Sunday 27 December 2020

Bukan Hitam Putih




 

Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restoran untuk dikunjungi orang. Buku yang disebut Michelin Guide itu dibagikan gratis (sekarang berbayar). Orang yang enggak paham, menganggap langkah Michelin aneh.

Tetapi Michelin memiliki pikiran jauh ke depan, setidaknya dibanding kamu! Untuk mendongkrak penjualan ban, hanya ada du acara yakni memperbanyak jumlah mobil dan mempercepat orang mengganti ban.

Michelin memilih yang kedua. Bukan dengan menurunkan kualitas agar ban segera botak atau bocor, lalu ganti. Tidak. Itu cara pecundang. Mereka mendorong orang memakai mobilnya agar ban segera ganti.

Perusahaan lalu menciptakan Michelin Guide dan memberikannya secara gratis. Michelin mengeluarkan nama-nama restoran yang dianggap terbaik atau layak sebagai tempat makan. Awalnya hanya mengeluarkan daftar restoran di seluruh Prancis, lalu Eropa, dan dunia.

Yang menarik, publikasi gratis tentang restoran layak kunjung itu menciptakan inspirasi bagi pengemudi dan alasan bagi lebih banyak orang untuk memiliki mobil. Hasilnya, menjual lebih banyak produk pengganti. Perusahaan juga menghasilkan uang dari buku panduan setelah Michelin Guide menjadi berbayar.

Michelin membuktikan bahwa kemampuan berpikir dalam spektrum yang luas, di luar frame of reference dan field of experience perusahaan, mampu menghasilkan ide kreatif. Mereka keluar dari pola pikir “hitam putih” atau “kami” dan “mereka.” Mungkin Michelin belajar dari pabrik cat yang mampu menghasilkan ribuan warna hanya dari tiga warna dasar: merah, biru dan kuning.

Seyogyanya, individu juga belajar dari kreativitas Michelin dan pabrik cat dalam hal pola pikir. Cobalah membuka cakrawala yang lebih luas agar kita sadar bahwa dunia ini bukan panggung Deddy Corbuzer yang hanya mengenal hitam putih. Dunia ini penuh warna. Ketika pola pikirnya tidak hitam, bukan berarti mereka putih. Pun sebaliknya. Ketika tak setuju dengan suatu pendapat, bukan berarti menolak. Bisa menerima dengan catatatan atau abstain. Pola pikir seperti ini yang mestinya dikembangkan ke anak-anak agar kelak mereka tak menjadi pribadi pembenci atau pemuja tanpa syarat.

Kembali ke soal ban, rupanya Bridgestone mengikuti jejak Michelin dengan diversifikasi usaha yang tak terkait dengan corn business-nya. Pabrik ban asal Jepang itu membuat sandal bekerjasama dengan perusahaan fesyen asal Amerika Serikat Calvin Klein. Hasilnya, sandal yang awet dan ramah lingkungan. Murah pula, cuma Rp25.000.

Jika ban bekas Bridgestone itu tak didaur ulang, paling hanya dibakar oleh pendemo yang akan meningkatkan kadar karbondioksida di udara.***

Thursday 29 October 2020

Lihat Ucapannya, Bukan Siapa Mereka!

Ilustrasi: Detik

Ketika Tempo melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah jurnalisnya dengan pesangon yang dianggap belum memenuhi hak-hak karyawan seperti dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, netizen mulai ramai. Menuding media ini hanya jarkoni, kata orang Jawa. Iso ngajar, ora iso nglakoni. Bisa mengatakan, tetapi tidak bisa menjalankannya.

Saya tak tertarik mengomentari besarnya pesangon yang diberikan oleh sejumlah perusahaan pers di Indonesia yang umumnya memang di bawah standar. Namun, saya mulai tergelitik dengan sejumlah orang yang mulai menggiring opini dengan mengatakan media ini sebagai lembaga yang tak layak dipercaya (kareka jarkoni) sehingga mempertanyakan apa yang ditulisnya.

Saya lebih tertarik membahasnya dari sudut pandang teori komunikasi. Menurut  Keith Davis  Communication is a process of passing information and understanding from one person to another. John Adair mengatakan Communication is essentially the ability of one person to make contact with another and make himself or herself understood. Sedangkan, William Newman dan Charles Summer menyebut, Communication is an exchange of ideas, facts, opinions or emotions of two or more persons. 

Dalam perkembangannya, definisi komunikasi menyebut respon dari penerima pesan sebagai bentuk dari komuniasi dua arah, bukan searah seperti pada definsi awal komunikasi. Dari definisi itu setidaknya ada beberapa elemen penting dalam komunikasi yaitu: Komunikator, pesan, media, penerima pesan, dan respon. Kalau disingkat, ada tiga hal penting: pengirim, pesan, dan penerima.

Terkait dengan Tempo, media ini bisa dikategorikan sebagai pengirim pesan. Pihak yang menyampaikan pesan-pesan, dalam hal ini berita, kepada khalayak. Medianya bisa berupa koran, majalah, serta media sosial miliknya.

Sejauh ini, tulisan dan berita Tempo memang membuat gerah sejumlah pihak. Apalagi, sempat menyerukan pembangkangan sosial terkait dengan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Kasus PHK-pun menjadi senjata ampuh untuk menggiring opini seakan-akan apa yang disampaikan Tempo kurang valid. Sebagai lembaga jarkoni, tak layak menyuarakan hak-hak buruh. Tak pantas pula mengritik kebijakan yang tak memihak rakyat. Bagi saya, ini membahayakan. Dengan menggerogoti kredibilitas media ini, sejumlah orang menginginkan agar apa yang disuarakan Tempo tak perlu di dengar.

Melihat elemen dasar dari komuniasi di atas, kita harus bisa membedakan antara pembawa pesan, pesan itu sendiri dan penerima. Tempo sebagai pembawa pesan harus dibedakan dengan pesan yang disampaikan. Ini dua hal yang berbeda. 

Tentu kita ingat Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, mengatakan, "Lihatlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan." Senada dengan Ali, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullahu juga mengatakan, "Perhatikanlah ucapannya jangan memperhatikan yang mengucapkan."

Berpegang pada nasehat bijak itu, semestinya kita bijak dalam menanggapi kasus PHK itu. Jika apa yang ditulis adalah kebenaran, ya harus diakui sebagai kebenaran. Apakah semua yang dikatakan selalu benar? Enggak juga. Kita harus bisa memilah, mana berita benar dan mana yang berbau opini. Jadi, tidak bisa gebyah uyah apa yang mereka katakan salah atau sebaliknya selalu benar.

Tapi, kebanyakan dari kita lebih senang menghakimi daripada menilai dengan nalar. Karena melanggar aturan, apa yang ia katakan juga salah. Padahal, kalau mau dicermati, dari dulu kita bergulat dengan kasus jarkoni ini.

Dari zaman Orde Baru, politisi mengatakan tentang kebenaran, kejujuran dan menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tetapi tetap dipraktikkan. Sampai hari ini, politisi juga mengatakan hal-hal yang adiluhung meski sebagian besar dari mereka melakukan hal yang sebaliknya. Relawan, yang mestinya melakukan tanpa pamrih, akan murka jika tak mendapat jabatan atau menjadi komisaris di BUMN. Mereka-mereka itu juga jarkoni tetapi dibela selama mereka berada pada kubu yang sama.

Idealnya memang apa yang dikatakan sejalan dengan yang dilakukan. Konsisten. Tetapi, dalam dunia politik, hanya segelintir orang yang bisa konsisten. Termsuk di perusahaan pers yang ada di Indonesia. Namun, tetaplah bekerja dengan nalar, bukan emosi karena mereka berada pada gerbong yang berbeda.

Wis, sak karepmu!

Friday 5 June 2020

Geger Genjik Shutterstock


Bagi mereka yang bermain di microstock foto hari-hari ini pasti sedang jengah dengan keputusan manajemen Shutterstock yang mengubah rate komisi untuk para kontributor, baik pemasok foto, ilustrasi, maupun video.

Betapa tidak, penghasilan mereka bisa kepangkas hingga 70% akibat kebijakan baru. Sebelumnya, pendapat minimal untuk foto (kontributor level 1) adalah US$0,25 per sekali downdload. Makin tinggu level kontributor, pendapatannya akan naik menjadi US$0,33, kemudian US$0,38. Rate lebih tinggi jika foto, ilustrasi atau video diunduh atas permintaan. Muali US$1,88, US$2,48 dan terus bertambah sesuai level masing-masing.

Kebijkan baru yang diberlakukan mulai 1 Juni, benar-benar menghantam kontributor. Per unduhan hanya diberikan kompensasi mulai US$0,10 terus 0,12 dilanjut, 0,14 sampai 0,19. Nilai untuk unduhan berbasis permintaan juga menurun tajam. Dan untuk setiap 1 Januari, semua contributor akan di-reset ke tingkat awal. Jadi, setinggi apapun level contributor, akan kembali ke level 1 pada awal tahun dengan tingkat pendapatan mulai dari bawah. Begitu seterusnya.

Hal ini membuat kontributor, khususnya para senior berang. Begitu kebijakan dijalankan, perlawanan dimulai. Kontributor membanjiri media sosial dengan tagar #shutterstock. Segera muncul Group di Facebook, Stock Submitter Coalition. Ribuan orang bergabung di Group ini untuk membahas strategi melakukan perlawanan pada kapitalis.

Langkah pertama yang dilakukan kontributor adalah menghapus akun di Shutterstock (SS) atau menonaktifkan (disable). Dengan demikian foto, footage, atau video mereka tidak bisa lagi dijual oleh SS. Hasilnya mulai terlihat. Jumlah foto yang dijual di SS justru terus menurun saban hari, meski masih ada pemasok yang mengunggah karya mereka. Namun, jumlah unggahan baru tak sebanding dengan mereka yang mencabutnya.

Langkah lainnya adalah menjual ke microstock lain, semisal Getty Image, Dreamtime, Alamy, 123rf, dan lainnya. Memang, SS lebih agresif dalam hal penjualan dibanding perusahaan lain. Namun, ketika sejumlah foto eksklusif tak lagi dijual di situ, pembeli akan mencari ke tempat lain. Buktinya, ketika akun SS saya disable, penjualan di microstock lain meningkat.

Ada juga yang mengusulkan, ini kriminal, untuk membayar hacker guna mengobok-obok situs SS. "Saya yang membayar," ujar seorang kontributor senior. "Adakah hacker Rusia atau Ukrania yang bisa membantu?" Orang Rusia bereaksi, "Mengapa harus Rusia? Orang Amerika banyak yang bisa melakukan itu." Si peminta menjawab santai, "Tarifnya lebih murah." Hingga kini, opsi ini hanya sebatas wacana.

Sama juga dengan usulan untuk melakukan class action dengan menyewa pengacara. "Saya tak mau bayar pengacara hanya untuk meributkan US$0,10," kata seorang pengguna FB. Kendati demikian, jika opsi ini diambil ia siap membantu sokongan dana.

Yang dicemaskan kontributor sebenarnya bukan soal pendapatan di SS yang akan menurun drastis. Lebih dari itu, kebijakan SS dikhawatirkan akan menimbulkan "iklim baru" dalam bisnis microstock. Saat ini agensi lain masih diam karena mereka mendapat keuntungan dengan limpahan karya-karya baru atau lama. Stok mereka akan bertambah yang membuka peluang untuk meningkatkan penjualan.

Nah, ketika stok mereka dirasa sudah cukup, bisa jadi mereka melakukan hal yang sama dengan SS. Menurunkan rate. Apes sudah nasib kita. Kalau cuma US$0,10 per foto, masih kalah dengan Pak Ogah yang membantu mobil menyeberang atau memutar karena mereka memperoleh Rp2.000 untuk tiap kendaraan. Tanpa perlu modal kamera atau video, dan juga kemampuan teknis lainnya.

Kebijakan baru itu telah menimbulkan gelombang protes di kalangan kontributor. Melalui media sosial mereka menggaungkan hastag #BoycottShutterstock. Jika ini terus berlanjut, nasib SS bisa di ujung tanduk. (Sudah dimuat di Kompasiana)

Tuesday 14 April 2020

WFH Diiringi Lagu Bukit Berbunga

Sejak work from home (WFH) diterapkan oleh sejumlah instansi, suasana rumah menjadi ramai. Suara meeting online, berita televisi hingga teriakan tahu bulat dan tukang susu Nasional sering berada pada satu frame.

Minggu pertama penerapan WFH dan SFH (study from home) suasana rumah riuh. Sebenarnya, urusan SFH sudah selesai. Si sulung tinggal sidang skripsi, tidak ada belajar online. Si bungsu, dia belajar dari kamarnya di atas. Tak ada gangguan atau saling mengganggu.

Problem sebenarnya hanya saya dan istri. Istri enggak mau bekerja dari kamar, begitu juga saya. Ia memilih di sebelah kiri televisi, saya di sebelah kanan TV. Televisi selalu menyala untuk memantau suasana terkini.

Ketegangan mulai ketika ia mengadakan meeting online. Karena pesertanya banyak, dan tua-tua, suaranya menjadi riuh. Konsentrasiku menjadi buyar. Akhirnya, disepakati, besok membeli headphone dan ia harus pindah tempat. Dia ke ruang makan yang berjarak lumayan sehingga suaranya tak mengganggu konsentrasi. Deal!

Harusnya, hari berikutnya suasana lebih kondusif (kayak polisi aja). Tapi, kali ini malah lebih gaduh. Tetangga, yang juga ASN, mulai karaoke kencang sejak jam 07:30. Mungkin, jenis pekerjaan dia gak bisa dilakukan dari rumah.

Di bukit indah berbunga kau mengajak aku ke sana
Memandang alam sekitarnya
Karena senja tlah tiba
Mentari tenggelam di bukit yang biru
Langit merah berwarna sendu
Kita pun turun bersama melintasi jalan setapak
Tanganmu kau peluk di pundak membawa aku melangkah
Tak lupa kau petik bunga warna ungu
Lalu kau selipkan di rambutkuBukit berbunga,…


Lagu karangan Yonas Pariera yang dinyanyikan Uci Bing Slamet pada album Bukit Berbunga produksi Irama Tara (1982) dibawakan dengan nada membingungkan, seperti anak membaca teks. Datar dan sumbang.

Awalnya, saya hanya menduga dia tak bisa menyanyikan lagu pop lawas. Tapi lagu pop berikutnya sama falsnya. Tenda Biru dari Desy Ratn Sari pun jadi mblero. Tapi, saya selalu berpikir positif. Mungkin cengkoknya lebih cocok untuk lagu dangdut.  Tunggu hari berikutnya lagi.

Benar, jam delapan kurang ia mulai berkaraoke. Saya mengalokasikan jam segitu untuk jalan-jalan dan menjemput sinar mentari, seperti lansia yang berjemur di jalanan sambil memegang botol susu kambing atau susu sapi. Saya bolak-balik di depan rumahnya, nunggu ia menyantikan lagu dangdut. Kalau Bukit Berbunga dan Tenda Bitu sudah pasti fals.

Kini, penantian itu tiba. Ia menyanyikan lagu Gadis atau Janda karangan Awab Purnama. Saat dinyanyikan oleh Mansyur S dan ratu dangdut Elvi Sukaesih, lagu itu benar-benar legenda. Selalu dilantunkan pada tiap hajatan manten. Sayang, di tangan ASN yang WFH, lagu itu pun tetap hancur.

Hari berikutnya, saya tak berminat mendengarkan karaokenya mesti ia tetap bernyanyi. Saya lebih senang menunggu tukang tahu bulat yang teriak pakai toa melalui flash disk, "Tahu bulat, digoreng dadakan. Lima ratusan. Sotong nya anget!" Atau tahu gejrot yang hilir mudik sehabis dzuhur,  "Tahuuuu gejrot. Gejroot. Pedas manis. Rasanya mantap.". Ini semua, nadanya fals, sama dengan yang karaokean sejak pagi.

Tapi, yang paling kunanti adalah susu Nasional. Saya selalu beli yogurt. Saya hafal jam datangnya. Sehabis sholat dzuhur, ia selalu berhenti di depan pagar sambil membunyikan, "Susu Nasional." Saya keluar, mengambil beberapa yogurt dan susu rasa kopi untuk anak-anak yang sampai usia 20-an masih demen minum susu Ultra.



Wednesday 1 April 2020

Imajinatifnya para netizen


Generasi tua, kayak kamu, yang dibesarkan dengan sandiwara radio Saur Sepuh, buku stensilan tanpa cerita, dan mendegarkan pertandingan sepakbola melalui radio, pasti memiliki imajinasi yang lebih tinggi dibanding generasi milenial.
Bisa menggambarkan kegantengan Brama Kumbara, tanpa pernah melihat sosoknya, bahkan fotonya sekalipun. Dapat melukiskan raut wajah serem Mak Lampir, meski belum pernah bertatapan. Bahkan, Mak Lampir bisa hadir dalam mimpi jika sedang kelelahan. Sungguh menyeramkan.
Pertandingan sepakbola pun sungguh amat seru. Saling serang meski berujung tanpa gol. “Subangkit berhasil merebut bola dari lawan. Menggiring bola, meliuk-liuk melewati dua pemain tengah Fiji. Berputar-putar sambil melihat teman. Bola ditendang ke arah Bambang Nurdiansyah. Bambang menghentikan laju bola dengan dada, menggocek dengan kaki kiri, melewati tiga pemain lawan. Mengecoh bek belakang Fiji yang mencoba menebas kakinya. Langsung mengoper kepada Rully Nere yang berdiri bebas di sisi kiri pertahanan lawan. Bola langsung ditembak ke arah gawang. Sayang, hanya beberapa senti di atas mistar gawang.”
Rentetan 73 kata itu diucapkan dalam sekejap dengan latar suara penonton yang riuh. Bayangan kamu pasti pertandingan sungguh seru. Serangan yang maha hebat. Dan kegagalan mencetak gol pun hanya sebuah kesialan, karena beberapa senti di atas mistar. Benarkah demikian? Walahualam, wong kamu enggak lihat langsung. Tergantung komentatornya yang bicara dan membangun imej.
Komentator ini berbicara sangat cepat. Jika pada umumnya orang berbicara 125-150 kata per menit, Sutopo JK dalam buku Menuju Teknik Liputan yang Sangkil meminta komentator berbicara lebih cepat dari biasanya. Sayang saya gagal mengingat berapa kata yang diminta oleh Pak Dosen ini untuk menjadi komentator teladan.
Kalimat cepat ini membangun imej pertandingan berlangsung seru. Saling rebut, saling serang. Padahal, belum tentu pertandingan berlangsung seperti dalam imajinasi para pendengar.
Apesnya, para pendegar radio yang suka membangun imej itu, kini menjadi netizen. Mereka suka bericara cepat, mengupload status maha dahsyat tentang dunia politik. Seakan-akan dunia akan kiamat jika pemerintah tak bertindak sesuai keinginannya. Padahal, belum tentu imej yang dibangun netizen yang bermutasi di dua kubu itu benar adanya. Tapi, kedua kubu meyakini itu sebuah kebenaran dan harus dipertahankan di tengah-tengah wabah Covid-19 yang siap melahap mereka. Moga-moga, Covid-19 yang hanya beberapa senti di depan mulutnya tak jadi masuk. “Sayang, Covid-19 melebar di sisi kiri mulutnya,” ujang sang komentator.


Saturday 7 March 2020

Pengganti Alarm itu telah tiada.......


Gembul, kucing gendut kesayangan kami telah tiada. Kini, tak ada lagi yang membangunkan kami sebelum Adzan Shubuh berkumandang. Gembul bukan sekedar alarm, tetapi memiliki kekuatan memaksa kepada kami untuk bangun pagi dengan cara mencakar pintu kamar. Kadang, kepalannya dijedotin ke pintu agar kami bangun dan memberinya makan.

Saat kami adopsi Desember 2017, kucing peranakan Persia ini memang manja. Datang ke rumah bersama ayahnya, ia tak mau berpisah. Mungkin, ia sudah merasa kalau mau dipindahtangankan. Ke mana pun ayahnya pergi diikuti. Bahkan, minta gendong. Sang ayah pun akhirnya ngobrol dengan si sulung hingga dini hari sebelum nilapke Gembul.

Menurut ayahnya, kucing ini diberi nama Gembul karena suka sekali makan. Ia selalu menyerobot jatah makan saudara-saudaranya sehingga tubuhnya paling tambun. Setelah beradaptasi dengan situasi rumah, Gembul pun terlihat aslinya. Makan melulu. Manjanya minta ampun. Kadang, minta disuapin. Ini yang merepotkan. Ketika dititipkan ke pet shop saat ditinggal ke luar kota, badannya kurus. Enggak mau makan.

Sekitar sebulan kemudian, saat diajak ke pet shop untuk grooming, Gembul meronta ketika dimasukkan ke mobil. Mungkin trauma. Takut dipindahkan ke rumah lain. Tapi lama-kelamaan ia nyaman berada di mobil.

Beberapa bulan di rumah ia tumbuh menjadi kucing gendut dan ganteng. Jika musim kawin, sungguh merepotkan. Ia beberapa kali hilang dan menginap di kucing betina yang ada di perumahan belakang rumah. Sampai-sampai kami punya file untuk mencetak pengumuman kucing hilang.

Sejak kecil, Gembul tak mau di kandang. Kalau malam, ia melompat dari pagar di lantai atas, turun melalui genteng dan berkelana. Pulang ke rumah menjelang shubuh. Membangunkan kami untuk sarapan, kemudian BAB dilanjut tidur hingga siang.

Sebagai kucig jantan, naluri bertempurnya cukup tinggi. Nyalinya gede, sebesar badannya. Sayang, musuh yang dihadapi adalah kucing kampung yang langsing dan berkuku tajam. Kucing kampung itu sangat lihai bertarung. Berbeda dengan Gembul yang bertubuh besar, bernyali besar tapi tak punya keahlian berkelahi.

Alhasil, dalam beberapa perkelahian Gembul selalu kalah. Kami merawat lukanya. Kalau sembuh, kembali berantem. Ketika di kandang, ia berteriak terus. Untuk mengurangi sifat agresif itu, kami putuskan untuk dikebiri pada awal Desember 2019.

Dipikirnya, setelah dikebiri oleh dokter hewan, naluri keluyurannya akan berkurang. Ternyata tidak. Ia tetap pergi malam pulang menjelang shubuh. Dan tetap berkelahi.

Suatu hari, bagian bahunya bengkak. Menurut dokter terjadi infeksi. Diberi antibiotik, vitamin dan penambah nafsu makan. Bengkaknya bukan mengecil malah membesar. Seminggu kemudian, saya bawa lagi ke dokter yang sama. Diberi obat lagi dan disuntik. Kalau bengkanya sudah matang akan dioperasi untuk mengeluarkan cairan (nanah).

Bengkaknya bukan mengecil, malah membesar. Termasuk menyerang salah satu matanya. Kini, dokter menyerah dan memberi surat rujukan ke rumah sakit hewan Ragunan. Padahal, kami harus pulang Magelang. Akhirnya kami meminta resep dari dokter lain. Disuruh beli salep, antibiotik dan antiinflamasi.

Beberapa hari kemudian, bengkaknya pecah dan mengeluarkan cairan kekuning-kuningan. Banyak sekali. Setelah kempes, kondisi fisiknya lumayan. Mau makan makanan basah dan daging ayam rebus (sebenarnya dilarang karena tinggi protein). Tiba-tiba kondisinya drop. Lemas sekali. Dibawa ke dokter, disuntik dan diberi obat lagi. Kalau masih lemas, besok akan diinfus.

Jumat malam (6 Maret 2020) kondisinya lemas. Padahal pagi hari sudah sedikit baik dan disibin pakai air hangat. Si bungsu pesan agar besok pagi dibawa ke klinik untuk diinfus.

Sabtu pagi, kami mengantar si bungsu ke UI. Saat saya putar balik ke arah Depok Si Sulung menelpon kalau Gembur telah tiada. Si bungsu yang katanya ada seminar wajib, langsung pulang naik kereta. Sampai rumah, ia nangis sejadi-jadinya. Ketika si sulung mau mengubur, si kecil tetap nangis.

Pulang dari pasar, si kecil masih nangis di kamarnya. Ya, Gembul memang teman setianya di rumah. Ketika kami semua belum pulang, ia belajar dengan ditemani Gembul. Gembul baru keluar dari kamarnya ketika salah satu dari kami datang.

Bahkan, Gembul ini sempat dicemburui oleh anak-anak. "Anak bapak itu sekarang Gembul. Lihat tuh snack Gembul lengkap," ujar anak-anak ketika saya pulang membawa snack aneka rasa untuk Gembul tapi tak membawakan makanan untuk anak-anak.

"Posisiku sebagai anak ragil sudah tersisih sejak ada Gembul," kata si bungsu. Anakku, kini kamu kembali menjadi ragil kami. Selamat jalan Gembul.......(Depok, Sabtu 7 Maret 2020 pukul 10:00-an WIB)

Friday 6 March 2020

Akhirnya ikut panik gegara Corona...


Wabah coronavirus atau Covid-19 membuat sejumlah orang panik luar biasa. Ada saja ulah yang enggak masuk akal. Memborong masker, vitamin, sembako dan kondom. Untuk dua yang terakhir, apa coba hubungannya.

Di Jepang, dua penumpang pria yang duduk bersebalahan ribut gara-gara salah satunya batuk tanpa mengenakan masker. Saking ributnya, mereka harus turun di stasiun berikutnya dan didamaikan oleh kepala stasiun setempat.

Di Singapura dan Selandia baru, bukan hanya masker yang ludes. Kondom pun lenyap. Bukan dipakai untuk mencari kenikmatan sesaat, tetapi diapaki untuk menyarungi jari yang digunakan mencet tombol lift atau membuka pintu toilet. Halooo.....situ sehat?

Meski saya tinggal di Depok, wilayah yang positif dua warganya terjangkit Covid-19, saya tak panik. Saya tak beli masker atau kondom. Juga tak memborong sembako. Hanya menebus vitamin Imunos dan Imboost Forte untuk menjaga stamina.

Tapi, pagi tadi, saat sholat  shubuh berjamaan di masjid, kepanikan itu muncul juga. Jamaah yang berdiri dempet di sebalah saya, batuk-batuk dengan intensitas tinggi. Dugaan saya, itu batuh berdahak. Ia batuk tanpa memakai masker.

Batuknya disambut gembira oleh jamaah di belakang saya. Jadilah batuk sersahut-sahutan. Tapi yang di samping saya masih lebih dahsyat.

Dalam situasi seperti inilah kepanikan muncul. Saya yakin mereka batuk pilek biasa. Batuknya orang kampung yang berlum terkominasi virus asal Wuhan, Tiongkok karena tetangga saya ini tidak melakukan perjalanan jauh ke luar negeri. Paling muter sekitar jalan Margonda. Satunya lagi kerja di Jakarta.

Tetapi kalau saya tertular batuk biasa pun, probabilitas untuk terserang Covid-19 meningkat. Ini yang menjadi kekhawatiran saya. "kenapa sih orang ini tidak sholat di rumah saja. Memang bagi pria sholat di masjid lebih diutamakan. Tetapi Allah kan maha pemurah. Kalau lagi sakit tentu diizinkan sholat di rumah," pikirku menerawang sehingga tak sempat menyelesaikan bacaan doa qunut dari Imam dan tiba-tiba sudah sujud.

Untuk kembali konsentrasi ke sholat jadi susah. Saya masih terus merenung setengah menggerutu, "Kalau gara-gara dia ada beberapa jemaah yang tertular flu dan tidak bisa bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya, apakah jamaah itu tak berdosa karena mengganggu aktivitas kepala keluarga mencari nafkah. Padahal, mencari nafkah adalah jihad."

Pertanyaan lain muncul, "Apakah ganjaran yang ia dapat setimpal dengan potensi dosa yang dibuat apabila menghalangi kepala keluarga berjihad?"

Di tengah kecamuk pikiran itu, tiba-tiba Imam mengucapkan salam, menandai selesainya sholat shubuh berjamaah. Yah, hari ini sholat shubuh saya hanya bernilai menggugurkan kewajiban. Sama seperti sholat dari anak-anak yang baru saja mencapai akhir baliq. (Depok, 6 Februari 2020)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...