Sunday 4 August 2019

Budayakan Antre!

Foto: Kumparan

Saat saya berserta anak bungsu sedang antre di dokter gigi di daerah Manggarai, Jakarta Selatan (Sabtu, 3 Agustus 2019), tiba-tiba masuk ibu berusia sekitar 60 tahunan. Ia tampak gelisah. Tidak mau duduk di ruang antrean. Berdiri mondar-mandir. Sesekali telepon, lalu mengirim pesan (karena telihat mengetik di layar ponsel).


Ia mengetuk pintu. Perawat keluar. "Saya sudah janji sama doker jam 10:00. Tapi macet total," ujarnya. Nenek bawel (karena saya kesel, saya sebut demikian saja), datang ke klinik sekitar 10:45 atau 15 menit setelah kedatangan saya.

Dokter gigi itu praktik berdasarkan perjanjian. Jadi, bukan hanya nenek bawel yang sudah janji dengan dokter itu. Saya pun sudah janji beberapa hari sebelumnya. Karena buka hanya berdasar perjanjian, pasien selalu menunggu ketika tiba di ruang praktik. Apalagi kalau datang pertama. Saya pernah menunggu hampir sejam sebelum praktik dimulai.

Perawat meminta nenek bawel untuk menunggu. Meski mengiyakan si nenek tak mau duduk. Ia sibuk mondar-mandir dengan HP-nya. Mirip suami yang sedang menunggui istrinya menjelang persalinan dalam adegan sinetron.  Sesekali ia menelepon meski tak ada jawaban.

Di saat nenek gelisah, masuklah seorang pria. "Anaknya dokter ya?" ujarnya. "Bukan, saya menantunya?" jawab si pria. "Ohh, suaminya si anu (nyebut nama) ya," sergah si nenek sok akrab.

"Bukan, saya suami si itu," jawabnya. Setelah basa-basi, ia meminta agar disampaikan ke dokter kalau dirinya sudah datang. "Saya ke dalam dulu ya. Saya baru datang. Tidak tahu dokter sedang apa." Beberapa kali ia izin masuk ke rumah, namun si nenek terus saja bertanya. Sepertinya ia ingin menunjukkan kalau sudah akrab dengan dokter. Semacam perang psikis agar kami bersedia mengalah.

Si nenek tidak tahu kalau istri saya sekantor dengan dokter dan sudah lama menjadi pasiennya. Si bungsu dari SMP sampai sekarang mau masuk kuliah.

Padahal, ruang tunggu itu layak untuk bersantai. Sofa empuk, televisi nyala dan AC dingin. Saya asyik nonton iflix di layar ponsel ketimbang melihat kegelisajhan si nenek. Tetapi saya juga waspada, begitu pintu prkatik dibuka, saya harus masuk duluan karena kami datang lebih awal.

Sekitar 15 menit kemudian, pintu praktik dibuka. Si nenek langsung nyolot masuk. Saya dan si sulung juga masuk. Perawat tampak bingung. Saya mencoba diam. Menunggu reaksi dokter.

Sambil menunggu, saya menyiapkan jawaban jika si nenek minta izin untuk lebih dulu. Saya juga punya urusan yang mesti diselesaikan, bukan hanya dia. Pokoknya saya tidak rela disela. Karena si nenek bukan dalam keadaan sakit parah, seperti pasien gawat darurat.

"Maaf, yang lebih dulu si adik," jawab dokter tegas. Si nenek belingsatan. Tapi belum mau keluar. Terdiam sesaat. "Saya nunggu di mobil saja. Kalau sudah selesai tolong saya dikasih tahu," ujar si nenek bawel. Jadilah ia keluar ruangan. Kali ini saya tidak menemani di ruang praktik. Saya duduk di ruang tunggu, menjaga si nenek biar tak reseh.

Karena hanya mengganti karet dan kawat gigi, prosesnya cepat, sekitar 15 menit. Saya keluar ruang praktik dan melihat si nenek duduk di kursi depan. "Oalah nek, kalau cuma di mobil seperti itu, yo masih enak duduk di ruang tunggu. AC nya dijamin lebih dingin dibanding mobilmu," batiknku.

Terima kasih dokter sudah mengajari si nenek untuk belajar antre. Umur tua bukan jaminan mengerti etika dan tata krama!

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...