Tuesday 17 May 2016

Benteng Van Der Wijck nan Sunyi

Bentang Van Der Wick

Menari diiringi dengan piano. Syair lagu Piano karangan Bang Haji mengalun keras saat saya makan bakso dan tempe mendoan di Kampoeng Kuliner di kawasan wisata Bentang Van Der Wick di Kecamatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah pertengahan Mei 2016. Awalnya, lagu itu tak menarik perhatian. Saya lebih suka meneliti menu pecel, dawet hitam atau soto yang tersedia di kantin tersebut.

Namun, saat saya pergi ke toilet yang letaknya di belakang kantin dan bersebalahan dengan kolam renang dan water park di kawasan tersebut, saya menjadi ngeh dengan lagu itu. Ternyata itu bukan suara Compact Disk. Ada penyanyi yang diiringi organ tunggal di tengah kolam besar. Kolam itu bersebalahan dengan kolam renang dan kincir angin serta berdekatan dengan kantin. Di panggung yang menonjol ke tengah kolam terdapat tulisan yang mengijinkan pengunjung untuk menyumbangkan lagu alias menyanyi dengan iringan organ tunggal. Untung saya nggak bisa nyanyi, jadi gak perlu mendaftarkan diri.

Pintu gerbang
Saat ini, tiket masuk ke Bentang Van Der Wicjk sudah dibandling. Dengan merogoh Rp25.000, kita sudah bisa naik kereta api dari gapura masuk untuk mengelilingi benteng seluas 3606,625 m2 dan tinggi 9.67m. Bisa pula naik kereta api wisata di atas benteng.

“Sekarang pakai mesin Suzuki Cary,” kata sopir kereta api di atas benteng ketika saya tanya mesin yang dipakai untuk menggeret kereta. Gerbong lama sudah rusak dan hanya ditaruh di atas genteng benteng, di dekat stasiun kereta api atas. Bonus paket tiket lainnya adalah berenang di kolam renang dan water park. Kalau pengunjung jauh seperti saya yang hanya mampir, dipastikan tak akan berenang. Wong tidak bawa baju renang plus waktu nan mepet.

Ruang tempat memajang foto-foto Bentang Van Der Wick
Sayang, tiket itu belum termasuk menginap di Hotel Wisata di lokasi tersebut (busyet Rp25.000 minta nginap gratis di hotel. Hotel melati kelas bawah pun kagak boleh segitu). Kamar hotel terlihat sederhana. Kursi di restoran hotel pada posisi tertelungkup yang berarti tak ada tamu yang menginap. Istri dan anak saya juga tak tertarik menginap di hotel itu karena takut aura mistis benteng. Kami memilih menginap di hotel jalan Ahmad Yani di dekat alun-alun Kebumen.

Dari gapura masuk saya memilih naik kereta. Sebenarnya gak jauh, hanya sekitar 100 meter. Tetapi dengan naik kereta, saya mengelilingi bentang, dari luar hingga masuk ke lapangan. Kereta menurunkan saya di pintu masuk benteng. Di kanan kiri pintu masuk yang melengkung itu, terdapat foto-foto benteng sebelum dipugar sampai saat ini. Juga foto-foto artis yang memanfaatkan lokasi tersebut untuk syuting. Ada band Slank yang syuting video klip lagu Punya Cinta pada 11 November 2011 serta syuting film  The Raid 2: Berandal, 18-25 Februari 2013.

Tangga ke lantai dua
Benteng ini dibangun pada 1818 seperti tulisan yang tertera di bagian kanan pintu masuk. Konon, pembangunan benteng diprakarsai oleh Jendral Van den Bosh di bekas kantor kongsi dagang VOC yang berada di Gombong yang dipersiapkan untuk melawan Kesultanan Yogyakarta (Perang Diponegoro 1825-1830).

Di lantai satu, bagian kanan dan kiri pintu masuk, tempat memajang foto-foto benteng dari masa sebelum dipugar hingga pemanfaatan saat ini, sudah direnovasi. Lantai diganti keramik warna coklat, dan tembok sudah dicat hijau tentara dan putih. Jangan heran kalau melihat anak-anak bermain sepeda di sekitar benteng. Maklum, di komplek ini terdapat perumahan tentara karena saat ini di sekitar benteng dijadikan sekolah calon tamtama tentara.

Arsiterktur Benteng Van Der Wijck berbentuk segi delapan dengan tebal dinding 1,4m. Struktur banteng sendiri terdiri dari 2 lantai . Lantai pertama memiliki 4 pintu masuk dan 16 kamar yang sangat besar dan terdiri dari 72 jendela, 63 pintu penghubung dan pintu keluar dan 8 tangga untuk mencapai di lantai 2 bangunan benteng ini. Kayu daun pintu dan teralis besi jendela banyak yang rusak. Sebagian teralis jendela diganti dengan kayu.

Kereta wisata di atas benteng
Di sebelah kanan, di dekat tempat memajang foto, tertulis ruang Studio Foto. Tak ada peralatan foto seperti kamera atau lampu. Yang ada hanya sebuah sepeda motor dengan atap warna biru, menyerupai warna langit cerah. Sepertinya pemotretan dilakukan di belakang motor karena terdapat pagar dan background untuk berfoto.

Lantai dua Benteng Van Der Wijck memiliki 70 pintu penghubung, 84 jendela dan 16 kamar yang ukurannya tergolong besar. Aroma mistis dan seram terasa saat menapaki tangga. Dinding berlumut dan sedikit terkelupas ditambah air yang menggenangi lantai, entah bocor atau tampyas dari jendela, membuat suasana agak menakutkan. Apalagi, di ruang itu hanya ada saya dan anak perempuanku.
“Sudah ah. Ayo keluar!” ajak anak saya. Karena alasan suasana mistis itu pula istri dan dua kaka ipar saya memilih makan pecel di kantin dan tak mau naik ke lantai dua dan atap benteng.

Dari ruang seram itu, saya naik tangga menuju kereta wisata atas benteng. Di ujung tangga naik, terdapat coretan-coretan anak alay. Ada yang menulisa namanya atau mengungkapan rasa cinta seperti Arif love (tanda love) Fita. Ini pos jaga apa pos cinta sih? Lagi-lagi hanya kami berdua yang akan naik kereta. Sepasang remaja yang saya kira mau naik kereta, ternyata hanya foto-foto di atas benteng. Jadilah, kami berdua berkeliling dengan kereta tua itu.

Pintu keluar
Bagian atas benteng menggunakan bata merah khas Belanda, tebal dan besar. Batu bata tanpa plester itu membuat rumput bisa tumbuh di sela-sela bata. Mungkin inilah yang menyebabkan kebocoran di lantai dua. Di lantai atas ini terdapat beberapa cerobong setinggi 3,33 meter dan empat pos jaga yang menghadap empat arah mata angin. Pos jaga ini untuk mengintai kedatangan musuh dari berebagai arah.

Salah satu pos jaga itu menjadi pintu keluar bagi penumpang kereta wisata atas benteng.Di tembok pos yang kusam dan tak terawat itu terdapat tulisan KELUAR/EXIT. Meski jelas-jelas tertulis pintu keluar, saya bertemu dua remaja naik melalui tangga tersebut. (Foto: Joko Harismoyo)

Wednesday 4 May 2016

Perbedaan Barang Hilang di Jepang dan Jakarta

Kokusaidori, Okinawa (Joko Harismoyo)
Pertengahan April 2016 saya dan tiga wartawan asal Indonesia berangkat ke Prefektur Okinawa, bagian paling selatan dari Jepang, untuk meliput Okinawa International Movie Festival (OIMF).

Rombongan kami bukan hanya wartawan, tetapi juga artis dari Yoshimoto Indonesia, beberapa di antaranya adalah artis Jepang yang berkiprah di Indonesia atau sebaliknya artis Indonesia yang akan diorbitkan di Jepang.

Salah satu rombongan kami adalah idol grup ABC (A Better Chance) di mana empat personelnya adalah mantan anggota girl band Cherrybelle yakni Cherly, Gigi, Ryn dan Steffy. Satu personel lain adalah Amor Mico.

Sebagaimana ABG lain, ABC selalu berfoto ria dan merekam setiap kegiatannya. Termasuk saat kami transit di bandara Narita, Tokyo. Menjelang keberangkatan ke Naha, Okinawa yang memerlukan 2,5 jam penerbangan lagi, anggota ABC tetap asyik berfoto.

Setelah pesawat Boeng merapat, kami naik ke bus menuju ke pesawat. Di atas bus, salah satu personel ABC gusar karena kamera mirrorless miliknya (kalau tidak salah Cannon EOS M3) tak ada di dalam tas. Kemungkinan tertinggal di ruang tunggu. Salah satu dari rombongan kami segera menghubungi petugas. Tak lama kemudian, petugas mengantar kamera tersebut. Tak jadi hilang tuh kamera!

Pengalaman barang hilang berikutnya terjadi di Kokusaidori, jalan sepanjang 2 km di Kota Naha yang menjadi pusat belanja para pelancong. Salah seorang rekan kami, wartawan sebuah televisi, ketinggalan HP di toko bebas pajak (duty free). Kami mencoba menelepon HP tersebut dan mengirim pesan WA. Nada bunyi masih terdengar, tetapi taka da jawaban.

Di tengah frustasi, teman itu meminta bantuan sekuriti toko tersebut. Petugas mengumamkan barang hilang itu melalui HT. Hanya selang beberapa menit, petugas toko membawa HP yang dimaksud. Dengan memperlihatkan passport dan tanda tangan di sebuah form, HP kembali ke pemiliknya. Dan, penemu HP itu tak mau menerima uang tips dari teman kami. Tak jadi hilang tuh HP!

Seorang manajer artis, yang turut dalam rombongan kami, malah menceritakan kalau anak asuhnya (artisnya) pernah ketinggalan dompet di salah satu toko di Kokusaidori. Dan tahun berikutnya ketika kembali mengunjungi daerah ini, dia mampir ke toko tersebut. Dan dompet itu masih ditemukan!
Bandara Soeta

Rombongan kami tiba di bandara Soekarno Hatta, Tangerang tengah malam. Kami berpencar. Dua wartawan masih di Soeta ketika saya dan wartawan satunya sudah naik kendaraan menuju rumah. Di pintu tol Pancoran, saya menerima pesan WA yang mengatakan HP wartawan media digital (detik.com) hilang. Tertinggal saat ke toilet di bandara. Saya segera menelepon HP yang hilang itu. Masih aktif, tetapi tidak ada jawaban.

Dengan bantuan HP rekan, wartawan detik.com itu melacak melalui menu Find My iPhone. HP masih di sekitar lokasi TKP, hanya 100 meter. Untuk mencegah konflik, dia mengajak petugas kemananan, mendatangi lokasi iPhone di parkiran mobil. Karena datang dengan petugas, pemegang HP yang sudah berada di atas mobil itu langsung memberikan iPhone yang dipegangnya. Tidak jadi hilang tuh HP!


HP hilang sama-sama ketemu. Bedanya, di Jepang kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk mendapatkan barang tersebut. Prosesnya pencarian pun lebih mudah. Di Jakarta, petugas keamanan meminta uang tips karena berhasil menemukan iPhone. Yah, daripada kehilangan HP mending mengeluarkan uang rokok meski sang teman itu merogoh dompetnya dengan menggurut panjang. Anjrittttt !!!! (*)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...