Sunday 27 December 2020

Bukan Hitam Putih




 

Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restoran untuk dikunjungi orang. Buku yang disebut Michelin Guide itu dibagikan gratis (sekarang berbayar). Orang yang enggak paham, menganggap langkah Michelin aneh.

Tetapi Michelin memiliki pikiran jauh ke depan, setidaknya dibanding kamu! Untuk mendongkrak penjualan ban, hanya ada du acara yakni memperbanyak jumlah mobil dan mempercepat orang mengganti ban.

Michelin memilih yang kedua. Bukan dengan menurunkan kualitas agar ban segera botak atau bocor, lalu ganti. Tidak. Itu cara pecundang. Mereka mendorong orang memakai mobilnya agar ban segera ganti.

Perusahaan lalu menciptakan Michelin Guide dan memberikannya secara gratis. Michelin mengeluarkan nama-nama restoran yang dianggap terbaik atau layak sebagai tempat makan. Awalnya hanya mengeluarkan daftar restoran di seluruh Prancis, lalu Eropa, dan dunia.

Yang menarik, publikasi gratis tentang restoran layak kunjung itu menciptakan inspirasi bagi pengemudi dan alasan bagi lebih banyak orang untuk memiliki mobil. Hasilnya, menjual lebih banyak produk pengganti. Perusahaan juga menghasilkan uang dari buku panduan setelah Michelin Guide menjadi berbayar.

Michelin membuktikan bahwa kemampuan berpikir dalam spektrum yang luas, di luar frame of reference dan field of experience perusahaan, mampu menghasilkan ide kreatif. Mereka keluar dari pola pikir “hitam putih” atau “kami” dan “mereka.” Mungkin Michelin belajar dari pabrik cat yang mampu menghasilkan ribuan warna hanya dari tiga warna dasar: merah, biru dan kuning.

Seyogyanya, individu juga belajar dari kreativitas Michelin dan pabrik cat dalam hal pola pikir. Cobalah membuka cakrawala yang lebih luas agar kita sadar bahwa dunia ini bukan panggung Deddy Corbuzer yang hanya mengenal hitam putih. Dunia ini penuh warna. Ketika pola pikirnya tidak hitam, bukan berarti mereka putih. Pun sebaliknya. Ketika tak setuju dengan suatu pendapat, bukan berarti menolak. Bisa menerima dengan catatatan atau abstain. Pola pikir seperti ini yang mestinya dikembangkan ke anak-anak agar kelak mereka tak menjadi pribadi pembenci atau pemuja tanpa syarat.

Kembali ke soal ban, rupanya Bridgestone mengikuti jejak Michelin dengan diversifikasi usaha yang tak terkait dengan corn business-nya. Pabrik ban asal Jepang itu membuat sandal bekerjasama dengan perusahaan fesyen asal Amerika Serikat Calvin Klein. Hasilnya, sandal yang awet dan ramah lingkungan. Murah pula, cuma Rp25.000.

Jika ban bekas Bridgestone itu tak didaur ulang, paling hanya dibakar oleh pendemo yang akan meningkatkan kadar karbondioksida di udara.***

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...