Monday 8 February 2016

Pasca Pilpres, Biyan & Dodo Takut Ngopi



“Lincoln believed that with public sentiment nothing can fail; without it, nothing can succeed..." (Doris Kearns Goodwin)

Kutipan di atas adalah pendapat Doris Kearns Goddwin ketika me-review buku berjudul Lincoln and the Power of the Press karangan Harold Holzer. Dalam buku itu dibeberkan bagaimana Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke-16 (Maret 1861-1865), memanfaatkan surat kabar untuk memerangi perbudakan dan menjaga keutuhan AS dari perang sipil.

Presiden AS lain, John F. Kennedy (JFK) (presiden ke-35 AS, 1961-1965) memanfaatkan televisi untuk mendapat simpati pemilih. Sekitar 70 juta pemilih (2/3 jumlah pemilih saat itu) menyaksikan debat perdana JFK Richard Nixon pada 26 September 1960. Dari debat tersebut, "Most Americans watching the debates felt that Kennedy had won. (Most radio listeners seemed to give the edge to Nixon.)" (http://www.jfklibrary.org/)

Rupanya pemanfaatan surat kabar dan televisi untuk memenangi pemilu di negeri Paman Sam telah mengilhami calon presiden RI pada pemilu 2014 lalu. Kedua kubu, memanfaatkan semua media massa, cetak dan elektronik, untuk membentuk opini publik, atau istilah kerennya pencitraan.

Meski pers seharusnya netral dalam mengetengahkan realitas namun faktanya tak ada yang terbebas dari kepentingan. Agus Sudibyo dalam buku  Politik Media dan Pertarungan Wacana, mengungkap, meskipun pers telah lepas dari rezim orde baru, namun bukan berarti secara praktis menjadikannya bebas dan otonom. Dengan berbagai alasan, ia tetap entitas yang berkepentingan, sadar atau tidak sadar, terorganisir ataupun tak terorganisir, dan karenanya harus diwaspadai. Berbagai faktor bisa menjadikan pers tidak bebas dan otonom: modal , organisasi, ideologi, kultur bahkan hal-hal yang bersifat teknis seperti soal keterbatasan kemampuan dan akses.

Bagaimana hasilnya? Sungguh luar biasa! Di luar perkiraan dan jauh mengungguli kejadian serupa di AS. Pengaruh pencitraan melalui media massa itu bertahan hingga pemilu usai. Bahkan melahirkan pengikut fanatik yang dengan suka rela membuat situs sendiri untuk membela jagoan masing-masing. Menyebarkan berita-berita sesat melalui media sosial, memelintir fakta menjadi ghibah cenderung fitnah. Muncul bintang media sosial yang memiliki follower jutaan sehingga sudah bisa membuat pelatihan menulis untuk followernya. Kedua kubu melakukan hal itu hingga detik ini.

Makanya, rakyat jelata seperti kita harus pintar-pintar memilih media, baik cetak atau elektronik, dalam melihat suatu fakta. Kita harus melihat dan mendengar dari kedua kubu untuk mendapat gambaran menyeluruh. Sungguh apes hidup di negeri ini karena harus berpikir seribu kali untuk mendapatkan kebenaran (setidaknya mendekati kebenaran).

Tetapi lucunya, kegaduhan itu hanya terjadi di level bawah. Di tingkat elit tentu terjadi kegaduhan, cuma berbeda. Mereka berebut kekuasaan dan proyek, bukan adu mulut serta debat kusir yang tak berujung dan menghasilkan apapun.

Apa yang terjadi di pilpres, sepertinya juga menimpa Biyan dan Dodo, saat bersaing merebut kursi RW di kampunya. Dodo yang memenangi pemilihan dikelilingi oleh punggawa yang selalu menyebarkan berita miring mengenai si Biyan. Sebaliknya, Biyan pun memiliki pengikut dan pendamping yang terus-menerus mengupdate berita buruk mengenai Dodo. Jadilah mereka saling curiga.

Meski terjadi perang dingin, sebagai tokoh masyarakat, keduanya bisa berjabat tangan erat dan tertawa renyah jika bertemu dalam suatu acara. Ngobrolnya juga asyik, seperti tak ada bara di dalam dada.

Suatu ketika, Biyan mengajak Dodo untuk minum kopi di HIK, tempat wedangan khas Jogya. Dia tak ingin keakraban yang sudah lama terbina sirna. "Ayo Do, kita ngopi bareng sambil ngobrol," ajak Biyan. Dodo menyanggupi, namun dia akan mencari waktu senggang di tengah kesibukannya yang amat sangat padat.

Mendengar Dodo bersedia diajak ngopi, para punggawa pun gerah. Mereka khawatir Dodo akan bernasib seperti Mirna, menyeruput kopi bersianida. "Hati-hati Pak, kenapa tiba-tiba dia ngajak ngopi. Harap dipertimbangkan masak-masak. Kalau pun mau ngopi, kita yang harus menentukan tempatnya. Agar steril," bisik seorang punggawa.

"Bapak sudah baca berita tadi pagi, ada seorang yang meregang nyawa gara-gara ngopi dengan sahabat yang sudah lama gak bertemu. Apalagi yang ngajak ngopi pesaingnya. Hati-hati," ujar punggawa lain.

Peringatan bertubi-tubi dari para punggawa membuat Dodo selalu berasalan sibuk pada Biyan sehingga acara ngopi tak pernah terjadi. Dan perang dingin pasca pemilihan RW pun terus berlanjut karena para punggawa Biyan juga mengatakan tak ada niat baik dari Dodo untuk menjalin silaturahim.


Suasana terus memanas jika da kejadian atau gosip yang dihembuskan para pengikut Dodo dan Biyan, baik melalui media sosial (grup WA, BB, FB, Line) maupun selebaran gelap di kampung yang dipimpin Dodo.\n\nBayangkan jika kejadian yang dialami Biyan dan Dodo ini terjadi di level nasional. Bangsa yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa dan menghadapi pasar bebas Asia Tenggara. Alamaakkk! Ngopi dulu aja yuks! (*)

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...