Ketika ponsel masih menjadi barang mewah, Iwan sudah memilikinya. Sebagai eksekutif muda di bank ternama, gadget adalah keharusan. Kapan saja, ia harus siap ditelepon, baik oleh bos maupun klien. Oleh karenanya, nomor telepon tak dikenal pun harus diangkat. Siapa tahu klien baru atau calon klien yang akan mengajukan kredit miliaran rupiah.
Siang itu,
saat makan siang di restoran bersama teman-teman, dering telepon berbunyi.
"Selamat siang Bapak Darmawan. Apakah sore nanti kita jadi ketemu di Starbucks?"
suara wanita muda. Renyah dan riang.
"Siang
juga. Maaf, ini nomor Iwan. Bukan Darmawan. Mungkin ibu salah sambung,"
kata Iwan ramah.
"Maaf.
Saya salah nomor. Sorry sudah mengganggu," katanya sambil menutup telepon.
Iwan melanjutkan makan. Tak memikirkan wanita tadi.
Selang 30
menit, saat Iwan merokok di tempat parkir, nomor yang sama kembali menelpon.
"Kamu jahat. Sudah ada yang baru ya sampai-sampai kamu bilang salah
sambung," ujarnya nerocos.
Iwan
terdiam. Ia tak kenal dengan wanita itu. Juga nomor teleponnya. "Maaf, ini
bukan Darmawan. Saya Iwan. Tolong jangan mengganggu?"
Terdengar
suara isak tangis. Pelan dan perlahan-lahan menghilang. Iwan mendengarkan sedu
tangis itu. Ia tak tega memutus telepon.
"Janjine lungane ra nganti suwe suwe. Pamit
esuk lungane ra nganti sore. Janjine lungo ra nganti semene suwene. Nganti
kapan tak enteni sak tekane." Terdengar suara Cindy menahan tangis
saat menyanyikan lagu Banyu Langit dari
Didi Kempot. Suaranya merdu. Nadanya pas dengan penghayatan yang sempurna.
Sedih ditinggal pacar.
"Bagus
suaranya. Sudah yah. Saya mau kerja lagi," kata Iwan sambil memutus
telepon. Ia tak ingin larut dalam romantika cinta Cindy.
Tak lama
kemudian, terdengar bunyi tit..tit..tit... tanda SMS masuk. Iwan membuka.
"Mas, boleh kenalan? Kalau boleh nanti saya ingin cerita banyak. Kapan
bisa ditelepon?" Ditaruhnya ponsel di samping komputer. Iwan kembali
membuat laporan pengajuan kredit yang diusulkan oleh nasabahnya.
Sebelum
pulang, Iwan ingat SMS dari gadis melankolis tadi. "Boleh. Besok pagi saja
kalau mau telepon. Jam 07:00 saya sudah di kantor. Bisa 20-30 menit.
Iwan," balas Iwan singkat. Setelah SMS dikirim tak ada lagi balasan.
***
Jarum jam
belum menunjukkan pukul 07:00, tetapi Cindy sudah mengirim SMS. "Nanti jam
07:00 saya telepon. Paling 5-10 menit karena saya ada kuliah pagi."
Tak lama
kemudian, telepon Iwan berdering. Ia segera mengangkat. "Mas Darmawan
jahat!" Terdiam sesaat, lalu dilanjutkan, "Maaf saya bukan menuduh
kamu Mas Darmawan. Saya hanya ingin menceritakan kalau apa yang dilakukan Mas
Darmawan benar-benar kebangetan," sambungnya.
"Memang
apa yang terjadi? Saya benar-benar enggak ngerti," kata Iwan.
"Mas
Darmawan telah membohongi aku," jelas Cindy, yang kini mulai mengganti
kata saya dengan sebutan aku dan memanggil Iwan dengan Mas. "Aku pacaran
hampir setahun, Mas. Katanya, ia masih lajang. Enggak tahunya kemarin istrinya
marah-marah ke aku. Nuduh aku pelakor."
"Wanita
mana yang mau menjadi pelakor? Sesama wanita enggak mungkin aku menyakiti. Aku
benar-benar dibohongi. Kalau dari awal dia ngaku sudah beristri, aku enggak
mungkin mau jalan bareng. Gila apa!"
Cindy terus
saja nerocos. Menceritakan kekesalannya pada Darmawan, kekasih yang telah
menipunya. Sementara Iwan hanya diam. Menjadi pendengar yang baik dan tak tahu
apa yang harus dikatakan.
"Enggak
semua laki-laki seperti Darmawan. Kamu sedang apes saja pacaran dengan pria
macam dia," kata Iwan mencairkan suasana. "Lupakan saja. Katanya ada
kuliah pagi. Kuliah di mana?
"Iya.
Ya sudah. Saya kuliah di kedokteran, semester tujuh. Boleh kan kalau ada waktu
senggang aku telepon Mas," balas Cindy sambil menutup percakapan di
ponsel.
Sejak
itu, Cindy rajin menelepon Iwan. Sekedar
menanyakan kabar atau mengingatkan Iwan agar tak lupa makan siang dan menjaga
kesehatan. Kadang, Cindy yang memiliki suara merdu dan melankolis menyanyi
melalui telepon dan meminta Iwan untuk mendengarkan kemudian menilai.
"Wis
tak coba, Nglaliake jenengmu, Soko atiku, Sak tenane aku ora ngapusi Isih
tresno sliramu…."
"Bagaimana
Mas, nadanya pas enggak. Pitch controlnya bagaimana?" tanya Cindy setelah
menyanyikan lagu Sewu Kuto, juga
karya Didi Kempot.
Iwan yang
tak paham teori menyanyi memilih menghindar. Tak mau menilai. "Kok senang
lagu Didi Kempot kenapa?"
"Atiku
ambyar, Mas. Berkeping-keping karena selalu gagal dalam pacaran. Ditinggal
pacar, dikhianati. Sakit," ujar Cindy perlahan sambil menahan tangis. Iwan
jadi salah tingkah. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Hmmm...ntar
sambung lagi ya. Saya ada meeting. Oh iya, kalau malam enggak usah telepon yah.
Kadang enggak dengar," kata Iwan.
"Oke.
Mas Iwan juga enggak usah telepon aku kalau malam. Papa aku galak banget. Aku
gak boleh pacaran sebelum lulus. Takut ngganggu kuliah. Kalau telepon aku yang
angkat laki-laki langsung matiin aja. Itu papaku. Nanti diinterogasi,"
balas Cindy.
Siang itu
mereka sepakat untuk tidak melakukan panggilan pada malam hari, dengan alasan
masing-masing.
*
* *
Setelah
seminggu Cindy rajin menghubungi Iwan keduanya semakin dekat. Pagi hari, sebelum
jam kantor, adalah saat yang tepat bagi keduanya untuk bercerita. Lebih
tepatnya, Cindy yang bercerita dan Iwan mendengarkan dengan seksama. Iwan tahu,
Cindy butuh pendengar yang baik.
“Duh,
tugasku banyak nih. Pagi-pagi gini sudah ke kampus. Nanti ada seminar tentang
kegunaan air putih bagi kesehatan. Kalau Mas Iwan ada waktu bisa datang ke
kampusku. Seminarnya seharian kok. Sekalian kita ketemu. Masak cuma telepon
melulu. Enggak pengen ketemu aku, Mas?” kata Cindy pada Selasa yang cerah.
“Siapa sih
yang enggak pengen ketemu kamu. Cantik, pinter dan jago nyanyi. Tetapi hari ini aku enggak bisa. Ada meeting
sampai jam 11:00. Habis lunch aku harus ke klien di Pluit. Jauh kan dari
kampusmu ,” jawab Iwan. Ia berjanji, aku mencari waktu tepat untuk bertemu.
Sekian lama
hanya bersapa lewat suara, Iwan dan
Cindy mulai merancang pertemuan. Mereka belum tahu wajah masing-masing. Zaman
itu, belum ada aplikasi pesan semacam WhatApps sehingga mereka tak kenal wajah.
Hanya mabuk suara. Suara merdu yang bikin makin rindu. Paling banter,
rayu-merayu melalui SMS.
“Bagaimana
kalau kita ketemu Rabu, pas makan siang?” Tanya Cindy. Iwan belum mengiyakan.
Ia akan mengecek jadwal terlebih dahulu. Ada meeting atau pertemuan lainnya.
Setelah dipastikan hari itu jadwalnya kosong, mereka sepakat bertemu di sebuah
restoran ayam goreng yang tak begitu ramai. Tempat itu dipilih karena sepi
sehingga memberikan ruang lebih leluasa untuk saling bercerita. Melepas kangen
yang tertunda.
“Aku pakai
kerudung biru. Mas Iwan mau pakai baju apa?” Tanya Cindy. Iwan berpikir
sejenak. Ia tak biasa memikirkan baju yang akan dipakai dua hari ke depan. “Aku
juga pakai baju biru. Dasi senada,” jawab Iwan singkat.
Kamis
siang, seperti yang dijanjikan. Iwan datang ke mall. Ia meminjam mobil teman.
Cindy tak mau kalau pergi dengan taksi karena merasa tidak nyaman. Setibanya di
mall yang dijanjikan, Iwan langsung menuju ke resto ayam, tempatnya untuk
bertemu.
Sebagai
pria berpengalaman, Iwan tak memakai baju biru seperti yang dijanjikan. Jika
nantinya penampilan Cindy tak sesuai harapan, ia bisa berkilah. Hari ini, ia
mengenakan baju putih dipadu dasi abu-abu.
Iwan mondar-mandir
di depan restoran ayam goreng. Tak ada gadis muda berkerudung biru. Saat
melongok untuk ketiga kalinya, wanita bergamis hitam dan temannya menyapa, “Mas
Iwan ya?”
“Bukan,
saya Hasto,” jawab Iwan gugup. Ia pun duduk di kursi dan melihat menu makanan.
Tiba-tiba teleponnya bordering. Cindy yang menelponnya. Ketika diangkat, wanita
bergamis hitam dengan tubuh khas emak-emak berusia 50 tahunan yang berbicara.
“Ih kenapa
Mas Iwan bohong,” ujar Cindy sambil duduk di depan Iwan. “Biar kamu penasaran,”
jawab Iwan sekenanya.
“Mau pesan
apa untuk maksi?”
“Enggak
usah. Nanti saja. Gampang,” jawab Iwan yang kehilangan selera makan begitu
melihat wajah Cindy.
“Kalau gitu
kita nonton saja,” sergah Cindy.
Keduanya keluar resto menuju gedung bioskop yang ada di dekatnya.
“Toilet di
sebelah mana ya?”
“Di sana,”
jawab Cindy sambil menunjuk ke arah utara.
Iwan segera
menuju toilet, lalu menghilang dari tangga darurat. Menemui teman yang memberi
pinjaman mobil. Mereka menuju café shop. Ngopi sambil
mentertawakan ketotolannya. ***