Saturday 19 March 2016

T E R O M P E T


Jangan sekali-kali memberi nama anak Anda mirip dengan kata trompet. Dia akan menjadi obyek, bukan subyek.

Sebagai obyek, nasibnya pasti apes. Tidak bisa bersuara sebagaimana yang diinginkan, melainkan bersuara seperti yang diinginkan oleh pemain trompet.

Biar tidak salah persepsi, kita sepakati dulu pengertian trompet. Trompet adalah alat musik tiup logam. Terletak pada jajaran tertinggi di antara tuba, eufonium, trombon, sousafon, French horn, dan Bariton.

Trompet hanya memiliki tiga tombol, dan pemain trompet harus menyesuaikan embouchure untuk mendapatkan nada yang berbeda.

Pengertian itu menegaskan, suara trompet yang dihasilkan tergantung pada pemain trompet dalam memainkan embouchure. Trompet sebagai obyek, dan pemain trompet sebagai subyek.

Dalam ilmu gramatikal, subyek lebih berperan dibanding obyek. Subyek yang berbuat, bertindak dan beraktivitas. Obyek kadang hanya menjadi pelengkap penderita. Misal, Anton memukul kelinci. Kelincilah yang menderita.

Dalam tataran politik, subyek juga memanfaatkan obyek untuk mencapai tujuannya. Cukup obyek yang berteriak di jalan-jalan, demo, muncul di koran atau televisi untuk mengatakan sesuatu. Subyek cukup bermain di balik layar dengan memasok info penting, dan tentu logistik.

Obyek yang lebih mirip trompet politik tadi akan berdebat, aktif di medsos, diskusi di Cikini, tampil di TV, hadir di CFD, sampai menggelar sarasehan akbar. Apa yang dikatakan? Tergantung pada pemain trompet dalam memainkan embouchure. Ingat, trompet hanyalah alat yang tidak memiliki akal budi untuk mengatur nada mereka sendiri.

Nah, kalau trompet itu hanya sebuah alat maka tidak elok kalau Anda memberi nama anak dengan kata trompet. Dikhawatirkan, anak Anda hanya akan diperalat oleh pemain trompet untuk mencapai tujuannya. Relakah anak Anda dijadikan tool, alat, sarana tanpa memiliki otonomi berpikir sendiri.

Dan lihatlah beberapa orang yang namanya mirip trompet berulah seperti sebuah alat. Terus berdengung, tak peduli suaranya fals dan memekkan telinga khalayak. (RS Citra Medika, 18 Maret 2016)

Thursday 3 March 2016

Istri Budi

Ilustrasi: Bukalapak.com

Bukan aku saja, beberapa tetangga, juga heran dengan Windy. Wajahnya layak masuk televisi. Andai kulitnya terawat dan memakai baju bagus, orang akan mengira ia artis. Hanya nasib yang membawanya menjadi seorang tukang cuci dan istri Budi.

Budi bukanlah pria ganteng. Wajahnya standar, cenderung ke minimalis. Perawakannya kurus. Mungkin selagi muda belum seceking sekarang. Tetapi tetap tak ada tanda-tanda ia bertubuh atletis. Katanya, dulu ia pemain band. Pemain gitar andal.

Dia berhenti menjadi pemain band ketika mobil yang membawa rombongan untuk pentas terbalik dan masuk jurang. Beberapa temannya tewas, sementara Budi patah kaki. Akibatnya, ia sedikit pincang ketika berjalan.

Sejak itu Budi tak lagi menjadi gitaris. Dia beralih profesi menjadi pengamen bis dengan gitar kecil. Dia berangkat pagi hari, sekitar pukul 05:30 WIB dengan mengendarai motor. Sehabis mengantar Windy ke pabrik, dia mulai mengamen.

Namun, Budi terpaksa pensiun setelah penyakit asma menggerogotinya. Nafasnya sering tersengal-sengal dengan suara mengi. Kalau nafasnya normal, batuknya menjad-jadi. Batuk bersuara berat, seakan dahak yang ada di saluran pernafasan sulit keluar.

Kini, tugasnya hanya antar jemput istri ke pabrik. Sekitar jam 07:00 ia sudah di rumah. Sehabis mamarkir motor di ruang tamu, ia berganti celanda pendek. Berjemur di halaman rumah. Pagar pohon teh-tehan di rumahnya hanya semeter, sehingga kegiatan Budi di halaman itu terlihat oleh tetangga yang lewat.

Yang kadang membuat risih tetangga, dan tentu juga aku, adalah kebiasaannya setelah berjemur yaitu menonton televisi hanya dengan memakai celana dalam. Jika celana pendek Budi masih berwarna-warna, tidak halnya dengan celana dalam. Budi selalu memakai celana dalam warna cokelat.

Warna yang membuat aku cukup bingung. Budi jarang memakai celana atau baju warna coklat. Cat rumahnya putih dengan aksen biru. Motornya berwarna hitam dengan stiker merah. Tak ada unsur coklat. Helmnya juga berwarna hitam. Entah mengapa dia begitu cinta dengan celana dalam warna coklat. Atau, jangan-jangan, coklat bisa 'menutupi' kotor sehingga ketika dua atau tiga hari tidak dicuci tak akan terlihat. Ingat, ini hanya prasangka buruk saja. Belum tentu benar, tetapi belum tentu salah juga.
                                                                         ***                     
Pagi itu Budi tak mengantar istrinya kerja. Penyakit asmanya kambuh. Windy diantar tukang ojek. Budi tak bisa berjemur di halaman rumah. Juga tak menonton televisi dengan kostum celana dalam coklat. Dia terbaring di kamar dengan nafas tersengal-sengal.

Dengus nafasnya terdengar sampai depan rumah. Aku iba, membayangkan sakit dadanya saat bersusah payah menghirup udara. Meski pintunya tertutup, aku tahu, pintu itu tak berkunci. Hanya diganjal batu. Kudorong pelan dan pintu terbuka. Aku menerobos masuk ke kamar.

Budi nungging di atas kasur. Tangannya memukul-mukul bantal sambil berteriak. Mengaduh kesakitan. "Pak Budi!" ujarku setengah berteriak. Dia menoleh, memandangku dan kembali tangannya memukul-mukul bantal.

"Obat asmanya di mana? Saya ambilkan!" sergahku. Budi menggelengkan kepala sambil memberi tanda jika dia sudah tak memiliki obat lagi. Sepertinya dia enggan bicara karena menahan rasa sakit di dada. "Obatnya habis?” Tanyaku lagi. Budi mengangguk pelan.

Aku keluar. Balik ke rumah. Mencari persediaan obat asma. Karena si sulung juga memiliki penyakit ini, aku siap dengan nebulizer, obat semprot dan pil untuk melegakan pernapasan.

Apes, obat untuk inhalasi dan pil sedang habis. Sementara, obat semprot belum ketemu. Biasanya dibawa si sulung, untuk berjaga-jaga. Aku tak menyerah, kucari di kamar si sulung, siapa tahu hari ini obat itu ditinggal di rumah. Alhamdulillah, ada obat semprot lama yang masih tersisa sedikit. Bergegas, aku menuju kamar Budi. Tanpa bicara sepatah kata pun, aku semprotkan obat itu ke mulutnya. Tiga semprotan.

Aku duduk di samping Budi yang masih mengerang. Terdiam, menunggu reaksi obat. Sempat terbayang, seandainya Budi memiliki anak, tentu dia bisa membantu di saat ayahnya dalam kesulitan seperti ini. Tapi faktanya, Budi dan Windy, tak memiliki anak. Mereka hanya hidup berdua.

Apesnya lagi, hubungan dengan tetangga tak semanis madu. Mereka tertutup. Tak pernah ikut kegiatan sosial, kerja bakti, mapun hadir di masjid dalam ritual keagamaan. Mereka merasa nyaman dengan kesendiriannya. Beruntung, sebulan terakkhir tabiat kurang menyenangkan itu perlahan-lahan memudar.

Budi mulai menyapa tetangga. Pernah ikut kerja bakti membersihkan jalan di depan rumahnya. Istrinya mulai bertegur sapa. Sejatinya, istri Budi adalah wanita ramah. Keenggenannya bertegur sapa karena takut akan amarah Budi. Menurut dongeng, saat muda Windy pernah berselingkuh dengan brondong alias anak baru gede (ABG). Sejak itu, Budi melarang Windy bergaul. Dengan siapa pun.

Perubahan sikap Budi dan Windy itu yang membuat tetangga iba ketika asma Budi kambuh. Meski sebenarnya pagi itu aku harus buru-buru ke kantor karena pekerjaan menumpuk, namun aku tak tega mendengar Budi mengerang, menahan sakit. Semprotan tiga kali ke rongga mulut Budi bisa meredakan sakitnya.
                                                                          ***   
Setelah Budi diam karena sesak napasnya berkurang, aku balik ke rumah. Bersiap-siap ke kantor. Ini hari Senin. Tak elok jika datang terlambat. Apalagi, alasannya membantu tetangga sakit. Tak profesional dan terkesan mengada-ada.

Aku masuk ke kamar mandi dengan riang gembira. Tak lagi mendengar erangan orang sakit. Bagiku, kamar mandi adalah tempat ternyaman untuk 'merenung.' Dari sinilah kadang muncul ide brilian, judul berita menarik atau lead sebuah berita. Ide-ide itu biasanya muncul saat buang hajat atau mandi di bawah shower dengan air dingin yang perlahan-lahan mengucur ke atas kepala. Tetesan-tetasan air itu bagai pintu pembuka kreativitas. Di kamar mandi inilah aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit.

Untung, pagi itu semua anggota keluarga sudah berangkat, mengurus kepentingan mereka sendiri. Tak ada yang mengusikku. Setelah membasuh seluruh badan, giliran air mengucur ke kepala. Momen yang menyenangkan. Rambut super tipis membuat siraman air itu begitu terasa di batok kepala. Dingin-dingin menyegarkan. Menikmati kucuran air dingin itu, aku memikirkan lead berita mengenai museum perdamaian di Prefektur Okinawa. Bagaimana orang sadar bahwa perang hanya akan membawa penderitaan bagi masyarakat.

Di saat renungan itu belum membuahkan hasil, bel rumah berbunyi nyaring. Dipencet berulang-ulang membuatku kesal. Segera aku mengambil handuk, mengeringkan badan, berganti celana pendek dan kaos, lalu keluar rumah.

"Pak, Budi kambuh lagi,' ujar Rini, tetangga sebelahku. Meski kesal karena bakal terlambat ke kantor lagi, aku masuk ke rumah Budi. Kali ini tak ada pilihan lain, harus memboyong Budi ke rumah sakit. Dan perlu diketahui, birokasi ke rumah sakit pemerintah di negeri ini, sungguh berbelit. Harus ada rujukan dari puskesmas atau klinik kelas satu. Padahal, belum tentu mendapat tempat tidur sesuai yang diinginkan. Dan untuk urusan ini, tidak mungkin aku yang mengurusnya.

Aku memutuskan untuk menelepon Windy, istri Budi. Bertanya pada Budi, rasanya tak mungkin. Nafasnya terengah-engah. Aku ambil HP di dekat kepala Budi yang berbaring. Kubuka phone book, mencari-cari nama Windy. Tak ada. Lalu kuganti dengan kata mama, ibu, bunda sampai umi. Nihil juga.

Setengah jengkel, HP itu aku dekatkan wajah Budi. "Mana nomor HP istri sampeyan?" Dengan susah payah, Budi mencari daftar nama di phone book sesuai abjad. Dia menaikkan krusor, dari W ke atas sampai ke huruf J. Budi menunjuk kata Jembut. Ya, ia memanggil istrinya dengan kata itu. Istri yang selama ini menafkahi hidupnya, merawat dari sakit serta menjaga agar ia tetap sehat disamakan dengan rambut kemaluan. Sebuah ironi di pagi hari.

Niatku menelepon Windy mulai kendor. Sempat berpikir, biarkan saja pria ini meninggal perlahan-lahan, menebus dosa pada istrinya yang sudah bertumpuk selama bertahun-tahun. Namun, rasa kemanusiaanku terusik melihat derita Budi yang ada di depan mata. Aku menelepon Windy, memberi tahu kondisi suaminya.

Kutinggalkan kunci mobil pada Rini seraya berpesan agar mencari tetangga yang bisa menyetir untuk mengantar Budi sampai ia mendapatkan rumah sakit. Aku berangkat ke kantor dengan kata jembut terngiang-ngiang di telinga. Kupret!!! * (Ditulis dari 8 Desember 2016 sampai 2 Maret 2017, sebuah cerita yang tertunda)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...