Thursday 13 April 2017

Permainan Masa Lalu yang Membuat Anak-anak Gembira


Pagi itu (28 Februari 2017), ketika Bentara Budaya baru saja buka, saya sudah tiba di sana. Sengaja saya tidak menemui kawan lama, wartawan Kompas yang menjadi General Manager Bentara Budaya, Frans Sartono, karena saya ingin menikmati kesendirian. Kembali ke masa lalu, ketika saya bermain kapal klothok atau menggelindingkan pelek sepeda dengan potongan batang pohon atau bambu.

Melihat anak-anak TK digiring ke Galeri Sisi yang berisi ratusan gasing dari Nusantara, saya ikut masuk ke situ. Melihat-lihat bentuk gasing, baik panggang maupun blenthongan, dari Aceh hingga Papua. Gasing-gasing ini kebanyakan koleksi Endi Agus Riyono, pemerhati dan pelestari permainan tradisional Indonesia.

Meski banyak gasing berukuran besar yang harus diputar dengan tali gedhe dengan cara dilempar dari atas, dari bawah atau dikepret, penjaga gasing di situ hanya mengajarkan bermain gasing dari bambu dan gasing buah mojo. Kecil dan mudah, karena hanya ditarik dengan benang. Menarik karena mengeluarkan suara. Gasing bambu seperti itu masih bisa ditemukan di pasar tradisional atau penjual kerajinan di berbagai tempat wisata.

Di booth gasing ini yang menarik adalah gasing dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Menampilkan gasing cukup banyak dan proses evolusinya. Pada awalnya berbentuk blenthongan, lalu secara bertahap menjadi pipih dan lebar.

Puas melihat gasing, saya masuk ke gedung utama di bagian tengah. Di sini, banyak anak SD sedang bermain. Ada yang main dakon/congkal, telepon-teleponan dari benang dan kaleng susu, kapal klothok, lompat tali pakai karet gelang, bekelan, sundah mandah atau menggambar layang-layang. Ada yang menggelindingkan pelek sepeda dengan bantuan potongan batang pohon.

Alarm dari
kaleng susu
Persis seperti yang saya lakukan puluhan tahun silam. Bahkan, saya juga menggelendingkan ban sepeda keliling kampung. Memotong bambu menyerupai setang motor, lalu menempelkan nomor pebalap motor cross andalah Magelang Soma dan Hoho. Bertanding dengan teman sebaya mengelilingi lapangan yang dianggap sebagai trek balapan. Trek itu dilengkapi gundukan sebagai sarana jumping. Permainan fisik yang melibatkan teman sebaya.

Ada juga alarm dari bekas kaleng susu. Dulu, saya membuat alarm dari bekas susu Indomilk kecil dan uang Rp5. Koin itu dilubangi bagian tengah, lalu dimasukin karet gelang yang dihubungkan ke tiang bambu bagian kanan dan kiri. Koin itu saya tindih dengan batu. Sementara kaleng saya ikat dengan benang warna hitam. Saya taruh di dekat masjid di mana ibu-ibu biasa lewat. Ketika benang itu tersandung kaki, ibu-ibu akan kaget dan mengomel. Kemarahan ibu dan nenek-nenek itu membuat kami bahagia. Dan ibu atau nenek paling latah justru menjadi incaran anak-anak.

Anak-anak SD itu tampak riang bermain. Mereka bercakap, berlari dan sendau-gurau. Suasan yang jarang didapat ketika mereka bermain play station atau game di ponsel cerdas.

Kapal-kapalan
Kegairahan anak-anak SD itu berlanjut ketika saya sampai ke halaman depan Bentara Budaya di mana dipajang gasing dari Bali bernama Tjero Tri Datu. Gasing seberat 4 kuintal berwarna hitam dengan warna merah dan putih melingkari bagian atasnya membutuhkan sekitar 12 orang untuk mengangkatnya. Anak-anak itu memutar gasing, lalu tertawa terbahak.


Ada juga yang meminta bantuan guru bermain egrang. Guru memegang bambunya, lalu anak-anak itu naik dan berjalan dengan 'kaki' bambu tersebut. Yang tak kalah menarik, anak laki-laki mengambil tali di tengah lapangan. Mereka tarik tambang tanpa ada wasitnya. Sungguh senang melihat anak-anak bahagia dengan permainan tradisional. Rasanya, ingin kembali menjadi anak-anak yang bebas berekspresi walau dengan alat-alat yang sederhana. (Foto: Joko Harismoyo)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...