Saturday 18 April 2015

Berkelana di Pantai Sawarana, Lebak

Pantai Pasir Putih
Beruntung kami membawa mobil jip sehingga medan berat plus jalan berlubang menuju Pantai Sawarna di Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dengan mudah kami lewati.

Meski mudah, kami memerlukan waktu sekitar 12 jam. Berangkat dari Depok pukul 06.00 pagi dan menginjakkan kaki di villa pinggir Pantai jam 18:00, saat adzan magrib berkumandang. Lamanya perjalanan disebabkan beberapa hal. Pertama, saat itu libur panjang. Tanggal 3 April 2015 adalah hari libur memperingati wafatnya Isa Almasih. Kami terjebak macet di pintu keluar Bogor sampai Parungkuda.

Jembatan Gantung Menuju Goa Lalay
Dari Parungkuda sampai Pelabuhan Ratu via Cikidang relatif lancar. Namun, kami harus beristirahat lagi untuk sholat Jumat dilanjutkan makan siang. Jalan dari Pelabuhan Ratu menuju Sawarna kurang bagus plus naik turun sehingga mobil melaju pelan.

Sampai di penginapan, kami (tepatnya saya) tepar, langsung tidur. Baru pagi harinya, sehabis sholat subuh kami menuju Pantai Pasir Putih. Menikmati keindahan alam dan kesegaran udara. Kami berjalan melewati galengan (jalan setapak) sawah.

Sekitar pukul 09:00, kami melanjutkan perjalanan ke Goa Lalay. Mobil bisa parkir di rumah penduduk, sekitar 100-200 meter dari goa. Jalan menuju goa melewati jembatan gantung. Tenang, jembatan ini kokoh dan bisa dilewati motor secara bergantian dari lawan arah.

Kami memakai jasa pemandu untuk masuk goa. "Untuk masuk ke goa paling dalam harus pakai tabung oksigen," jelas pemandu. Secara kami bukan pehobi masuk goa, kami memilih masuk goa bagian "agak dalam". Itupun sudah gelap gulita. Beruntung pemandu memberikan kami lampu kepala plus lampu besar untuk menyusuri bebatuan nan licin. Untuk menggambil gambar di sini cukup sulit, apalagi memakai kamera dengan ISO ala kadarnya.

Stalagmit Gogay Lalay
Tujuan selanjutnya adalah Pulau Manuk. Saat melihat monyet, mobil kami berhenti. Kami pikir hanya ada beberapa kera. Namun, saat kami memberinya kacang, puluhan monyet turun dari pohon dan mengepung mobil kami. Monyet senior mengusir kera kecil untuk merebut makanan.

Dari sini kami mencari restoran untuk lunch. Dalam kondisi lapar, kami membutuhkan pelayanan cepat. Tetapi, budaya cepat saji di wilayah ini sepertinya belum ada. Kami menunggu terlalu lama hanya untuk menyantap cumi goreng tepung, udang dan ikan bakar.

Berikutnya, kami menuju ke Pantai Legon Pari dan Karang Teraje. Kami harus naik ojek karena jaraknya jauh dan berbatu-batu. Pantas saja ongkos ojek per orang PP Rp100.000. Beberapa kali blok mesin motor menghantam batu. Sepertinya itu hal biasa karena tak ada tukang ojek yang mengeluh meski bunyi benturan besi dan batu sering gaduh. Inilah salah satu kesalahan kami. Karang Teraje memesona untuk melihat sunrise bukan sunset.


Pantai Karang Teraje
Pemandangan pantai di wilayah ini memang memesona. Hanya, kami tak sempat menikmati pantai-pantai itu. Tak sempat snorkeling atau bermain skateboard. Hal ini disebabkan waktu kunjung singkat, sementara tempat yang harus didatangi terlampau banyak. Berbeda ketika saya liburan ke Pantai Ujung Genteng, Sukabumi. Kami sempat mandi di pantai dan menangkap ikan-ikan hias di sela-sela karang. *

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...