Saturday 25 May 2019

Jangan ikuti sesat pikir politisi busuk!

Independent Australia 

Bagi politisi kepentingan di atas segalanya. Kawan dan lawan bisa saling bergantian, tergantung pada kepentingan saat itu. Tak semua, tapi sebagian besar politisi kita masuk dalam kategori ini sehingga karut marut negeri ini terus terpelihara.


Lima tahun silam, saat menjadi wartawan politik, saya sempat mewawancarai beberapa calon menteri untuk mengetahuui misi dan visi mereka. Meski bukan media besar, tetapi para politisi mengerti betul  bagiamana memanfaatkan media untuk menarik perhatian presiden terpilih saat itu. Sebagian dari mereka, benar-benar menjadi menteri.

Untuk mereka yang menjadi menteri, tidak ada hal yang menarik. Justru yang menjadi perhatian saya adalah mereka yang gagal seleksi. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk "menyeberang" lalu mengritik tajam kebijaksanaan pemerintah. Pertanyaannya sederhana, kalau pemerintah dianggap tak berpihak rakyat, mengapa dulu "ikut seleksi" dan ingin menjadi bagian dari kabinet? 

Saya yakin, politisi model ini, akan berhenti mengkritik kalau diberi kedudukan. Banyak contohnya. Dulu yang rajin memberi kuliah melalui Twitter yang isinya mengkritisi kebijakan pemerintah, tiba-tiba anteng setelah diangkat menjadi komisaris BUMN. 

Seberang-menyeberang bukan hanya milik politisi. Partai pun sama. Lima tahun ini hanya ada dua partai yang konsisten menjadi oposisi. Lainnya, bermain dua kaki. Setelah mendapatkan posisi dari grupnya, mereka hengkang dan bergabung dengan lawan. Lumayan, dapat jatah menteri. Menjelang pemilu, dengan alasan elektabilitas, ada partai yang kembali menjadi oposan. Dan ketika kalah, ketum mulai mendekati penguasa. Berharap dapat jatah menteri lagi.

Terhadap politisi dan partai semacam ini, masihkah kita percaya pada kata-katanya? Bagi awam, mungkin iya. Karena politisi ini lihai menyusun kata. Bak pujangga, mereka bisa menyembunyikan kepentingannya (vested interest) dibalik narasi-narasi yang dibangun. Mereka bisa membeberkan fakta-fakta sesuai keinginannya. 

Ingat, setiap kebijakan selalu mengandung unsur baik dan buruk. Yang mendukung akan mengutarakan sisi positifnya, sementara yang menolak akan mengupas habis keburukannya. Politisi bermain secara ekstrim. Memuji atau membenci dengan segala narasinya. Saat bersama mereka memuja. Kelompok di luar mencerca.

Dan apsenya, sikap politisi ini menular ke sebagian media dan cendekiawan. Sulit bagi masyarakat untuk mendapatkan kebenaran obyektif. Harus bersedia merangkai sendiri dari banjir informasi yang ada. Sayang, hanya segelintir orang yang mau dan mampu menyaring banjir informasi itu. Akibatnya, masyarakat hanyut dalam pemikiran politisi, memuja dan mencerca. 

Sikap ekstrim ini terpelihara karena lahirnya media sosial. Dan ketika media sosial dicekik dengan alasan keamanan, mereka blingsatan. Kesal karena naluri menyerangnya terhambat. Tapi, ingat Anda hanya kehilangan kepuasan utntuk mencaci. Sedangkan, para penjual online kehilangan sekian persen omzet akibat kebijakan ini. Mestinya yang diblokir adalah para pencerca yang bisa ditelusuri dari unggahan mereka. Bukan digebyah uysah seperti ini. Saya yakin, epmerintah memiliki teknologi untuk memblokir secara selektif. 

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...