahulu di abad-abad yang silam
Negeri ini pendulunya begitu ras serasi dalam kedamaian
Alamnya indah,gunung dan sungainya rukun berdampingan,
pemimpinnya jujur dan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan
Ciri utama yang tampak adalah kesederhanaan
Hubungan kemanusiaanya adalah kesantunan dan kesetiakawanan
Semuanya ini fondasinya adalah Keimanan

Tapi, Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok, bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu
Negeri penyogok dan koruptor,
Negeri yang banyak omong,
Penuh fitnah kotor
Begitu banyak pembohong

Tanpa malu mengaku berdemokrasi
Padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang dan materi
Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji
Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan Tuhan
Negeri kita penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta

Jika penjahat-penjahat ini
Dibawa didepan meja pengadilan
Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman
Atau sandiwara tipu-tipuan terus-terus diulang dimainkan
Divonis juga tapi diringan-ringankan
Bahkan berpuluh-puluh dibebaskan
Lantas yang berhasil mengelak dari pengadilan
Lari keluar negeri dibiarkan
Dan semuanya itu tergantung pada besar kecilnya uang sogokan

Di Republik Rakyat Cina, Koruptor dipotong kepala
Di kerajaan Arab Saudi, Koruptor dipotong tangan
Di Indonesia, Koruptor dipotong masa tahanan

Kemudian berhanyutanlah nilai-nilai luhur luar biasa tingginya
Nilai Keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan,
Tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri,
Remuk berkeping-keping
Akhlak bangsa remuk berkeping-keping
Dari barat sampai ke timur
Berjajar dusta-dusta itulah kini Indonesia
Sogok Menyogok menjadi satu,
Itulah tanah air kita Indonesia
Kami muak dan bosan
Muak dan bosan
Kami Sudah lama  Kehilangan kepercayaan


Sepertinya, banyak penumpang yang terhibur dengan cara membaca penyair bis kota itu. Penumpang memberikan uang di kantong yang dikelilingkan sehabis pembacaan puisi. Penumpang bis masih bisa memberi apresiasi kepada pengamen atau penyair. Mana yang bekerja sungguhan atau sekedar meminta-minta dengan kedok pekerja seni. (Jumat, 24 Juni 2016)

Wednesday 8 June 2016

Kaya Rasa dan Tampil Kekinian



Tujuh gelas sloki berjejer dua di atas telenan kayu persegi. Di dekat sloki itu terdapat bahan-bahan jamu yang ditata rapi. Di sebagian sloki terlihat endapan, namun ada juga yang berbuih layaknya cappuccino.

Tujuh sloki itu adalah menu andalan Suwe Ora Jamu (SOJ) Cafe di daerah Petogogan, Jakarta Selatan yang disebut the seven wonderful alias jamu sapta sari. Menu tersebut akan disuguhkan kepada pengunjung cafe yang awam pada jamu.

“Orang asing saya kasih satu set itu. Biar dia merasakan banyak jamu,” ujar Nova Dewi saat berbincang, 25 Mei 2016. Dengan sloki kecil, diameter sekitar 4,5 cm dan tinggi 7 cm, pengunjung tak akan kembung meminum semua jamu yang disodorkan.

Ketujuh jamu itu, jika diminum berurutan dari beras kencur, kunyit asam, rosella, green tamarind, wedang jahe, alang-alang dan sari jamu sehat pengunjung akan merasakan perubahan mulai dari yang dingin menuju hangat dan kembali ke dingin, lalu netral.

Sloki terakhir, sari jamu sehat, terbuat dari ekstrak buah murbei tanpa fermentasi sehingga tak mengandung alkohol. Saat saya mencoba, baunya mirip anggur yang sering dipakai sebagai campuran minum jamu di kios-kios jamu tradisional. Juga hangat di badan.

Inovasi Rasa

Nova mendirikan Suwe Ora Jamu Cafe pada Februari 2013 setelah dia dan suami kesulitan mendapatkan jamu gendong di Jakarta. Perlu diketahui, Nova yang besar di Surabaya, sudah terbiasa minum jamu tradisional Jawa. Dia juga cemas dengan anak muda yang semakin jauh dari akar tradisi, khususnya jamu.

Karena membidik anak muda itulah, menu di cafe ini beragam. Mulai jamu bubuk merek Iboe (buatan Surabaya), minuman jamu segar, kopi hingga makanan ringan dan makan besar. “Jamu merek Iboe itu tertua di Indonesia loh,” ujar Nova dengan logat Jawa Timuran.

Inovasi rasa lebih banyak dilakukan di minuman segar. Di samping menyediakan beras kencur, temulawak, wedang jahe, alang-alang atau kunyit asam, Nova terus berkreasi menciptakan rasa baru, campuran buah dan sayur.

Salah satu minuman andalan di SOJ adalah  green tamarind yang diracik dari sawi dan kunyit asam. Warnanya hijau segar dengan buih putih di atasnya. Saya menyesal meminumnya belakangan sehingga dinginnya berkurang. Rasanya segar dengan takaran asam-manis yang pas. Tambahan daun mint membuat minuman ini meninggalkan pengalaman rasa yang kaya.

Nova juga menyuguhi saya dengan kunyit shot dan kunyit latte. “Kalau ada coffee latte, saya bikin kunyit latte. Biar kekinian nggih,” ujarnya. Taburan pada kunyit latte bukan coklat melainkan pala dan kayu manis. Sayang, saya tak sempat meminumnya karena sudah mencoba berbagai minuman lain.

Nova yang demen bicara Bahasa Jawa ini saya minta memberi contoh cara minum kunyit shot. Saya tertarik pada kunyit shot karena tampilannya keren. Warna kuning tua (lebih tua banding kunyit latte) dengan taburan garam serta irisan lemon di bibir sloki.

Setelah memberi contoh, giliran Nova meminta saya untuk meminumnya. “Monggo sakniki njenengan, saya yang motret,” ujarnya. Saya pun mengambil lemon dengan tangan kanan, dan meminumnya dengan tangan kiri (maaf saya terbalik karena seharusnya pakai tangan kanan he hee). Rasa pahit dan agak pedas perlahan-lahan hilang setelah garam menyentuh bibir. Sekitar tiga detik kemudian, saya menyesap jeruk lemon. Paduan yang pas!

Ngobrol Nyaman

Saya mampir di SOJ Cafe yang di Jalan Petogogan 1, Jakarta Selatan. Di lantai satu, nuansa jamu terasa banget. Di meja bundar yang berada di depan peracik jamu terdapat lumpang (alat penumbuk jamu) besi. Ini hanya hiasan, tidak dipakai untuk menumbuk beneran.

Saya ngobrol dengan Nova di sofa paling depan. Sarung bantal di sofa ada yang bertuliskan STMJ alias susu, telor, madu dan jahe. Di depan Nova ada sepiring nasi bakar dan kopi. “Lagi bikin menu untuk buka puasa,” uajrnya.

Setelah menyuguhkan seven wonder, kunyit latte, kunyit shot, lalu datanglah pisang goreng krispi yang ditaburi karamel dan keju. Busyeet dah. Saya bukan dalam masa pertumbuhan ke atas, tapi ke samping. Lantai satu ini ber AC dengan beberapa meja.

Nah, bagi yang ingin merokok bisa ke lantai tiga. Lantai dua untuk kantor operasional SOJ, jangan nyelonong ke sini yah. Interior lantai tiga ini bernuansa jadul. Kusen kuno yang agak keropos, seterika jago, dan sepeda onthel tua. “Workshop pembuatan jamu di sini. Saya mengajar di tengah dan peserta duduk di posisi U,” jelas Nova.

Setiap bulan, SOJ menyelenggarakan workshop. Beberapa peserta datang dari orang asing. Paling banyak orang Jepang. “Saya sudah delapan kali mengadakan workshop untuk ekspat Jepang,” tambahnya.

Orang Jepang memang demen minuman seperti ini. Saya sempat menghubungi teman di Tokyo yang membuka restoran Indonesia di sana. Dia memberi nama, email dan alamat temannya yang membuka cafe jamu bernama Tetes Manis di dekat Stasiun Ogawamachi, Tokyo. “Saya sudah kasih tahu dia tentang Pak Joko,” ujar Ohira, teman saya itu. Di Osaka juga sudah ada sekolah membuat jamu. Pemiliknya Kobayashi Mie. Saya sedang mengatur waktu untuk chat dengan dia untuk menanyakan seluk beluk sekolah jamu tersebut.


Jepang bukan Malaysia yang suka mengklaim budaya kita sebagai budaya mereka. Tapi, Jepang pandai melihat peluang bisnis. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dan mereka yang meraup rezeki dari budaya leluhur kita. Ayo Nova, segera wujudkan membuat cafe jamu di Tokyo dan kota lain di Negeri Sakura! (Foto: Joko Harismoyo)

Mengangkat Kucing Menjadi Kepala Stasiun, Penumpang Kereta Api Melonjak

Kucing Nitama
Jumlah penumpang kereta api Wakayama Electric Railway Kishigawa Line, Prefektur Wakayama melonjak tajam sejak seekor kucing betina menjabat kepala Stasiun Kishi. Pelancong pun ingin menikmati sensasi naik kereta api bertema kucing (tama), stoberi (ichigo), dan mainan (omocha).

Saat saya tiba di Stasiun Idakiso, hari masih pagi, sekitar pukul 08:00 waktu setempat. Memerlukan sekitar satu jam perjalanan dari bandara internasional Kansai di Osaka menuju Stasiun Idakiso yang berjarak 43 km.

Stasiun tampak sepi. Hanya ada beberapa petugas yang bersiap menyambut kedatangan para pelancong. Wajar karena aktivitas stasiun baru dimulai pukul 09:00. Tak lama berselang, datang rombongan turis yang didominasi wanita setengah baya. Dari tutur bicaranya, bisa ditebak pelancong itu berasal dari Tiongkok.

Sebelum loket tiket dibuka, petugas memberi izin kepada saya untuk melihat kereta yang ada di stasiun tersebut. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan menjelajahi gerbong, dari ruang masinis hingga ke ujung kereta.

Tiga Jenis

Sekilas, garbong kereta api tidak ada bedanya dengan gerbong Commuter Line (CL) di Jakarta. Harap maklum, gerbong CL mayoritas juga didatangkan dari Negeri Sakura. Meski bentuknya sama, tetapi terdapat beberapa perbedaan karena kereta di stasiun ini berfokus melayani pelancong.


Stasiun Kishi
Perbedaan paling mencolok terletak pada interior gerbong. Tidak ada iklan kopi, shampo atau film di atas kaca jendela gerbong. Perbedaan lain adalah kursi penumpang. Walau sama-sama memanjang dan saling berhadapan, tetapi tempat duduk kereta di Kishigawa Line lebih ekslusif.

Kursi penumpang terbuat dari kayu. Bentuk, warna dan motif kursi berlainan. Penumpang bisa memilih kursi sesuai selera. Kendati demikian, tema kursi kereta api sesuai dengan jenis kereta. Misalnya, kursi bertema kucing untuk tama densha, stroberi untuk kereta stroberi (ichigo densha) dan mainan untuk kereta api mainan (omocha densha).

Saya sempat berkeliling di tama densha, mendapati seluruh interior kereta bertemakan kucing. Bahkan, di dalam gerbong terdapat kandang kucing. Juga perpustakaan yang seluruh bukunya membahas soal kucing. Penumpang boleh membaca buku tersebut. Tapi, jangan coba-coba mengambil buku itu karena akan ketahuan petugas.

Kereta Tama
Di kereta api stroberi, kursi penumpang, lantai, dan meja terbuat dari kayu. Terlihat lebih natural. Jika datang ke tempat ini pada Februari hingga Mei, Anda bisa mengunjungi kebun stroberi di dekat Stasiun Kishi, tempat pemberhentian terakhir ichigo densha.

Bila eksterior gerbong kereta api kucing dan stroberi berwarna putih, omocha densha berwarna merah. Di dalam kereta terdapat berbagai mainan, termasuk tokoh-tokoh yang ada dalam anime dan manga. Untuk membeli mainan, tinggal menuju ke gachagacha, vending machine mainan yang ada dalam gerbong omocha densha.

Kucing

Puas melihat-lihat gerbong, saya menuju ke loket penjualan tiket di mana di depannya terdapat kandang kucing. Di kandang itulah dulu Nitama, kepala Stasiun Idakiso berkantor. ‘Kantor’ dari kaca itu memungkinkan pengunjung melihat dari dekat aktivitas kucing betina tersebut. Selain menjabat sebagai kepala stasiun Idakiso, Nitama juga menjadi asisten Tama, kepala stasiun Kishi, sejak 5 Januari 2012.

Sementara itu, Tama diangkat sebagai kepala Stasiun Kishi pada 5 Januari 2007. Sebagai pejabat, karir Tama melesat karena mampu melipatgandakan jumlah pelancong asing yang berkunjung ke Wakayama. Tahun 2014, jumlah pelancong di 14 stasiun di Kishigawa Line naik lebih dari 240%.

Apa pekerjaan Tama sebagai kepala stasiun? Cukup duduk manis di kandang. Tidak boleh marah dan panik saat jumlah pengunjung stasiun berlimpah dan berebut menonton sambil memotret. Bersedia memakai topi yang menunjukkan dirinya adalah kepala stasiun.

Bagian dalam kereta Tama
Tama meninggal 22 Juni 2015 pada usia 16 tahun (setara dengan manusia usia 80 tahun) setelah menderita sakit jantung. Karena berjasa besar mendatangkan pelancong ke Prefektur Wakayama, pemakaman Tama dilakukan secara meriah dengan adat Shinto pada 28 Juni 2015. Tama juga diangkat sebagai dewi.

Posisinya digantikan oleh Nitama. Penunjukan Nitama menjadi kepala stasiun melalui seleksi ketat, termasuk perilakunya. Misal, tak boleh marah dengan pengunjung dan bersedia memakai topi sebagai simbol kepala stasiun.

Tama adalah kucing pertama di dunia yang menjadi kepala stasiun. Menurut cerita, di tempat itu dulu bermukim seorang pecinta binatang. Saat rumahnya digusur dan dijadikan stasiun kereta, dia meminta kucingnya diberi pekerjaan agar hidup kucing-kucing itu terjamin. Permintaan itu disetujui oleh Wakayama Electric Railway, operator kereta api di jalur tersebut.

Tama Museum

Panjang rel Kishigawa Line adalah 14,3 km, memanjang dari Stasiun Wakayama hingga Stasiun Kishi. Karena Saya berangkat dari Stasiun Idakiso menuju Stasiun Kishi maka waktu yang diperlukan hanya 15 menit, melewati Stasiun Sando, Stasiun Oikeyuen, Stasiun Nishiyamaguchi, serta Stasiun Kanroji.

Tiba di Stasiun Kishi, mentari bersinar cerah. Langit tampak biru. Di sisi kiri terdapat Tama Cafe, sedang di sebelah kanan ada toko suvenir. Tama cafe menyediakan kopi, jus buah, dan cemilan lokal. Untuk mengusir dingin, kopi panas menjadi pilihan terbaik. Toko suvenir menyediakan berbagai buah tangan khas Kishi, seperti gantungan kunci, buku, pensil, dan pulpen yang bertemakan kucing.

Secangkir kopi membuat tubuh terasa hangat. Saya keluar dari stasiun untuk melihat bangunan yang katanya mirip kucing. Dari jarak 30 meter, tampak nyata bangunan itu bagai seekor kucing. Di samping kanan dan kiri tulisan TAMA terdapat telinga, sedang di bawah tulisan nama stasiun tersebut adalah mata.

Di antara dua mata terdapat hidung kucing, yang sejatinya adalah kanopi. Di bawah kanopi itu adalah mulut kucing atau pintu keluar masuk Stasiun Kishi. Di stasiun ini Tama berkarir sampai ajal menjemputnya. Nitama, yang sebelumnya berkantor di Stasiun Idakiso, kini menjadi pejabat baru di stasiun ini.

Sebenarnya, dengan kereta Kishigawa Line ini, pelancong di Prefektur Wakayama bukan hanya menikmati keunikan kereta dan stasiunnya, tetapi kereta ini juga menjadi sarana transportasi menuju tempat wisata seperti kebun stroberi di dekat Stasiun Kishi, kebun jeruk di Sando, rumah keluarga Nakasujike di zaman Edo, serta kuil tua dan bersejarah di wilayah tersebut. (foto: Joko Harismoyo)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...