Thursday 24 November 2016

Mendadak Nikah


Malam Jumat itu Riko sengaja pulang lebih cepat dari biasanya. Rintik hujan di stasiun diterabas. Jas hujan seharga sepuluh ribu rupiah mampu melindungi tubuh kurusnya dari percikan air hujan.

Sesampai di rumah, ia merebahkan tubuh di sofa, persis di depan TV yang sedang memutar acara Golden Memories. Acara yang dibenci anak-anak Riko karena menampilkan artis lawas dengan lagu-lagu mendayu tempo dulu. Sesuatu yang tak kekinian bagi anak-anak muda sekarang.

"Golden bangeetsss," ujar salah satu juri wanita sambil memiringkan kepala ke pundah, diikuti seluruh penonton. Riko tersenyum. Entah sinis atau geli dengan ulah juri itu. Suaranya mendayu-dayu, super melow. Kadang, jadi bahan candaan tiga host. Tapi, tindakan aneh ini justru kadang menjadi daya tarik tersendiri.

Suara bel rumah mengangetkan Riko. Hanya bersinglet, Riko membuka pintu. "Pak, diundang ke rumah Badrun untuk pengajian," ujar tamu tanpa merinci apa maksud dan tujuan pengajian tersebut. Riko pun tak bertanya karena biasanya tiap malam Jumat digelar pengajian rutin. Tempatnya berpindah-pindah. Ia berpikir, mungkin ini jatah Badrun, tetangga depan rumahnya. Riko kembali duduk, menonton TV.

Salah satu juri pria menyanyikan lagu berjudul Preman. Suara dan semangatnya masih sama dengan puluhan tahun silam. Serak. Hanya, nafasnya sudah terengah-engah. Tak sehebat waktu muda.

Mau mandi masih malas. Gerimis belum juga reda. Air di penampungan, meski tak terkena hujan langsung, pasti dingin terpapar dinginnya angin malam. Lagi pula, acara TV menarik. Bukan karena penyanyi atau jurinya. Tapi, penonton acara itu adalah teman-teman seangkatan saat SMA. Di antara mereka terdapat Menik, mantan kekasihnya. Meski sudah tak muda, sisa-sia kecantikan dan kenes Menik masih terlihat. Dia menyanyi sambil menggerakkan tangan ke kanan kiri, mengikuti arahan floor manager. Berkerudung pink, penampilan Menik sepuluh tahun lebih muda dari umur sebenarnya.

Riko tersenyum. Mengenang masa muda saat mereka menonton film Warkop DKI di Magelang Theater, gedung paling keren di kota tersebut. Sebelum nonton, mereka mampir ke Es Semanggi di dekat gedung itu. "Cepetan mandi! Diundang pengajian kok lelet," gerutu istri Riko.

Ia tahu, bukan malas mandi yang membuatnya marah. Tapi, penampilan centik Menik di TV yang membuatnya cemburu. "Maaf, Pak. Sudah ditunggu. Pengajian akan dimulai," tambah tetangga sebelah yang tiba-tiba nyelonong masuk ke rumah Riko.

Riko memilih koko putih yang masih tampak baru karena hanya sekali dipakai saat Lebaran. Dipadu peci dan sarung hitam, Riko tampak religius. Apalagi jenggotnya dibiarkan memanjang, meski hanya beberapa helai.

                                                                           ***
Dia melangkah ke rumah Badrun. Setelah mengucapkan salam dan menyalami seluruh tamu yang ada di teras, dia merapatkan jari-jari di depan dada seperti orang bersalaman, lalu membungkuk ke arah tamu yang ada di ruang dalam. Memberi hormat karena tidak mungkin menyalami semua tamu di dalam.

"Masuk dalam saja, Pak. Sini kosong," kata Badrun sambil menggeser tempat duduknya sehingga menyisakan ruang kosong. Pemuda yang berada di teras juga menyilakan Riko masuk. Tokoh masyarakat tak pantas duduk bersama anak muda yang lebih banyak bercanda saat pengajian berlangsung.

Beberapa tokoh masyarakat sudah datang. Pengajian belum dimulai, ketua RT yang sedang dalam perjalanan. "Bentar ya pak. Nunggu Pak RT. Lagi ke sini," ujar Badrun sambil mengeluarkan rokok, makanan ringan dan kopi. Jamaah diam. Mereka asyik merokok atau makan kacang rebus sambil mengobrol sendiri.

"Suara Iis keren. Bajunya sopan. Kayaknya dia bakal juara," ujar seorang jamaah mengomentari kontes penyanyi dangdut di sebuah televisi yang sudah memasuki babak final. "Bagusan Wiwik. Cengkoknya pas banget. Goyangannya oke," tambah jamaah lain.

Diskusi mengenai siapa yang bakal menjadi juara kontes itu berlangsung seru. Mereka sepertinya lupa kalau diundang di acara pengajian, bukan dukung-mendukung biduan pantura. Di tengah perdebatan seru, ketua RT masuk teras. Semua diam, menjawab salam dilanjut bersalaman. Ketua RT duduk di sebalah kanan Badrun.

"Berhubung Pak RT sudah datang, acara kita mulai. Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena hanya berkat rahmat dan karunianya kita bisa berkumpul di sini. Saya mengucapkan terima kasih kepada jamaah  yang sudah menyempatkan diri datang ke gubug saya,\" ujar Badrun membuka acara.

Dia berhenti sejanak, menarik nafas dalam-dalam, kemudian melanjutkan, "Saya mengundang bapak-bapak ke sini untuk menyaksikan akad nikah anak saya, Ratna dengan pria pilihannya, Galuh."
Jamaah diam. Kaget. Termasuk Riko. Dia Gak menduga kalau malam ini adalah akad nikah Ratna. Tidak ada tanda-tanda ke arah situ. Di rumah Badrun pun tak ada tetangga atau orang yang sibuk memasak. Juga tak ada tamu jauh ataupun saudara-saudara Badrun. Tak ada juga tenda sebagai pertanda akan berlangsungnya hajatan.

"Mungkin jamaah bertanya, ada apa saya menikahkan Ratna? Saya tegaskan, tidak ada apa-apa. Seperti diketahui, saat ini Ratna kost di Yogyakarta. Di sana ia memiliki teman dekat pria. Dalam Islam, kita tidak mengenal pacaran. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa, saya ikut menanggung dosa. Untuk mencegah itu, maka malam ini akan saya nikahkan," jelas Badrun.

Dia kembali menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengundang Ratna dan Galuh untuk masuk ke ruang tamu. Ratna mengenakan baju muslim warna putih, sedangkan Galuh memakai jas dengan celana jeans. Mereka duduk di hadapan Badrun.

"Saya mohon Pak Ustadz menjadi saksi pernikahan ini," ujar Badrun ke arah ustadz yang duduk tak jauh darinya. Ustadz mengangguk. Badrun sendiri yang akan melangsungkan ijab kabul karena ia memang seorang penghulu.

"Mana mas kawinnya, keluarkan!" kata Badrun kepada Galuh. Galuh melepas jam yang dipakai di pergelangan tangan kanan, kemudian memasukkannya ke dalam kotak warna putih. Badrun mengumumkan kepada jamaah, bahwa persyaratan pernikahan sudah lengkap. Sudah ada calon mempelai, ijin wali, saksi, mahar sehingga tinggal melangsungkan pernikahan.

Badrun menjabat tangan Galuh, disaksikan seluruh jamaah. "Saudara Galuh bin Yahya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan gadis yang bernama Ratna binti Badrun dengan mas kawinnya berupa jam tangan dibayar tunai," kata Badrun sambil menggetarkan jabat tangan agar Galuh segera menjawab. "Saya terima nikah dan kawinnya Ratna binti Badrun dengan mas kawin yang tersebut tunai," ujar Badrun mantap.

"Bagaimana jamaah, syah?" seru Badrun. Seluruh jamaah menjawab serentak, "Syah." Wajah Badrun, Galuh dan Ratna tampak lega. Kedua mempelai mengelilingi jamaah untuk bersalaman. Kemudian ustadz diminta memberikan khotbah nikah. Ustadz yang tak ada persiapan apapun tampak gugup. Khotbah berlangsung singkat dan padat.

                                                                         ***

Malam hari itu, berita pernikahan Ratna dan Galuh menyebar. Entah melalui medsos atau dari mulut ke mulut. Yang jelas, pagi hari, ketika mereka membeli nasi uduk untuk sarapan, berita tersebut mendapat rating paling atas. Kasuk-kusuk. Ditambah bumbu-bumbu penyedap dari masing-masing orang.

"Kok mendadak amat sih. Jangan-jangan...," ujar seorang ibu sambil menutup mulutnya. Pembicaraan kian seru. Selain mendadak, pernikahan Ratna dan Galuh tak dihadiri oleh keluarga Galuh, termasuk termasuk orang tuanya. Hampir seminggu lamanya, berita ini menjadi gosip. Makin besar dan bermacam-macam versi. Lama-kelamaan Badrun gerah juga.

"Galuh, untuk menghentikan gosip pernikahan kalian, Bapak minta minggu depan Galuh mengajak ibu ke sini," ujar Badrun kepada menantunya. Selama ini, ibu Galuh tidak tahu kalau anaknya sudah menikah dengan gadis pilihannya. Sedangkan, ayahnya, menurut tutur ibunya, menghilang saat Galuh berusia enam bulan.

"Dia menikah lagi dengan gadis kota," kata ibu Galuh sambil menangis saat menceritakan ayahnya. Sebenarnya Galuh belum siap memberitahu ibu yang kini menjadi orang tua tunggal. Dia meminta Galuh menyelesaikan studi dulu sebelum menikah. Tapi, karena mertua terus mendesak, akhirnya Galuh memberanikan diri. Memberi tahu pernikahannya dengan Ratna dan mengajak ibu berkunjung ke besan.

Badrun siap menyambut besan. Dia memasang tenda biru di depan rumahnya dengan deretan kursi yang dilapisi kain putih. Dia ingin membuktikan kepada tetangga kalau pernikahan anaknya adalah pernikahan yang wajar. Tak hadirnya orang tua Galuh bukan berarti mereka tidak merestui pernikahan tersebut.

Galuh dan ibunya tiba di rumah Badrun pagi hari, sekitar pukul 05:00 WIB. Mereka duduk di ruang tamu, menunggu Badrun yang sedang mandi. Ratna dan istri Badrun menemui Galuh. Mereka bercakap-cakap. Ibu Galuh lebih banyak diam. Mengamati wajah istri Badrun dan Ratna.

"Bikinin teh hangat untuk ibu. Kan capai naik kereta semalam," ujar istri Badrun, menyuruh Ratna untuk membuat teh manis hangat bagi ibu mertua.

Ratna masuk. Tak lama kemudian ia membawa nampan berisi lima gelas teh hangat."Silakan diminum!" ujar istri Badrun. Ibu Galuh mengambil segelas teh, menyerutup teh hangat itu. Tubuhnya yang kedinginan terkena AC kereta mulai sedikit hangat. Perutnya pun terasa lebih enak. Tapi, dia masih diam. Ia syok dengan kenekadan Galuh yang menikah secara diam-diam, tanpa memberitahu wanita yang sudah mengandung dan membesarkannya.

Di saat ibu Galuh larut dalam lamunan, masuklah Badrun ke ruang tamu. Badrun tertegun. Memandang ibu Galuh nanar. Mulutnya terkunci. Tak bisa berkata-kata. Ibu Galuh tersadar dari lamunan. Menatap Badrun, lalu berdiri dan berteriak, "Badrun!!!". Tubuhnya lemas, pingsan.
Ketika tetangga berdatangan menolong ibu Galuh, Badrun terdiam. Ratna, Galuh dan istrinya menatap Badrun tajam-tajam. Tatapan penuh kebencian dan amarah. ***



Saturday 5 November 2016

Perempuan Siap Saji

Hampir seluruh rambut Firman berwarna keperakan, sesusai usianya yang tiga bulan lagi pensiun. Meski tak lama lagi berkantor, semangat Firman masih menyala. Datang pagi, sebelum pegawai muda berdatangan, dan pulang larut malam. Tak ada tanda-tanda mengendor.

Sayang, laporan dari bagian SDM, kinerja Firman tak lebih baik dibanding sebelumnya, biasa-biasa saja. Alasan ini yang mengurungkan niat kantor untuk memperkerjakan Firman sebagai karyawan kontrak pasca purna tugas.

"Ngopi yuk!" ajak Firman pada Ricka, teman sekantor yang usianya separo dirinya. Saat itu, sebagian karyawan sudah pulang karena jarum jam menunjukkan pukul 19:00 WIB. Mayoritas pegawai pulang sebelum atau sesudah magrib. Biasanya jam 18:30 kantor sudah sepi. Tinggal office boy dan sebagian anak IT yang memang piket malam.

Ricka tersenyum lalu berdiri. Keduanya berjalan menuju lift, masuk dan memencet lantai Ground Floor, tempat Starbucks, kedai kopi asal Amerika Serikat itu berada. "Mas, aku Green Tea Latte aja," ujar Ricka sambil memegang pundak Firman. Seperti biasa, Firman memilih Brewed Coffee meski berulang kali dokter mengingatkan Firman untuk menghindari minum kopi dengan alasan kesehatan.

"Bandel ya masih ngopi," kata Ricka sambil meremas jari Firman. Tatapan matanya beradu. Saling pandang, lalu tersenyum. Firman mencoba tenang, meski detak jantungnya bergerak lebih cepat walau belum sempat mencicip kopi hitam tersebut.

Baru kali ini Ricka berani memegang jari Firman. Tiga bulan terakhir, Firman terus yang memulai. Menggandeng tangan Ricka saat turun ke cafe. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Ricka duduk di kursi depan, di samping dirinya. Kembali membuka pintu mobil saat Ricka sampai ke apartemen sewaannya.

Selama tiga bulan tersebut, Firman memperlakukan Ricka bak putri. Namun, karena bukan ABG lagi, ia bisa melihat situasi dan kondisi. Di depan kolega, Firman tetap terlihat profesional. Hanya membicarakan urusan pekerjaan.

Urusan pribadi dimulai ketika mereka hanya berdua. Setidaknya, teman kantornya sudah pulang sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, apalagi kegaduhan. Itu pun tak mencolok. Tak ada percakapan mesra. Mereka berkomunikasi intens melalui aplikasi WA. Layaknya ABG, dalam berkomunikasi mereka juga menggunakan ikon emoji. Tanda bibir, apel atau orang tertawa. Tak ada yang tahu tingkah Firman dan Ricka, kecuali mereka berdua.

Di awal perkenalan, Ricka enggan menanggapi sapaan Firman. Lelaki ini lebih pantas menjadi ayahnya. Usia mereka terpaut jauh. Dia baru masuk kerja, sementara Firman tiga bulan lagi akan pensiun. Dua kutub yang berlawanan.

Firman pun semula tak memperhatikan Ricka. Namun karena Ricka bawahannya dan baru saja lulus kuliah, mau tidak mau, Firman harus mengajari. Membimbing membuat laporan keuangan yang benar. Memilah-milah pengeluaran dan memasukkan sesuai pos yang sudah ditentukan agar manajemen mudah melihat biaya operasional perusahaan.

Meski lulus dengan IP tinggi dan dari kampus ternama, namun Ricka belum bisa dilepas begitu saja. Sebagaimana perguruan tinggi di Indonesia, lulusannya belum siap kerja. Mereka masih dalam tahap siap latih. Jadi tetap membutuhkan supervisor dalam mengerjakan tugas sehari-hari.

Karena sering bertemu, obrolan Firman dan Ricka bukan hanya soal pekerjaan. Kadang mereka cerita masalah pribadi. Ricka yang belum mengenyam asam manis kehidupan sering menceritakan perilaku suami yang menurutnya kurang bertanggung jawab.

"Kalau temennya datang, dia bisa pergi sampai subuh. Tak memedulikan saya yang menunggu sepanjang malam di depan televisi," keluh Ricka suatu ketika. Firman mendengarkan cerita Ricka dengan seksama. Tak menyudutkan suami Ricka, tetapi juga tidak memberi saran apa-apa.

"Saya yakin, kalau dibicarakan ada jalan keluarnya. Tetapi saya heran kenapa ada pria yang membiarkan istri seperti Ricka di rumah sendirian. mau cari yang secantik apa sih?" kata Firman dengan tatapan mata tajam ke Ricka.

Tatapan yang menghujam ke ulu hati seperti ini sudah setahun sirna dari kehidupan Ricka. Badrun, suaminya, tiap pulang kerja istirahat sebentar kemudian nonton TV sambil memegang HP. Pang ..ping...pang....ping. Bunyi pesan masuk bersautan. Dan Badrun lelap dalam dunianya sendiri. Tak peduli Ricka sedang menanti sapaan dan belaian darinya.

"Minggu depan saya ke Medan. Ke kantor cabang. Ricka bisa ikut?" ujar Firman memecahkan lamunan Ricka. Firman segera melanjutkan, "Ini tugas luar kota terakhir saya. Masak Ricka gak bisa nemanin. Saya sudah mengajukan usulan ke pimpinan dan disetujui.”

Ricka terdiam. Ada sejengkal kejengkelan di sana. Buat apa bertanya kalau usulan itu sudah disetujui atasan. Katakan saja ini perintah sehingga harus dijalankan. Tidak perlu berbasa-basi. Seandainya bukan perintah pun, dia bersedia ikut. Inilah kesempatannya untuk berdua dengan Firman dan melepas kepenatan bersama Badrun.

"Nanti saya ijin ke suami dulu. Mudah-mudahan dia tidak keberatan karena sudah disetujui pimpinan," ujar Ricka dengan mata berbinar. Tangannya meraih Green Tea Latte panas di depannya. Menyerutup sambil mencuri pandang pada Firman. "Waktu muda pasti ganteng juga nih bapak," batinnya.

"Besok kabari ke saya, bisa atau tidak. Karena akan pesan tiket pesawat sekaligus booking kamar hotel," ujar Firman. Tangannya mengambil ponsel, lalu mengirim WA ke istrinya dan mengabarkan kalau minggu depan dia akan ke Medan untuk meninjau kantor cabang sehingga rencana ke Pulau Seribu bersama anak bungsunya terpaksa ditunda. Tak lama kemudian, istri Firman membalas, "Tidak apa-apa, Pa. Mama sudah bilang ke Putri. Tapi akhir bulan ini mesti ke sana."

Sehabis ngopi, seperti biasa, Firman mengantar Ricka ke apartemennya. Saat mobil berhenti, Firman memegang jari Ricka. Menatapnya tajam lalu mengecup keningnya. "Besok pagi kabari saya ya?"
Ricka terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Dia menduga Firman akan mencium bibirnya. Tetapi, kecupan di kening itu tetap membuatnya deg-degan, seperti gadis SMA yang menerima setangkai mawar dari cowok yang menembaknya.

                                                                          ***

Sebagaimana biasanya, jam 07:00 Firman sudah duduk di meja. Mengecek email yang masuk, membalas yang perlu direply, serta menghapus email yang kurang berguna seperti penawaran asuaransi, penawaran mobil sampai penawaran kartu kredit premium. "Saya bisa ikut, Pak. Sudah dapat ijin," kata Ricka setelah duduk di samping Firman.

"Oke, nanti tiket biar diurus sekretaris. Saya akan booking hotel sendiri," jawab Firman dengan mata masih menatap layar laptop. Tak sempat melihat Ricka yang tampil lebih fresh dibanding hari biasanya. Dia mengenakan blazer hitam dipadu dalaman warna pink. Terlihat lebih muda.

Firman melanjutkan browsing. Membuka situs untuk memesan kamar hotel. Dia memesan suite room hotel bintang lima.  "Ricka, lihat sini. Kita menginap di sini saja yah. Bagus pemandangannya," ujar Firman dengan sorotan mata bimbang. Takut kalau Ricka menolak menginap di suite room dan memilih kamar sendiri, terpisah dengan Firman.

Ricka melihat layar laptop Firman. Terdiam. Tak bereaksi apapun. Sebagai lelaki dengan jam terbang tinggi, Firman mengerti. Sikap diam Ricka berarti menyetujui ajakannya. 'Diam berarti setuju' adalah rumus yang umum dipakai lelaki saat tak ada jawaban dari wanita.

                                                                          ***  

Para penumpang yang terhormat. Dengan permohonan maaf, kami umumkan bahwa penerbangan malam ini terpaksa dibatalkan. Para penumpang diminta untuk bersiap-siap menuju hotel. Pihak kami akan menyediakan mobil untuk transpor ke hotel. Terima kasih," bunyi pengumuman di ruang tunggu bandara itu mengagetkan Firman dan Ricka. Mereka sudah sejam menunggu pesawat. Semula mereka mengira hanya terjadi penundaan, bukan pembatalan penerbangan.

Pembatalan penerbangan malam ini membuyarkan semua rencana Firman. Dia tak jadi menginap di suite room yang telah dipesannya. Penerbangan hari berikutnya pun pukul 09:00 WIB sehingga tiba di Medan sekitar jam 12:15.

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk keluar dari Bandara Kualanamu (KNO), Untuk lunch dan perjalanan ke kantor cabang memerlukan waktu dua jam. Padahal, dia harus meeting mulai pukul 15:00. Nyaris tak ada waktu untuk berdua, bersama Ricka. Tiket return Medan - Jakarta pukul 22:00. Jadwal padat.

"Kesempatan hanya malam ini," gumam Firman. Matanya menerawang langit-langit, mencari inspirasi agar bisa mengajak Ricka pindah ke kamarnya. Pun, ia yakin Ricka tak keberatan karena kalau jadi menginap di Medan, toh mereka juga satu kamar.

"Untuk penumpang pria mohon naik ke bis warna biru, sedangkan penumpang perempuan bis warna putih. Kecuali pasangan suami istri," pengumuman yang membuyarkan lamunan Firman. Terpkasa, dia harus berpisah dengan Ricka. Bukan sekedar bis yang mereka tumpangi. Maskapai tersebut menyedikan gedung yang berbeda untuk pria dan wanita.

Hotel tersebut memiliki tiga gedung bertingkat. Satu gedung khusus wanita, satu gedung untuk pria dan satu lagi untuk pasutri. Security gedung akan melarang lawan jenis masuk ruangan, kecuali di gedung pasutri. Untuk menginap ke gedung pasutri harus menyerahkan fotocopy surat nikah atau minimal mempunyai alamat tinggal yang sama.


Tiba di kamar hotel, Firman merebahkan badan ke tempat tidur, tanpa melepas baju, dasi dan sepatu. Dia terbangun ketika resepsionis hotel meneleponnya atas permintaan Ricka. Mereka harus berbegas menuju bandara agar tak terlambat. *

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...