Wednesday 26 October 2016

Makanan Jin

Ilustrasi : K-Cartoon
Sampai detik ini aku masih yakin jika jin dan setan itu nyata-nyata ada. Mereka ada di mana-mana, berhimpitan dan berdesakan dengan warga ibukota Jakarta. Mereka juga berkembang biak layaknya manusia.

Yang menjadi pertanyaanku selama ini adalah apa makanan mereka. Sebagai mahkluk hidup, untuk berkembang dan beranak pinak, tentu membutuhkan asupan gizi. Karena mereka tak tampak, makanannya pun tentu berbeda dengan manusia.

Kalau merujuk ke agama yang aku anut, makanan jin dan setan adalah tulang dan kotoran (tahi). Keyanikan yang kupercaya selama puluhan tahun ini perlahan-lahan memudar seiring dengan penemuan baru soal makanan jin dan setan.

Temanku, Habib Resek yang juga keturunan Timur Tengah, mengatakan kalau makanan jin adalah upil alias kotoran hidung yang berwarna hijau kehitaman.

"Tolong upil ente tiap hari disimpan di sini," ujar Habib pada Atmo, tetangganya. Sambil berkata, Habib memberikan uang seratus ribu rupiah.

"Untuk apa upil itu Habib?" tanya Atmo.

"Untuk makan jin peliharaan ane," jawab Habib pendek.

Tiap hari Atmo rajin mengupil. Kalau upilnya sedikit dia resah. Termenung di depan toko mebel orang tuanynya sambil memandang jalan raya. Dia browsing, mencari cara bagaimana meningkatkan kadar upilnya agar bertambah.

Upaya Atmo sia-sia. Upilnya konstan. Paling banter mendapat 10-15 upil besar dengan warna hijau kehitaman. Kadang, malah tak dapat upil kalau sedang dilanda pilek.

Atmo gelisah. Takut kalau Habib datang dan menagih upil. Dia khawatir tak dapat memenuhi kuota sehingga kontrak jual beli upil bisa diputus sepihak.

"Assalamualaikum.....mana upil yang ente kumpulin?" ujar Habib saat bertandang ke toko Atmo.
"Waalaikum salam.....sebentar ya ane ambilin," jawab Atmo. Dia mengambil kaleng kecil berisi upil.
"Ini Habib," ujar Atmo sambil menyodorkan kaleng.

Habib melihat kaleng itu. Terdiam sejenak, lalu merogoh kantong. Memberi tiga lembar seratus ribuan. "Ini ane tambahin fulus. Kumpulkan lagi yang banyak. Nanti ditambah lagi fulusnya\" ujar Habib sambil pergi.

Atmo girang. Gak nyangka diberi uang lagi meski upilnya terbilang sedikit. Semangat ngupil Atmo kian menjadi-jadi. Saat kalengnya sudah penuh upil, Habib belum datang lagi. Dia menunggu Habib untuk memberi bonus atas kerja kerasnya mengupil.

Suatu sore, Habib kedatangan teman lamanya, Krisna. "Bib, ente punya obat pinggang nggak. Pinggang ane pegel, kagak bisa kerja nih," keluh Krisna.

"Alhamdulillah, sudah rejeki ente. Ane baru saja dikirim obat encok dari Timur Tengah. Coba ente ambil ke Atmo. Bilang mau ambil kaleng titipan Habib," katanya pada Krisna.

Krisna beranjak ke toko Atmo. "Mo, ane mau ambil kaleng titipan Habib," ujarnya.

Atmo senang. Dia mengambil kaleng berisi upil itu. Diberikannya pada Krisna. "Bilang Habib, ane minta uang bonusnya," kata Atmo.

Krisna membawa kaleng itu ke rumah Habib lagi. "Ente tambahin minyak zaitun dua sendok. Oleskan ke pinggang pagi dan sore. Insya Allah encok ente akan ilang," ujarnya pada Krisna.

Aku yang duduk di sampin Habib heran. Dulu, dia bilang upil itu makanan jin. Kok sekarang jadi obat encok. "Bib, katanya itu makanan jin. Kok dikasih Krisna untuk obat encok?" tanyaku.

“Mana ada jin makan upil. Ngaco ente?" ujarnya terkekeh. Ternyata, aku salah. Jin tak doyan upil.
Ketika bingung soal makanan jin, aku melihat berita TV. Aak yang terkenal sebagai guru spiritual beberapa artis itu ditangkap polisi. Tapi, artis yang menjadi muridnya membantah isu kalau Aak suka makai narkoba. "Aak hanya memberikan aspat, bukan sabu," ujar seorang selebritis. Aspat adalah makanan jin. Memang, cara makainya sama dengan cara makai sabu.

Aku kembali bingung. Benarkah jin makan asap dari aspat? Mereka tidak doyan upil karena asam? Apa sih rasanya aspat?

Segudang pertanyaan terjawab beberapa hari kemudian ketika polisi memastikan aspat yang ada di tangan Aak adalah sabu. Jadi bukan makanan jin seperti bualan Aak.

Lalu, apa makanan jin yang sesungguhnya? Upil bukan, apalagi aspat. Apa benar mereka makan tulang dan kotoran seperti yang tertera di kitab suci agama?

Aku ingin bertemu Habib. Bertanya lagi apa makanan jin yang sesungguhnya. Biasanya dia cukup kreatif mencari jawaban.  Soal benar atau salah, bisa dikompromikan.


“Habib, di mana ente?"' ***

Saturday 8 October 2016

Jalan Pintas itu Bernama PADEPOKAN

Foto: BBC.com
Padepokan adalah tempat menuntut ilmu. Di padepokan terjadi interaksi belajar mengajar antara guru dan murid. Murid dituntut menguasai isi kitab yang diajarkan guru. Guru, sebagai penguasa kitab,  memiliki kekuasaan untuk menilai kemampuan empiris, pengetahuan dan budi pekerti murid. Ini padepokan dalam arti yang sesungguhnya.

Namun berita mengenai padepokan belakangan ini sudah melenceng. Padepokan milik Gatot Brajamusti dikabarkan sering menggelar pesta sabu dan melakukan seks menyimpang. Gatot sendiri ditangkap saat menggelar pesta sabu di sebuah hotel. Cek di sini!

Belum hilang ingatan kita terhadap padepokan yang dihuni para artis ciamik pada jamannya itu, geger padepokan kembali muncul. Taat Pribadi, pria berwajah India berusia 46 tahun, pembina Yayasan Padepokan Dimas Kanjeng di Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dijadikan tersangka oleh polisi dalam kasus pembunuhan dan penipuan. Hebatnya, ketua yayasan ini adalah cendekiawan pintar, doktor lulusan AS, politisi senior, pengurus ICMI. Sampai detik ini, ia yakin Taat diberi karomah bisa menggandakan uang. Hebat coy!

Geger Padepokan kembali muncul dari padepokan Satrio Aji di Kampung Serab, Sukmajaya, Depok. Pimpinan padepokan, Andi alias Aji, membunuh dua muridnya dengan kopi maut sianida. Aji mengaku bisa menggandakan emas dan uang. Mantap! Cek di sini.

Padepokan Gatot dan Dimas menggegerkan. Gatot sangat cerdas. Dia mendapatkan segalanya: uang, nafsu, serta kenikmatan. Dimas hanya mendapatkan uang. Dia tidak bisa menikmati kemolekan tubuh muridnya karena pengikutnya kebanyakan pejabat dan sudah tua.

Mengapa Dimas bisa mengumpulkan ribuan murid, di antaranya para pejabat dan pengusaha. Simak pendapat ahli di sini dan ini. Intinya, masyarakat kita terbiasa dengan jalan pintas. Cepat mencapai tujuan dengan jalan gampang. Mbahmu kuwi!!!

Kenyataannya memang demikian. Hampir semua orang ingin jalan pintas. Motor melawan arah, naik trotoar. Kalau diingatkan malah marah-marah. Sudah salah, galak pula. Bukan hanya motor, mobil pun melawan arah meski mengakibatkan kecelakaan.

Mau cari sekolah, pakai nyogok. Bukan kemauan anaknya. Tapi nafsu orangtua agar anaknya diterima disekolah favorit. Ini artinya, orangtua yang mendidik anaknya untuk cari jalan pintas. Meski tahu salah, tetap dilakukan. Setelah lulus sekolah, cari kerja pakai nyogok lagi. Sekarang lagi berkurang suap masuk PNS wong penerimaannya dibatasi.

Kalau jadi pejabat, karena cari sekolah dan masuk kerjanya nyogok, maka korupsi. Ketangkap. Sogok jaksa dan hakim agar dapat hukuman ringan. Nah, kalau jadi politisi. Tetap juga cari sogokan. Mengumpulkan modal untuk maju pemilu berikutnya. Dari pada pusing mikirin program, bagi uang kepada calon pemilih. Toh, rakyat juga yang menghendari pembagian duit. Kalau tidak bagi duit, tidak dipilih.

Bayangkan, dari mana kita mengurai problem kusut jalan pintas di negeri ini. Semua menyukai, membutuhkan dan melakukannya.

Meski demikian, PADEPOKAN menawarkan jalan pintas yang religius. Murid padepokan, entah disebut santri atau apapun namanya, lebih diterima masyarakat karena dianggap menjalankan perintah Tuhan. Apalagi, mereka memakai simbol-simbol religius. Guru padepokan juga membaca doa-doa seperti dalam kitab suci, meski kadang dimodifikasi sesuai selera. Dengan kedok agama ini, padepokan lebih mudah menyusup ke masyarakat, menawarkan jalan pintas yang tidak berdosa. Walaupun sejatinya sama saja dengan jalan sesat di tempat lain. Kemasan saja yang diubah dengan bungkus religius. Waspada!!! ***


Saturday 1 October 2016

Dialog Antarbahasa dalam Mahabharata 3


"Asu tenan kok sutradarane. Arep adegan perang seru malah kon goro-goro. Aku ora seneng kon dadi Yudistira. Yudistira ora duwe nafsu. Lha aku weruh wedhus dibedaki nafsu. Weruh wong lanang nganggo rok, nafsu. Mending duwe nafsu iso nyalon gubernur DKI. Bisakah manusia hidup tanpa hasrat, nafsu dan gairah?" tanya Yudistira - yang diperankan Gunawan Maryanto- kepada penonton sesaat sebelum Perang Kurusetra pecah.

Penonton yang dari tadi terdiam dan menyimak gerak tari serta dialog campuran bahasa Jawa, Jepang, Tiongkok, dan Tagalog tertawa. Suasana menjadi cair. Sebelumnya, penonton terbawa ritme serius pementasan ini yang lebih banyak mengeksplorasi gerak dan ekspresi wajah dibanding dialog.

Gunawan Maryanto
Sehabis pementasan, di belakang panggung, saya sempat wawancara dengan Wangi Indriya, penari topeng asal Indramayu yang memerankan Kunti, Kripa, Amba dan Srikandi. Jangan kaget, pentas ini hanya melibatkan sembilan artis peran. Tapi, satu orang memerankan beberapa tokoh. Misal, Carlon Matobato dari Filipina menjadi Kresna, Karna dan Kartamarma. Koyano Tetsuro (Jepang) menjadi Bima dan Bisma. Gunawan Maryanto menjadi Yudistira, Sanjaya dan Durna.

Untuk berganti peran, mereka berganti kostum yang diletakkan di bagian belakang panggung. Kadang, mereka cukup memakai topeng. Singkat dan praktis.

Karena memakai berbagai bahasa, maka di layar belakang panggung terpampang teks terjemahan dari apa yang dikatakan pemain. Menurut Wangi, sutradara asal Jepang Koike Hiroshi menekankan agar pemain ekspresif dalam berdialog sehingga meminta pemain berbicara dengan bahasanya sendiri. "Saya harus menerjemahkan ke bahasa Jawa Indramayuan," katanya.

Meski mereka berbicara dalam berbagai bahasa, namun penonton bisa menangkap makna yang tersirat berkat ekspresi wajah pemain. Intonasi dan mimik bisa menunjukkan apakah mereka sedang marah, sedih atau senang.

Wangi Indriya, penari topeng
Percakapan pun berjalan lancar. Sahut-sahutan seperti mereka saling mengerti arti kata yang diucapkan lawan bicaranya. Padahal, belum tentu demikian. Wangi mengaku tak bisa berbicara bahasa Inggris, apalagi Tagalog dan Jepang.

Perang digambarkan dengan properti bendera dari masing-masing pasukan. Tunggangan kuda dan gajah. Arjuna mengusung busur raksasa, sementara Pandawa dan Kurawa lainnya membawa tombak atau gada.

Pertumpahan darah digambarkan dengan kain panjang berwarna merah. Sementara, kain biru berfungsi sebagai simbol air atau laut yang bergemuruh. Permainan simbolik ini membawa kesan tersendiri. Apalagi, musik dan tata cahaya dalam pertunjukan ini mewakili situasi yang digambarkan.
Kesan eksperimen sangat terasa dalam pementasan Hiroshi Koike Bridge Project (HKBP). Koike yakin seni budaya dapat melintasi batas waktu dan negara.

Berangkat dari pemikiran itu, ia melibatkan sembilan pemain dari latar belakang berbeda, dari empat negara, yakni Indonesia, Jepang, Malaysia, dan Filipina. Masing-masing menyampaikan dialognya lewat bahasa masing-masing.

Para pemain tersebut yakni Gunawan Maryanto, Suryo Purnomo, Riyo Tulus Pernando, Sandhidea Cahyo Narpati, dan Wangi Indriya dari Indonesia. Empat lainnya yakni Carlon Matobato dari Filipina, Koyano Tetsuro dan Shirai Sachiko dari Jepang, dan Lee Swee Keong dari Malaysia.
Untuk pertunjukan teater Mahabharata ini, HKBP menciptakan versinya sendiri atas epos tersebut.  Pementasan Mahabharata dibagi dalam lima bagian, lalu mengelompokkannya dalam dua bagian besar, yakni bagian pertama dan bagian akhir atau later part.

Sebelumnya Mahabharata Part 1 sudah diproduksi dan dipertunjukan di Kamboja pada tahun 2013 lalu. Pada tahun 2014, Mahabharata Part 2 ditampilkan di India dan Indonesia, sedangkan Mahabharata Part 2.5 (B-War) diproduksi di Jepang.


Selanjutnya, serial Mahabharata ini akan dibawa ke Thailand pada 2017 dengan menampilkan kisah Mahabharata Part 4. Setahun kemudian, akan hadir Mahabharata the First Part di Malaysia dan Mahabharata the Later Part di India pada tahun 2019 mendatang. Puncaknya pada 2020 bertepatan dengan Olimpiade Tokyo, Jepang, kisah Mahabharata secara utuh akan dipentaskan keliling dunia. (Foto: Joko Harismoyo)*

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...