Thursday 29 October 2020

Lihat Ucapannya, Bukan Siapa Mereka!

Ilustrasi: Detik

Ketika Tempo melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah jurnalisnya dengan pesangon yang dianggap belum memenuhi hak-hak karyawan seperti dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, netizen mulai ramai. Menuding media ini hanya jarkoni, kata orang Jawa. Iso ngajar, ora iso nglakoni. Bisa mengatakan, tetapi tidak bisa menjalankannya.

Saya tak tertarik mengomentari besarnya pesangon yang diberikan oleh sejumlah perusahaan pers di Indonesia yang umumnya memang di bawah standar. Namun, saya mulai tergelitik dengan sejumlah orang yang mulai menggiring opini dengan mengatakan media ini sebagai lembaga yang tak layak dipercaya (kareka jarkoni) sehingga mempertanyakan apa yang ditulisnya.

Saya lebih tertarik membahasnya dari sudut pandang teori komunikasi. Menurut  Keith Davis  Communication is a process of passing information and understanding from one person to another. John Adair mengatakan Communication is essentially the ability of one person to make contact with another and make himself or herself understood. Sedangkan, William Newman dan Charles Summer menyebut, Communication is an exchange of ideas, facts, opinions or emotions of two or more persons. 

Dalam perkembangannya, definisi komunikasi menyebut respon dari penerima pesan sebagai bentuk dari komuniasi dua arah, bukan searah seperti pada definsi awal komunikasi. Dari definisi itu setidaknya ada beberapa elemen penting dalam komunikasi yaitu: Komunikator, pesan, media, penerima pesan, dan respon. Kalau disingkat, ada tiga hal penting: pengirim, pesan, dan penerima.

Terkait dengan Tempo, media ini bisa dikategorikan sebagai pengirim pesan. Pihak yang menyampaikan pesan-pesan, dalam hal ini berita, kepada khalayak. Medianya bisa berupa koran, majalah, serta media sosial miliknya.

Sejauh ini, tulisan dan berita Tempo memang membuat gerah sejumlah pihak. Apalagi, sempat menyerukan pembangkangan sosial terkait dengan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja. 

Kasus PHK-pun menjadi senjata ampuh untuk menggiring opini seakan-akan apa yang disampaikan Tempo kurang valid. Sebagai lembaga jarkoni, tak layak menyuarakan hak-hak buruh. Tak pantas pula mengritik kebijakan yang tak memihak rakyat. Bagi saya, ini membahayakan. Dengan menggerogoti kredibilitas media ini, sejumlah orang menginginkan agar apa yang disuarakan Tempo tak perlu di dengar.

Melihat elemen dasar dari komuniasi di atas, kita harus bisa membedakan antara pembawa pesan, pesan itu sendiri dan penerima. Tempo sebagai pembawa pesan harus dibedakan dengan pesan yang disampaikan. Ini dua hal yang berbeda. 

Tentu kita ingat Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, mengatakan, "Lihatlah apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan." Senada dengan Ali, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi rahimahullahu juga mengatakan, "Perhatikanlah ucapannya jangan memperhatikan yang mengucapkan."

Berpegang pada nasehat bijak itu, semestinya kita bijak dalam menanggapi kasus PHK itu. Jika apa yang ditulis adalah kebenaran, ya harus diakui sebagai kebenaran. Apakah semua yang dikatakan selalu benar? Enggak juga. Kita harus bisa memilah, mana berita benar dan mana yang berbau opini. Jadi, tidak bisa gebyah uyah apa yang mereka katakan salah atau sebaliknya selalu benar.

Tapi, kebanyakan dari kita lebih senang menghakimi daripada menilai dengan nalar. Karena melanggar aturan, apa yang ia katakan juga salah. Padahal, kalau mau dicermati, dari dulu kita bergulat dengan kasus jarkoni ini.

Dari zaman Orde Baru, politisi mengatakan tentang kebenaran, kejujuran dan menghindari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tetapi tetap dipraktikkan. Sampai hari ini, politisi juga mengatakan hal-hal yang adiluhung meski sebagian besar dari mereka melakukan hal yang sebaliknya. Relawan, yang mestinya melakukan tanpa pamrih, akan murka jika tak mendapat jabatan atau menjadi komisaris di BUMN. Mereka-mereka itu juga jarkoni tetapi dibela selama mereka berada pada kubu yang sama.

Idealnya memang apa yang dikatakan sejalan dengan yang dilakukan. Konsisten. Tetapi, dalam dunia politik, hanya segelintir orang yang bisa konsisten. Termsuk di perusahaan pers yang ada di Indonesia. Namun, tetaplah bekerja dengan nalar, bukan emosi karena mereka berada pada gerbong yang berbeda.

Wis, sak karepmu!

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...