“Lincoln believed that with public sentiment nothing can fail; without it, nothing can succeed..." (Doris Kearns Goodwin)
Kutipan di atas adalah pendapat Doris Kearns Goddwin ketika
me-review buku berjudul Lincoln and the Power of the Press karangan Harold
Holzer. Dalam buku itu dibeberkan bagaimana Abraham Lincoln, presiden Amerika
Serikat ke-16 (Maret 1861-1865), memanfaatkan surat kabar untuk memerangi
perbudakan dan menjaga keutuhan AS dari perang sipil.
Presiden AS lain, John F. Kennedy (JFK) (presiden ke-35 AS,
1961-1965) memanfaatkan televisi untuk mendapat simpati pemilih. Sekitar 70
juta pemilih (2/3 jumlah pemilih saat itu) menyaksikan debat perdana JFK Richard
Nixon pada 26 September 1960. Dari debat tersebut, "Most Americans
watching the debates felt that Kennedy had won. (Most radio listeners seemed to
give the edge to Nixon.)" (http://www.jfklibrary.org/)
Rupanya pemanfaatan surat kabar dan televisi untuk memenangi
pemilu di negeri Paman Sam telah mengilhami calon presiden RI pada pemilu 2014
lalu. Kedua kubu, memanfaatkan semua media massa, cetak dan elektronik, untuk
membentuk opini publik, atau istilah kerennya pencitraan.
Meski pers seharusnya netral dalam mengetengahkan realitas
namun faktanya tak ada yang terbebas dari kepentingan. Agus Sudibyo dalam
buku Politik Media dan Pertarungan
Wacana, mengungkap, meskipun pers telah lepas dari rezim orde baru, namun bukan
berarti secara praktis menjadikannya bebas dan otonom. Dengan berbagai alasan,
ia tetap entitas yang berkepentingan, sadar atau tidak sadar, terorganisir
ataupun tak terorganisir, dan karenanya harus diwaspadai. Berbagai faktor bisa
menjadikan pers tidak bebas dan otonom: modal , organisasi, ideologi, kultur
bahkan hal-hal yang bersifat teknis seperti soal keterbatasan kemampuan dan
akses.
Bagaimana hasilnya? Sungguh luar biasa! Di luar perkiraan
dan jauh mengungguli kejadian serupa di AS. Pengaruh pencitraan melalui media
massa itu bertahan hingga pemilu usai. Bahkan melahirkan pengikut fanatik yang
dengan suka rela membuat situs sendiri untuk membela jagoan masing-masing.
Menyebarkan berita-berita sesat melalui media sosial, memelintir fakta menjadi
ghibah cenderung fitnah. Muncul bintang media sosial yang memiliki follower
jutaan sehingga sudah bisa membuat pelatihan menulis untuk followernya. Kedua
kubu melakukan hal itu hingga detik ini.
Makanya, rakyat jelata seperti kita harus pintar-pintar
memilih media, baik cetak atau elektronik, dalam melihat suatu fakta. Kita
harus melihat dan mendengar dari kedua kubu untuk mendapat gambaran menyeluruh.
Sungguh apes hidup di negeri ini karena harus berpikir seribu kali untuk
mendapatkan kebenaran (setidaknya mendekati kebenaran).
Tetapi lucunya, kegaduhan itu hanya terjadi di level bawah.
Di tingkat elit tentu terjadi kegaduhan, cuma berbeda. Mereka berebut kekuasaan
dan proyek, bukan adu mulut serta debat kusir yang tak berujung dan
menghasilkan apapun.
Apa yang terjadi di pilpres, sepertinya juga menimpa Biyan
dan Dodo, saat bersaing merebut kursi RW di kampunya. Dodo yang memenangi
pemilihan dikelilingi oleh punggawa yang selalu menyebarkan berita miring
mengenai si Biyan. Sebaliknya, Biyan pun memiliki pengikut dan pendamping yang
terus-menerus mengupdate berita buruk mengenai Dodo. Jadilah mereka saling
curiga.
Meski terjadi perang dingin, sebagai tokoh masyarakat,
keduanya bisa berjabat tangan erat dan tertawa renyah jika bertemu dalam suatu
acara. Ngobrolnya juga asyik, seperti tak ada bara di dalam dada.
Suatu ketika, Biyan mengajak Dodo untuk minum kopi di HIK,
tempat wedangan khas Jogya. Dia tak ingin keakraban yang sudah lama terbina
sirna. "Ayo Do, kita ngopi bareng sambil ngobrol," ajak Biyan. Dodo
menyanggupi, namun dia akan mencari waktu senggang di tengah kesibukannya yang
amat sangat padat.
Mendengar Dodo bersedia diajak ngopi, para punggawa pun
gerah. Mereka khawatir Dodo akan bernasib seperti Mirna, menyeruput kopi
bersianida. "Hati-hati Pak, kenapa tiba-tiba dia ngajak ngopi. Harap
dipertimbangkan masak-masak. Kalau pun mau ngopi, kita yang harus menentukan
tempatnya. Agar steril," bisik seorang punggawa.
"Bapak sudah baca berita tadi pagi, ada seorang yang
meregang nyawa gara-gara ngopi dengan sahabat yang sudah lama gak bertemu.
Apalagi yang ngajak ngopi pesaingnya. Hati-hati," ujar punggawa lain.
Peringatan bertubi-tubi dari para punggawa membuat Dodo
selalu berasalan sibuk pada Biyan sehingga acara ngopi tak pernah terjadi. Dan
perang dingin pasca pemilihan RW pun terus berlanjut karena para punggawa Biyan
juga mengatakan tak ada niat baik dari Dodo untuk menjalin silaturahim.
Suasana terus memanas jika da kejadian atau gosip yang
dihembuskan para pengikut Dodo dan Biyan, baik melalui media sosial (grup WA,
BB, FB, Line) maupun selebaran gelap di kampung yang dipimpin
Dodo.\n\nBayangkan jika kejadian yang dialami Biyan dan Dodo ini terjadi di
level nasional. Bangsa yang berpenduduk lebih dari 250 juta jiwa dan menghadapi
pasar bebas Asia Tenggara. Alamaakkk! Ngopi dulu aja yuks! (*)
No comments:
Post a Comment