Saturday 7 March 2020

Pengganti Alarm itu telah tiada.......


Gembul, kucing gendut kesayangan kami telah tiada. Kini, tak ada lagi yang membangunkan kami sebelum Adzan Shubuh berkumandang. Gembul bukan sekedar alarm, tetapi memiliki kekuatan memaksa kepada kami untuk bangun pagi dengan cara mencakar pintu kamar. Kadang, kepalannya dijedotin ke pintu agar kami bangun dan memberinya makan.

Saat kami adopsi Desember 2017, kucing peranakan Persia ini memang manja. Datang ke rumah bersama ayahnya, ia tak mau berpisah. Mungkin, ia sudah merasa kalau mau dipindahtangankan. Ke mana pun ayahnya pergi diikuti. Bahkan, minta gendong. Sang ayah pun akhirnya ngobrol dengan si sulung hingga dini hari sebelum nilapke Gembul.

Menurut ayahnya, kucing ini diberi nama Gembul karena suka sekali makan. Ia selalu menyerobot jatah makan saudara-saudaranya sehingga tubuhnya paling tambun. Setelah beradaptasi dengan situasi rumah, Gembul pun terlihat aslinya. Makan melulu. Manjanya minta ampun. Kadang, minta disuapin. Ini yang merepotkan. Ketika dititipkan ke pet shop saat ditinggal ke luar kota, badannya kurus. Enggak mau makan.

Sekitar sebulan kemudian, saat diajak ke pet shop untuk grooming, Gembul meronta ketika dimasukkan ke mobil. Mungkin trauma. Takut dipindahkan ke rumah lain. Tapi lama-kelamaan ia nyaman berada di mobil.

Beberapa bulan di rumah ia tumbuh menjadi kucing gendut dan ganteng. Jika musim kawin, sungguh merepotkan. Ia beberapa kali hilang dan menginap di kucing betina yang ada di perumahan belakang rumah. Sampai-sampai kami punya file untuk mencetak pengumuman kucing hilang.

Sejak kecil, Gembul tak mau di kandang. Kalau malam, ia melompat dari pagar di lantai atas, turun melalui genteng dan berkelana. Pulang ke rumah menjelang shubuh. Membangunkan kami untuk sarapan, kemudian BAB dilanjut tidur hingga siang.

Sebagai kucig jantan, naluri bertempurnya cukup tinggi. Nyalinya gede, sebesar badannya. Sayang, musuh yang dihadapi adalah kucing kampung yang langsing dan berkuku tajam. Kucing kampung itu sangat lihai bertarung. Berbeda dengan Gembul yang bertubuh besar, bernyali besar tapi tak punya keahlian berkelahi.

Alhasil, dalam beberapa perkelahian Gembul selalu kalah. Kami merawat lukanya. Kalau sembuh, kembali berantem. Ketika di kandang, ia berteriak terus. Untuk mengurangi sifat agresif itu, kami putuskan untuk dikebiri pada awal Desember 2019.

Dipikirnya, setelah dikebiri oleh dokter hewan, naluri keluyurannya akan berkurang. Ternyata tidak. Ia tetap pergi malam pulang menjelang shubuh. Dan tetap berkelahi.

Suatu hari, bagian bahunya bengkak. Menurut dokter terjadi infeksi. Diberi antibiotik, vitamin dan penambah nafsu makan. Bengkaknya bukan mengecil malah membesar. Seminggu kemudian, saya bawa lagi ke dokter yang sama. Diberi obat lagi dan disuntik. Kalau bengkanya sudah matang akan dioperasi untuk mengeluarkan cairan (nanah).

Bengkaknya bukan mengecil, malah membesar. Termasuk menyerang salah satu matanya. Kini, dokter menyerah dan memberi surat rujukan ke rumah sakit hewan Ragunan. Padahal, kami harus pulang Magelang. Akhirnya kami meminta resep dari dokter lain. Disuruh beli salep, antibiotik dan antiinflamasi.

Beberapa hari kemudian, bengkaknya pecah dan mengeluarkan cairan kekuning-kuningan. Banyak sekali. Setelah kempes, kondisi fisiknya lumayan. Mau makan makanan basah dan daging ayam rebus (sebenarnya dilarang karena tinggi protein). Tiba-tiba kondisinya drop. Lemas sekali. Dibawa ke dokter, disuntik dan diberi obat lagi. Kalau masih lemas, besok akan diinfus.

Jumat malam (6 Maret 2020) kondisinya lemas. Padahal pagi hari sudah sedikit baik dan disibin pakai air hangat. Si bungsu pesan agar besok pagi dibawa ke klinik untuk diinfus.

Sabtu pagi, kami mengantar si bungsu ke UI. Saat saya putar balik ke arah Depok Si Sulung menelpon kalau Gembur telah tiada. Si bungsu yang katanya ada seminar wajib, langsung pulang naik kereta. Sampai rumah, ia nangis sejadi-jadinya. Ketika si sulung mau mengubur, si kecil tetap nangis.

Pulang dari pasar, si kecil masih nangis di kamarnya. Ya, Gembul memang teman setianya di rumah. Ketika kami semua belum pulang, ia belajar dengan ditemani Gembul. Gembul baru keluar dari kamarnya ketika salah satu dari kami datang.

Bahkan, Gembul ini sempat dicemburui oleh anak-anak. "Anak bapak itu sekarang Gembul. Lihat tuh snack Gembul lengkap," ujar anak-anak ketika saya pulang membawa snack aneka rasa untuk Gembul tapi tak membawakan makanan untuk anak-anak.

"Posisiku sebagai anak ragil sudah tersisih sejak ada Gembul," kata si bungsu. Anakku, kini kamu kembali menjadi ragil kami. Selamat jalan Gembul.......(Depok, Sabtu 7 Maret 2020 pukul 10:00-an WIB)

Friday 6 March 2020

Akhirnya ikut panik gegara Corona...


Wabah coronavirus atau Covid-19 membuat sejumlah orang panik luar biasa. Ada saja ulah yang enggak masuk akal. Memborong masker, vitamin, sembako dan kondom. Untuk dua yang terakhir, apa coba hubungannya.

Di Jepang, dua penumpang pria yang duduk bersebalahan ribut gara-gara salah satunya batuk tanpa mengenakan masker. Saking ributnya, mereka harus turun di stasiun berikutnya dan didamaikan oleh kepala stasiun setempat.

Di Singapura dan Selandia baru, bukan hanya masker yang ludes. Kondom pun lenyap. Bukan dipakai untuk mencari kenikmatan sesaat, tetapi diapaki untuk menyarungi jari yang digunakan mencet tombol lift atau membuka pintu toilet. Halooo.....situ sehat?

Meski saya tinggal di Depok, wilayah yang positif dua warganya terjangkit Covid-19, saya tak panik. Saya tak beli masker atau kondom. Juga tak memborong sembako. Hanya menebus vitamin Imunos dan Imboost Forte untuk menjaga stamina.

Tapi, pagi tadi, saat sholat  shubuh berjamaan di masjid, kepanikan itu muncul juga. Jamaah yang berdiri dempet di sebalah saya, batuk-batuk dengan intensitas tinggi. Dugaan saya, itu batuh berdahak. Ia batuk tanpa memakai masker.

Batuknya disambut gembira oleh jamaah di belakang saya. Jadilah batuk sersahut-sahutan. Tapi yang di samping saya masih lebih dahsyat.

Dalam situasi seperti inilah kepanikan muncul. Saya yakin mereka batuk pilek biasa. Batuknya orang kampung yang berlum terkominasi virus asal Wuhan, Tiongkok karena tetangga saya ini tidak melakukan perjalanan jauh ke luar negeri. Paling muter sekitar jalan Margonda. Satunya lagi kerja di Jakarta.

Tetapi kalau saya tertular batuk biasa pun, probabilitas untuk terserang Covid-19 meningkat. Ini yang menjadi kekhawatiran saya. "kenapa sih orang ini tidak sholat di rumah saja. Memang bagi pria sholat di masjid lebih diutamakan. Tetapi Allah kan maha pemurah. Kalau lagi sakit tentu diizinkan sholat di rumah," pikirku menerawang sehingga tak sempat menyelesaikan bacaan doa qunut dari Imam dan tiba-tiba sudah sujud.

Untuk kembali konsentrasi ke sholat jadi susah. Saya masih terus merenung setengah menggerutu, "Kalau gara-gara dia ada beberapa jemaah yang tertular flu dan tidak bisa bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya, apakah jamaah itu tak berdosa karena mengganggu aktivitas kepala keluarga mencari nafkah. Padahal, mencari nafkah adalah jihad."

Pertanyaan lain muncul, "Apakah ganjaran yang ia dapat setimpal dengan potensi dosa yang dibuat apabila menghalangi kepala keluarga berjihad?"

Di tengah kecamuk pikiran itu, tiba-tiba Imam mengucapkan salam, menandai selesainya sholat shubuh berjamaah. Yah, hari ini sholat shubuh saya hanya bernilai menggugurkan kewajiban. Sama seperti sholat dari anak-anak yang baru saja mencapai akhir baliq. (Depok, 6 Februari 2020)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...