Wednesday 24 February 2016

Budaya Sharing yang Kadang Menyesatkan


Belakangan ini muncul website dan blog yang tak jelas juntrungannya. Mereka pakai embel-embel provokatif. Sebarkanlah! Dan kata-kata bombastis sejenisnya.

Kata-kata yang sering dipakai adalah share ke yang lain, bagikan, atau simpan. Kadang disertai ancaman seperti surat berantai di masa lampau. Kalau tidak di-sharing akan mendapat petaka, bencana dan duka lara. Uang hilang, dompet dicopet, mobil nabrak, atau anak disambar kereta.

Fenomena ini makin menggila saat pilpres. Beberapa tokoh medsos memelintir berita, mengomentari lalu menjatuhan lawan politiknya. Hal ini juga dilakukan oleh media partisan.

Apakah pasca pilpres era sharing membabi buta ini sudah berakhir? Belum dan malah menjadi-jadi. Kalau dulu hanya berkutat di soal SARA dan politik, kini lebih bervariasi.

Di bidang kesehatan, muncul berita menakjubkan. Daun X bisa menyembuhkan kanker yang sudah diderita puluhan tahun. Atau kulit buah bisa menyehatkan jantung? Sahihkah berita tersebut. Dari mana sumbernya? Hasil penelitian atau bualan tukang jamu di depan Krisna Teater di samping alun-alun kota Magelang era 80-an? Dan kalau ada orang apes yang mengikuti petunjuk blog gak jelas itu lalu sekarat, siapa bertanggung jawab? Penulis atau penyebar berita terakhir ke orang itu?

Di bidang gosip selebriti, bermunculan judul seperti koran merah. Terungkap si Y ternyata punya simpanan. Setelah dibaca ternyata punya simpanan uang di bank (nah loh). Atau si A bicara blak-blakan di sini! Apa yang dibicarakan? Film terbarunya!

Para motivator pun memanfaatkan momen ini. Yang Like dan sharing berita ini bisa memiliki rumah di tahun 2016. Paranormal tak mau ketinggalan. Yang Aamiin dan sharing akan dimudahkan jodohnya. Benarkah ketika kita share artikel itu kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan?

Di bidang politik, masih saja pelintir memelintir. Orang akan menshare berita yang mendukung opininya. Fakta sama bisa ditulis bertolak belakang oleh media yang berseberangan. Jarang yang mau membaca berita dari kedua kubu secara obyektif.

Ada kesamaan pola dari blog pemuja pageview itu: membuat judul bombastis untuk menarik minat baca. Kadang antara judul dan isi berita tidak nyambung. Saya tidak tahu apakah tulisan seperti ini bisa dikategorikan berita yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik dengan 5W dan 1H.

Celakanya, banyak netizen di negeri ini yang malas membaca. Jika judulnya terlihat menarik, langsung share tanpa membaca secara utuh. Kadang ada kampret atau kecebong yang share berita tahun lalu yang dipelintir oleh panutan mereka menjadi seperti berita kekinian. Lebih celaka lagi, para pesharing berita gelap gulita ini juga datang dari mereka yang berpendidikan tinggi. Mereka bukan oon tetapi hanya malas membaca berita utuhnya.

Maka jangan heran kalau ada berita PHK tahun lalu muncul lagi di medsos, atau foto jalan raya di Selandia Baru diklaim sebagi hasil kerja prejabat sekarang di Papua.

Apakah kita tidak boleh sharing? Boleh dan malah wajib jika artikel itu untuk kemaslahatan umat. Untuk mengetahui artikel itu bermanfaat atau tidak, tentu kita harus membaca sampai tuntas. Bukan hanya melihat judul.


Kualitas seseorang bukan dilihat seberapa banyak artikel yang di share saban hari tetapi seberapa banyak artikel bermanfaat yang pernah dibagikan kepada sesama. *

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...