Wednesday 23 January 2019

Indahnya Berbeda

Freepix

Tiba-tiba teman lama menghubungi saya melalui inbox di Facebook. Menanyakan pilihan politik saya dalam Pilpres 2019. Meski berbeda, masing-masing bisa menerima penjelasan rasional dari kami. "Bagimu pendapatmu, bagiku pendapatku."


Di antara kami tidak ada yang merasa benar sendiri. Kami yakin, setiap keputusan yang diambil tentu sudah berdasarkan pemikiran matang berlandaskan fakta. Kebetulan, kami sama-sama jurnalis. Saya pernah wawancara beberapa orang yang kini menjadi menteri (sekarang tidak ngurusin kayak gini lagi). Dan teman saya itu, sampai saat ini masih menggeluti di bidang ekonomi dan bisnis sehingga sering bertemu dan wawancara dengan tokoh-tokoh politik ternama.

Kita sering ngobrol soal kondisi saat ini. Tidak untuk mencari pembenaran tetapi mendapatkan kebenaran. Dan obrolan itu harus didukung dengan fakta. Entah saat wawancara dengan narasumber atau membaca dan menonton televisi dari narasumber yang kredibel. Meski demikian, keputusan politik yang diambil kadang tidak berlandaskan teori yang ndhakik-ndhakik tetapi berdasarkan pengamatan sehari-hari. Apakah kehidupan ekonomi bertambah baik, keadilan ditegakkan, dan kebenaran dijunjung tinggi?

Intinya, kami berbeda namun tetap bisa ngakak-ngakak. Mentertawakan kondisi netizen yang mulai tidak rasional. "Andai saja ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka (dia menyebut salah satu capres) adalah nabi," tulisnya. Memang, kalau dicermati para pendukung capres di Indonesia (kebanyakan yang main di medsos) sudah menganggap capres sebagai manusia setengah (atau lebih) dewa. Tak ada salahnya. Sempurna.

Pendapat yang dilontarkan, meski kadang ada yang kurang tepat, dianggap sebagai kebenaran sehingga wajib bagi pendukungnya untuk mencari alasan pembenar. Dan celakanya, lawannya dianggap manusia paling hina. Selalu salah. Pendapat yang benar pun, kalau keluar dari mulut lawan, dianggapnya sebagai hoax atau igauan di siang bolong. Padahal, tak seluruhnya pendapat lawan itu salah. Kadang ada benarnya juga.

Berpikir waras memang tidak mudah dalam kondisi saat ini di mana beberapa media sudah terlibat dalam politik praktis. Tak ubahnya sebagai tim sukses capres. Dibutuhkan kejelian, kesabaran dan kemampuan mengolah pesan secara baik. Kalau ingin mendapatkan informasi yang benar, carilah dari mereka yang mendukung dan mereka yang menentang. Atau ikuti teori dialektika dari Hegel yang mendasarkan diri pada tiga elemen yaitu tesa, antitesa dan sintesa.

Pertanyaan sekarang, adakah yang peduli dengan teori dialektika ketika medsos membanjiri dengan informasi sampah dan sumpah serapah? Sangat sedikit, bung!

Lupakan sejenak keluh kesah itu, mari kita kumpul membahas hal-hal konyol yang pernah kita lakukan semasa kuliah dulu. Ini lebih menarik bagi rakyat jelata seperti saya. Toh, siapapun presidennya, saya tetaplah rakyat jelata yang harus tetap membayar pajak.



Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...