Thursday 23 January 2020

Terkecoh


Ketika ponsel masih menjadi barang mewah, Iwan sudah memilikinya. Sebagai eksekutif muda di bank ternama, gadget adalah keharusan. Kapan saja, ia harus siap ditelepon, baik oleh bos maupun klien. Oleh karenanya, nomor telepon tak dikenal pun harus diangkat. Siapa tahu klien baru atau calon klien yang akan mengajukan kredit miliaran rupiah.


Siang itu, saat makan siang di restoran bersama teman-teman, dering telepon berbunyi. "Selamat siang Bapak Darmawan. Apakah sore nanti kita jadi ketemu di Starbucks?" suara wanita muda. Renyah dan riang.

"Siang juga. Maaf, ini nomor Iwan. Bukan Darmawan. Mungkin ibu salah sambung," kata Iwan ramah.

"Maaf. Saya salah nomor. Sorry sudah mengganggu," katanya sambil menutup telepon. Iwan melanjutkan makan. Tak memikirkan wanita tadi.

Selang 30 menit, saat Iwan merokok di tempat parkir, nomor yang sama kembali menelpon. "Kamu jahat. Sudah ada yang baru ya sampai-sampai kamu bilang salah sambung," ujarnya nerocos.
Iwan terdiam. Ia tak kenal dengan wanita itu. Juga nomor teleponnya. "Maaf, ini bukan Darmawan. Saya Iwan. Tolong jangan mengganggu?"

Terdengar suara isak tangis. Pelan dan perlahan-lahan menghilang. Iwan mendengarkan sedu tangis itu. Ia tak tega memutus telepon.

"Janjine lungane ra nganti suwe suwe. Pamit esuk lungane ra nganti sore. Janjine lungo ra nganti semene suwene. Nganti kapan tak enteni sak tekane." Terdengar suara Cindy menahan tangis saat menyanyikan lagu Banyu Langit dari Didi Kempot. Suaranya merdu. Nadanya pas dengan penghayatan yang sempurna. Sedih ditinggal pacar.

"Bagus suaranya. Sudah yah. Saya mau kerja lagi," kata Iwan sambil memutus telepon. Ia tak ingin larut dalam romantika cinta Cindy.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi tit..tit..tit... tanda SMS masuk. Iwan membuka. "Mas, boleh kenalan? Kalau boleh nanti saya ingin cerita banyak. Kapan bisa ditelepon?" Ditaruhnya ponsel di samping komputer. Iwan kembali membuat laporan pengajuan kredit yang diusulkan oleh nasabahnya.

Sebelum pulang, Iwan ingat SMS dari gadis melankolis tadi. "Boleh. Besok pagi saja kalau mau telepon. Jam 07:00 saya sudah di kantor. Bisa 20-30 menit. Iwan," balas Iwan singkat. Setelah SMS dikirim tak ada lagi balasan.

                                                                                ***
Jarum jam belum menunjukkan pukul 07:00, tetapi Cindy sudah mengirim SMS. "Nanti jam 07:00 saya telepon. Paling 5-10 menit karena saya ada kuliah pagi."

Tak lama kemudian, telepon Iwan berdering. Ia segera mengangkat. "Mas Darmawan jahat!" Terdiam sesaat, lalu dilanjutkan, "Maaf saya bukan menuduh kamu Mas Darmawan. Saya hanya ingin menceritakan kalau apa yang dilakukan Mas Darmawan benar-benar kebangetan," sambungnya.
"Memang apa yang terjadi? Saya benar-benar enggak ngerti," kata Iwan.

"Mas Darmawan telah membohongi aku," jelas Cindy, yang kini mulai mengganti kata saya dengan sebutan aku dan memanggil Iwan dengan Mas. "Aku pacaran hampir setahun, Mas. Katanya, ia masih lajang. Enggak tahunya kemarin istrinya marah-marah ke aku. Nuduh aku pelakor."

"Wanita mana yang mau menjadi pelakor? Sesama wanita enggak mungkin aku menyakiti. Aku benar-benar dibohongi. Kalau dari awal dia ngaku sudah beristri, aku enggak mungkin mau jalan bareng. Gila apa!"

Cindy terus saja nerocos. Menceritakan kekesalannya pada Darmawan, kekasih yang telah menipunya. Sementara Iwan hanya diam. Menjadi pendengar yang baik dan tak tahu apa yang harus dikatakan.

"Enggak semua laki-laki seperti Darmawan. Kamu sedang apes saja pacaran dengan pria macam dia," kata Iwan mencairkan suasana. "Lupakan saja. Katanya ada kuliah pagi. Kuliah di mana?

"Iya. Ya sudah. Saya kuliah di kedokteran, semester tujuh. Boleh kan kalau ada waktu senggang aku telepon Mas," balas Cindy sambil menutup percakapan di ponsel.

Sejak itu,  Cindy rajin menelepon Iwan. Sekedar menanyakan kabar atau mengingatkan Iwan agar tak lupa makan siang dan menjaga kesehatan. Kadang, Cindy yang memiliki suara merdu dan melankolis menyanyi melalui telepon dan meminta Iwan untuk mendengarkan kemudian menilai.

"Wis tak coba, Nglaliake jenengmu, Soko atiku, Sak tenane aku ora ngapusi Isih tresno sliramu…."
"Bagaimana Mas, nadanya pas enggak. Pitch controlnya bagaimana?" tanya Cindy setelah menyanyikan lagu Sewu Kuto, juga karya Didi Kempot.

Iwan yang tak paham teori menyanyi memilih menghindar. Tak mau menilai. "Kok senang lagu Didi Kempot kenapa?"

"Atiku ambyar, Mas. Berkeping-keping karena selalu gagal dalam pacaran. Ditinggal pacar, dikhianati. Sakit," ujar Cindy perlahan sambil menahan tangis. Iwan jadi salah tingkah. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

"Hmmm...ntar sambung lagi ya. Saya ada meeting. Oh iya, kalau malam enggak usah telepon yah. Kadang enggak dengar," kata Iwan.

"Oke. Mas Iwan juga enggak usah telepon aku kalau malam. Papa aku galak banget. Aku gak boleh pacaran sebelum lulus. Takut ngganggu kuliah. Kalau telepon aku yang angkat laki-laki langsung matiin aja. Itu papaku. Nanti diinterogasi," balas Cindy.

Siang itu mereka sepakat untuk tidak melakukan panggilan pada malam hari, dengan alasan masing-masing.

                                                                                * * *
Setelah seminggu Cindy rajin menghubungi Iwan keduanya semakin dekat. Pagi hari, sebelum jam kantor, adalah saat yang tepat bagi keduanya untuk bercerita. Lebih tepatnya, Cindy yang bercerita dan Iwan mendengarkan dengan seksama. Iwan tahu, Cindy butuh pendengar yang baik.

“Duh, tugasku banyak nih. Pagi-pagi gini sudah ke kampus. Nanti ada seminar tentang kegunaan air putih bagi kesehatan. Kalau Mas Iwan ada waktu bisa datang ke kampusku. Seminarnya seharian kok. Sekalian kita ketemu. Masak cuma telepon melulu. Enggak pengen ketemu aku, Mas?” kata Cindy pada Selasa yang cerah.

“Siapa sih yang enggak pengen ketemu kamu. Cantik, pinter dan jago nyanyi.  Tetapi hari ini aku enggak bisa. Ada meeting sampai jam 11:00. Habis lunch aku harus ke klien di Pluit. Jauh kan dari kampusmu ,” jawab Iwan. Ia berjanji, aku mencari waktu tepat untuk bertemu.

Sekian lama hanya bersapa lewat  suara, Iwan dan Cindy mulai merancang pertemuan. Mereka belum tahu wajah masing-masing. Zaman itu, belum ada aplikasi pesan semacam WhatApps sehingga mereka tak kenal wajah. Hanya mabuk suara. Suara merdu yang bikin makin rindu. Paling banter, rayu-merayu melalui SMS.

“Bagaimana kalau kita ketemu Rabu, pas makan siang?” Tanya Cindy. Iwan belum mengiyakan. Ia akan mengecek jadwal terlebih dahulu. Ada meeting atau pertemuan lainnya. Setelah dipastikan hari itu jadwalnya kosong, mereka sepakat bertemu di sebuah restoran ayam goreng yang tak begitu ramai. Tempat itu dipilih karena sepi sehingga memberikan ruang lebih leluasa untuk saling bercerita. Melepas kangen yang tertunda.

“Aku pakai kerudung biru. Mas Iwan mau pakai baju apa?” Tanya Cindy. Iwan berpikir sejenak. Ia tak biasa memikirkan baju yang akan dipakai dua hari ke depan. “Aku juga pakai baju biru. Dasi senada,” jawab Iwan singkat.

Kamis siang, seperti yang dijanjikan. Iwan datang ke mall. Ia meminjam mobil teman. Cindy tak mau kalau pergi dengan taksi karena merasa tidak nyaman. Setibanya di mall yang dijanjikan, Iwan langsung menuju ke resto ayam, tempatnya untuk bertemu.

Sebagai pria berpengalaman, Iwan tak memakai baju biru seperti yang dijanjikan. Jika nantinya penampilan Cindy tak sesuai harapan, ia bisa berkilah. Hari ini, ia mengenakan baju putih dipadu dasi abu-abu.

Iwan mondar-mandir di depan restoran ayam goreng. Tak ada gadis muda berkerudung biru. Saat melongok untuk ketiga kalinya, wanita bergamis hitam dan temannya menyapa, “Mas Iwan ya?”

“Bukan, saya Hasto,” jawab Iwan gugup. Ia pun duduk di kursi dan melihat menu makanan. Tiba-tiba teleponnya bordering. Cindy yang menelponnya. Ketika diangkat, wanita bergamis hitam dengan tubuh khas emak-emak berusia 50 tahunan yang berbicara.

“Ih kenapa Mas Iwan bohong,” ujar Cindy sambil duduk di depan Iwan. “Biar kamu penasaran,” jawab Iwan sekenanya.

“Mau pesan apa untuk maksi?”

“Enggak usah. Nanti saja. Gampang,” jawab Iwan yang kehilangan selera makan begitu melihat wajah Cindy.

“Kalau gitu kita nonton saja,” sergah Cindy.  Keduanya keluar resto menuju gedung bioskop yang ada di dekatnya.

“Toilet di sebelah mana ya?”

“Di sana,” jawab Cindy sambil menunjuk ke arah utara.

Iwan segera menuju toilet, lalu menghilang dari tangga darurat. Menemui teman yang memberi pinjaman mobil. Mereka menuju cafĂ© shop. Ngopi sambil mentertawakan ketotolannya.  ***

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...