Sunday 15 July 2018

Asam lambung Tinggi, Bagai Meniti Jembatan Shiratal Mustaqim

Foto: Tribunnews


Jalan tol Jagorawi yang terdiri dari empat lajur itu, di mata saya, bagai jalan yang terbuat dari sehelai rambut dipilah tujuh. Butuh perjuangan ekstra untuk mencapai rumah.


Siang itu, Sabtu, 14 Juli 2018, saya menghadiri undangan di Harmony Banquat Hall Yasmin, Bogor. Di tengah perjalanan saya perut terasa melilit dan mual, ditambah pusing. Sesampai di gedung pertemuan, saya menyerah. Tidak ikut masuk ke hajatan dan memilih mencari toilet di Giant serta berburu obat. Sial, tak ada yang berjualan obat yang saya inginkan.

Dari Yasmin, saya masuk tol lingkar luar. Rasaya nyeri makin menjadi-jadi. Begitu pun dengan mual dan pusing. Saya keluar tol menuju Sentul City. Beruntung menemukan apotik. Si bontot bilang itu penyakit asam lambung tinggi.

Sebenarnya dalam 3-4 hari terakhir saya sudah merasa begah di perut. Karena belum punya pengalaman sakit asam lambung, saya justru menduga kurang makan sayur dan buah. Tiap hari, konsumsi buah dan sayur justru meningkat. Dibarengi dengan jalan kaki dari kantor menuju stasiun. Rasa capai itu menyebabkan tidur pulas meski begah belum juga hilang.

Sabtu pagi begah itu belum hilang sehingga ketika berangkat kondangan saya belum sarapan apa pun, kecuali tiga gorengan di dekat tempat pencucian mobil plus Pocari Sweat. Minuman itu terpaksa saya beli untuk menukarkan uang guna membayar gorengan Rp3000.

Di Century, istri membelikan obat Polysilane. Minum obat cair itu, rasa begah berangsur hilang. Diajak makan saya belum mau. Akhirnya istri berburu teh hangat yang didapat dari cafe terdekat. Minum hanya seteguk karena mual masih terasa. Saya terpaksa tiduran di dalam mobil di tempat parkir yang terik.

Mau pulang belum berani. Mual dan pusing masih terasa. Istri, meski sudah kursus stir, tetap juga tak bisa. Si kecil baru beberapa kali belajar. Rasanya riskan menyerahkan stir mobil ke mereka. Setelah istirahat beberapa saat, sekitar 30 menit, saya beranikan menyetir. Rencana ukur baju ke penjahit terpaksa gagal.

Saya masuk tol Jagorawi. Sambil nyetir, istri ngerokin bahu sebelah kiri sambil ngolesin minyak kayu putih. Jalan lebar yang lengang itu, bagi saya, bagai jalan sempit yang membutuhkan perjuangan berat. Apalagi keluar pintu tol Nanggawer, harus melewati jalan berkelok sebelum sampai rumah.

Tiba di rumah tepat saat adzan azhar saya langsung tidur. Perlahan-lahan kondisi membaik. Jam tujuh saya sudah bisa minum segelas teh hangat manis. Keringat bercucuran. Disediakan makan, tapi belum juga bisa. Saya kembali minum Polysilane dilanjut tidur. Acara nobar Inggris vs Belgia dan halal bihalal, gagal.

Sekitar jam 09:00 saya muntah plus BAB. Yang keluar hanya air sebab dari pagi belum makan apa-apa. Plong rasanya. Perut enak dan pusing mereda. Saya bisa makan, yang dilanjut dengan menonton babak kedua Inggris vs Belgia di rumah yang akhirnya dimenangi Belgia (peringkat tiga Piala Dunia 2018).

Pagi hari perut saya semakin enak. Sudah bisa sarapan yang dilanjut makan siang. Obat tetap saya minum. Makan pun mulai memilih-milih yang tidak mengandung gas. Sepertinya, kebiasaan minum kopi setiap hari harus dihentikan. Oh ya, rokok sudah berhenti sejak tahun 2000-an. ***

Wednesday 11 July 2018

Yuks Belajar dari Obyek Wisata di Bandung

Ayunan di The Lodge Maribaya, Lembang, Bandung. (Foto: Joko harismoyo) 

Tempat wisata di Bandung (yang saya kunjungi) cukup kreatif mengemas obyeknya sehingga bisa meraup pemasukan yang lumayan. Bisa dicontoh oleh tempat wisata di Magelang dengan kadar yang disesuaikan.


Sabtu lalu (7 Juli 2018), pagi hari, saya sudah tiba di Floating Market Lembang, Bandung Barat. Harga tiket masuk Rp20.000 per orang, Tiket tersebut bisa ditukar dengan segelas minuman. Lumayanlah.

Tiket masuk hanyalah titik awal untuk berkelana. Untuk menikmati berbagai tempat, pengunjung harus membayar lagi. Misalnya untuk naik perahu, kereta api mini, taman kelinci atau menyewa kimono di Osakaku. Trik bisnis di tempat ini biasa saja. Kurang menarik dibahas.

Yang menarik dibahas dan mungkin bisa ditiru oleh pelaku bisnis wisata di kota kecil semacam Magelang adalah cara mengelola The Lodge Maribaya, Lembang. Harga tiket masuk Rp30.000. Sama seperti di Floating Market, tiket bisa ditukarkan dengan segelas Milo. Heran, kenapa semua Milo ya? Jangan-jangan tempat wisata di sana disponsori oleh minuman coklat ini.

The Lodge mempunyai banyak fasilitas. Gak perlu dibahas satu-satu. Bikin capai dan ngulang-ulang. Baca sendiri di websitenya. Yang menarik bagi saya adalah spot foto. Ada Sky Tree (Rp15.000-Rp20.000), Zip Bike (Rp20.000), Mountain Swing atau ayunan (Rp20.000), Gantole (Rp20.000), Hot Air Baloon (Rp20.000), Hot Air Baloon Hydraulic (Rp30.000) dan   Sky Plane (Rp20.000).

Saya tidak sempat mencoba semua spot foto. Hanya bisa di Mountain Swing. Sebenarnya bukan saya, tapi anak, istri dan keponakan. Saya bertugas memotret he heee. Kenapa hanya satu spot? Karena sampai sana sudah nyaris tutup.

Setelah ngantre beberapa menit, sampailah giliran anak saya. Kamera pasti sudah siap. Pengunjung diizinkan memotret sendiri walau pihak The Lodge menyediakan fotografer khusus. Inilah "kecerdasan" The Lodge. Pengunjung tidak akan mendapatkan angle menarik untuk memotret. Entah terlihat ayunan lain atau atap gubug. Walau diedit melalui photoshop, tetap kurang dramatis seperti hasil pemotretan mereka. Dapat dipastikan pengunjung akan membeli foto dari The Lodge.

Harga per foto Rp10.000. Ini tidak dicetak loh. Hanya dibagi melalui aplikasi Share it. Karena fotografer memotret sekitar lima jepretan, rata-rata pengunjung membeli 1-3 foto. Jadi untuk satu spot foto mereka harus membayar tiket masuk plus foto. Menghabiskan Rp20.000 hingga Rp50.000 untuk satu spot foto. Bayangkan kalau setiap pengunjung berfoto di dua atau tiga spot. Lumayan kan pemasukannya?

Mengutip bayaran di spot foto juga dilakukan oleh tempat wisata di Bantul, Yogyakarta, baik di Bukit Panguk maupun Puncak Becici. Tarif per spot hanya Rp3000. Di Bukit Pecici malah sukarela. Tentu, spot fotonya "tak seindah" di The Lodge yang membutuhkan modal besar untuk membuatnya.

Lebaran 2017 saya berkunjung ke Gardu Pandang Silancur dan Mangli, Kaliangkrik, Magelang. Saya hanya dikutip tiket masuk. Tidak perlu membayar lagi untuk berfoto di beberapa spot. Sekarang saya tidak tahu, apakah ada tarif untuk berfoto di spot yang ada.

Dari kunjungan ke Bandung dan Yogyakarta, ada beberapa hal yang bisa diadaptasi oleh obyek wisata di Magelang.

1. Voucher minum. Tiket masuk bisa ditukarkan dengan segelas minuman. Andai bisa bekerja sama dengan pengusaha minuman lokal lebih baik. Misalnya, tiket bisa ditukar dengan semangku ronde atau wedang jahe. Cocok kan untuk daerah Kaliangkrik. Harga tentu harus disesuaikan.

2. Tiket Spot Foto. Untuk berfoto di spot yang ada diberlakukan sistem tiket. Pengunjung harus membayar dulu untuk berfoto ria. Untuk bisa mengutip bayaran, spot foto harus tampil apik. Jangan sekedarnya.

3. Fotografer. Sediakan fotografer yang siap membidik dengan hasil jepretan ciamik. Harus pakai kamera DSLR medium agar hasilnya Instagrammable. Untuk nebus foto mnesti bayar lagi. Gak perlu dicetak, cukup di share saja. Mungkin, tahap awal fotografer hanya melayani pada Sabtu, Minggu dan hari libur.

4. Warung. Sediakan warung makan yang cukup dengan sajian menu lokal. Khususnya pada hari libur.

Harga harus disesuaikan dengan daya beli masyarakat setempat. baik tiket masuk, foto maupun harga makanannya. ***



Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...