Tuesday 14 April 2020

WFH Diiringi Lagu Bukit Berbunga

Sejak work from home (WFH) diterapkan oleh sejumlah instansi, suasana rumah menjadi ramai. Suara meeting online, berita televisi hingga teriakan tahu bulat dan tukang susu Nasional sering berada pada satu frame.

Minggu pertama penerapan WFH dan SFH (study from home) suasana rumah riuh. Sebenarnya, urusan SFH sudah selesai. Si sulung tinggal sidang skripsi, tidak ada belajar online. Si bungsu, dia belajar dari kamarnya di atas. Tak ada gangguan atau saling mengganggu.

Problem sebenarnya hanya saya dan istri. Istri enggak mau bekerja dari kamar, begitu juga saya. Ia memilih di sebelah kiri televisi, saya di sebelah kanan TV. Televisi selalu menyala untuk memantau suasana terkini.

Ketegangan mulai ketika ia mengadakan meeting online. Karena pesertanya banyak, dan tua-tua, suaranya menjadi riuh. Konsentrasiku menjadi buyar. Akhirnya, disepakati, besok membeli headphone dan ia harus pindah tempat. Dia ke ruang makan yang berjarak lumayan sehingga suaranya tak mengganggu konsentrasi. Deal!

Harusnya, hari berikutnya suasana lebih kondusif (kayak polisi aja). Tapi, kali ini malah lebih gaduh. Tetangga, yang juga ASN, mulai karaoke kencang sejak jam 07:30. Mungkin, jenis pekerjaan dia gak bisa dilakukan dari rumah.

Di bukit indah berbunga kau mengajak aku ke sana
Memandang alam sekitarnya
Karena senja tlah tiba
Mentari tenggelam di bukit yang biru
Langit merah berwarna sendu
Kita pun turun bersama melintasi jalan setapak
Tanganmu kau peluk di pundak membawa aku melangkah
Tak lupa kau petik bunga warna ungu
Lalu kau selipkan di rambutkuBukit berbunga,…


Lagu karangan Yonas Pariera yang dinyanyikan Uci Bing Slamet pada album Bukit Berbunga produksi Irama Tara (1982) dibawakan dengan nada membingungkan, seperti anak membaca teks. Datar dan sumbang.

Awalnya, saya hanya menduga dia tak bisa menyanyikan lagu pop lawas. Tapi lagu pop berikutnya sama falsnya. Tenda Biru dari Desy Ratn Sari pun jadi mblero. Tapi, saya selalu berpikir positif. Mungkin cengkoknya lebih cocok untuk lagu dangdut.  Tunggu hari berikutnya lagi.

Benar, jam delapan kurang ia mulai berkaraoke. Saya mengalokasikan jam segitu untuk jalan-jalan dan menjemput sinar mentari, seperti lansia yang berjemur di jalanan sambil memegang botol susu kambing atau susu sapi. Saya bolak-balik di depan rumahnya, nunggu ia menyantikan lagu dangdut. Kalau Bukit Berbunga dan Tenda Bitu sudah pasti fals.

Kini, penantian itu tiba. Ia menyanyikan lagu Gadis atau Janda karangan Awab Purnama. Saat dinyanyikan oleh Mansyur S dan ratu dangdut Elvi Sukaesih, lagu itu benar-benar legenda. Selalu dilantunkan pada tiap hajatan manten. Sayang, di tangan ASN yang WFH, lagu itu pun tetap hancur.

Hari berikutnya, saya tak berminat mendengarkan karaokenya mesti ia tetap bernyanyi. Saya lebih senang menunggu tukang tahu bulat yang teriak pakai toa melalui flash disk, "Tahu bulat, digoreng dadakan. Lima ratusan. Sotong nya anget!" Atau tahu gejrot yang hilir mudik sehabis dzuhur,  "Tahuuuu gejrot. Gejroot. Pedas manis. Rasanya mantap.". Ini semua, nadanya fals, sama dengan yang karaokean sejak pagi.

Tapi, yang paling kunanti adalah susu Nasional. Saya selalu beli yogurt. Saya hafal jam datangnya. Sehabis sholat dzuhur, ia selalu berhenti di depan pagar sambil membunyikan, "Susu Nasional." Saya keluar, mengambil beberapa yogurt dan susu rasa kopi untuk anak-anak yang sampai usia 20-an masih demen minum susu Ultra.



Wednesday 1 April 2020

Imajinatifnya para netizen


Generasi tua, kayak kamu, yang dibesarkan dengan sandiwara radio Saur Sepuh, buku stensilan tanpa cerita, dan mendegarkan pertandingan sepakbola melalui radio, pasti memiliki imajinasi yang lebih tinggi dibanding generasi milenial.
Bisa menggambarkan kegantengan Brama Kumbara, tanpa pernah melihat sosoknya, bahkan fotonya sekalipun. Dapat melukiskan raut wajah serem Mak Lampir, meski belum pernah bertatapan. Bahkan, Mak Lampir bisa hadir dalam mimpi jika sedang kelelahan. Sungguh menyeramkan.
Pertandingan sepakbola pun sungguh amat seru. Saling serang meski berujung tanpa gol. “Subangkit berhasil merebut bola dari lawan. Menggiring bola, meliuk-liuk melewati dua pemain tengah Fiji. Berputar-putar sambil melihat teman. Bola ditendang ke arah Bambang Nurdiansyah. Bambang menghentikan laju bola dengan dada, menggocek dengan kaki kiri, melewati tiga pemain lawan. Mengecoh bek belakang Fiji yang mencoba menebas kakinya. Langsung mengoper kepada Rully Nere yang berdiri bebas di sisi kiri pertahanan lawan. Bola langsung ditembak ke arah gawang. Sayang, hanya beberapa senti di atas mistar gawang.”
Rentetan 73 kata itu diucapkan dalam sekejap dengan latar suara penonton yang riuh. Bayangan kamu pasti pertandingan sungguh seru. Serangan yang maha hebat. Dan kegagalan mencetak gol pun hanya sebuah kesialan, karena beberapa senti di atas mistar. Benarkah demikian? Walahualam, wong kamu enggak lihat langsung. Tergantung komentatornya yang bicara dan membangun imej.
Komentator ini berbicara sangat cepat. Jika pada umumnya orang berbicara 125-150 kata per menit, Sutopo JK dalam buku Menuju Teknik Liputan yang Sangkil meminta komentator berbicara lebih cepat dari biasanya. Sayang saya gagal mengingat berapa kata yang diminta oleh Pak Dosen ini untuk menjadi komentator teladan.
Kalimat cepat ini membangun imej pertandingan berlangsung seru. Saling rebut, saling serang. Padahal, belum tentu pertandingan berlangsung seperti dalam imajinasi para pendengar.
Apesnya, para pendegar radio yang suka membangun imej itu, kini menjadi netizen. Mereka suka bericara cepat, mengupload status maha dahsyat tentang dunia politik. Seakan-akan dunia akan kiamat jika pemerintah tak bertindak sesuai keinginannya. Padahal, belum tentu imej yang dibangun netizen yang bermutasi di dua kubu itu benar adanya. Tapi, kedua kubu meyakini itu sebuah kebenaran dan harus dipertahankan di tengah-tengah wabah Covid-19 yang siap melahap mereka. Moga-moga, Covid-19 yang hanya beberapa senti di depan mulutnya tak jadi masuk. “Sayang, Covid-19 melebar di sisi kiri mulutnya,” ujang sang komentator.


Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...