Saturday 26 December 2015

Menjelajah Kuliner Khas Belitung


Dulang Set di Ruma Makan Belitong Timpo Duluk

Begitu tiba di Bandara HAS Hanandjoeddin (TJQ), Tanjung Pandan, kami sudah dijemput Pak Pandi dari BelitungTravel, perusahaan tur yang menjadi mitra kami selama menjelajah kota yang melejit namanya seiring dengan kesuksesan besar film Laskar Pelangi.

Karena masih pagi, sekitar 07.30 WIB (18 Desember 2015), kami diajak sarapan mie belitong di Happy Restaurant yang berada di jalan Veteran, Tanjung Pandan. Kenapa tidak diajak ke Mie Atep yang namanya sudah tersohor di Belitung dan juga Jakarta? Dugaaan kami, Mie Atep baru buka pukul 08.00, sedangkan Happy Restaurant. Bakery sudah melayani tamu mulai pukul 07.00.

Mie Belitong di Happy Resto
Meski toko roti Happy sudah ada beberapa pembeli yang antre, tetapi restorannya masih sepi. Hanya kami berempat yang duduk di sini. Sekitar 15 menit kemudian, mie belitong dihidangkan. Mie kuning rebus dengan kuah bercampur udang, potongan kentang rebus, irisan ketimun dan emping. Tak ada tauge seperti halnya di Mie Atep. Kentang rebus dan udang membuat kuah mie sedikit kental.

Soal rasa, tidak bisa membandingkan dengan tempat lain karena selama tiga hari di Belitung saya hanya makan mie di sini. Sempat sarapan di Soto Bang Ojie di dekat Museum Tanjung Pandan, yang juga menyediakan Mie Belitong, tetapi saya tidak mencicipi mie-nya. Anak saya sempat melahap habis mie di situ, yang katanya juga enak. Yang jelas, kami berempat menghabiskan Mie Belitong sajian Happy.

Suasana Happy Restaurant
“Mie Bang Ojie ini enak. Hanya kalah tenar dibanding Mie Atep,” ujar Pak Pandi. Bang Ojie, bukan warung besar seperti Atep. Lokasinya ada di dalam perumahan (saya tidak tahu tepatnya). Bentuknya juga sederhana. Gerobak ditaruh di depan rumah. Menu yang disediakan Sate, Gado Gado, Soto, dan Mie Belitong. Sotonya, mirip dengan ketupat opor. (Saya tidak mengambil foto di sini).

Sebagai daerah pantai, Belitung terkenal dengan masakan seafoodnya. Di setiap restoran yang kami singgahi, semua menyediakan menu ikan bakar, cumi goreng tepung, dan udang goreng tepung. Sepertinya, makanan berbahan dasar ayam atau daging sapi hanya sebagai pelengkap.

Fega Cafe

Makan siang pertama kami di rumah makan Fega di Jalan Assalam No 10 Manggar, Belitung Timur. Lokasi resto nyaman, berada di tepi danau/kolong bendung sehingga bisa melihat ikan-ikan kecil di pinggir danau. Meski berbagai menu dihidangkan, kami hanya menghabiskan Gulai Ikan Ketarap, Cumi dan Udang Goreng. Ayam goreng tidak disentuh sama sekali karena kami terlanjur kenyang makan singkong dan pisang goreng saat ngopi di Millenium Cafe, beberapa saat sebelumnya.

Selanjutnya, kami makan malam di resto Dapoer Belitung di Jalan Jenderal Sudirman 63 Tanjung Pandan. Menu yang dihidangkan Sop Ikan Ketarap, Udang Goreng Tepung, Cumi Goreng, dan Tahu Isi. Khusus sop ikan, rasanya hangat dan segar. Rasa hangat dari lada dan jahe cocok disantap saat hujan.

RM Pulau Kepayang
Sarapan hari kedua tidak ada yang istimewa karena hanya makan di hotel. Makan siang di Pulau Kepayang. Hanya ada satu restoran di pulau tersebut sehingga pengunjung yang datang bejibun. Di tengah-tengah resto, terdapat kapal kecil berisi gelas dan dua buah termos, satu berisi teh dan yang lain kopi. Pengunjung bebas mengambil minum sesuka hati, termasuk mengonsumsi gulannya.

Di sini, menu yang dihidangkan ikan bakar, udang bakar, cumi goreng tepung serta cah kangkung. Semua ludes. Selain enak, kami semua lapar setelah naik menara di Pulau Lengkuas yang terdiri dari 18 lantai. Juga waktu menunggu yang lumayan lama.

Makan malam hari kedua, Pak Pandi membawa kami ke rumah makan Belitong Timpo Duluk di Jalan Lettu Mat Daud, Kampung Parit, Kelurahan Parit, Tanjung Pandan. Tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Kami harus antre menunggu kursi. “Untung kita sudah booking siang. Kalau tidak bisa kehabisan,” jelas Pak Pandi.

Rumah makan tersebut unik. Rumah tradisonal Belitung yang disulap menjadi resto. Dinding dihias dengan berbagai alat masak tradisonal seperti dulang dan alat membuat kue. Ada juga teklek dan sandal kuno. Juga foto artis dan pejabat Jakarta yang makan di sini, termasuk guntingan koran yang memuat berita Bondan 'Maknyus' Winarno bersantap di sini.

Daftar Menu di RM Belitong Timpo Duluk

Sekitar 15 menit menanti, kami mendapat kursi di bagian dalam. Meja untuk 4 orang itu bersebalahan dengan meja lain yang bisa menampung 6 orang. Pramu saji datang dan menyodorkan menu. Kami memesan Dulang Set, Cumi Goreng, Taho Goreng dan jajanan khas Berego. Untuk minuman, kami memesan minuman khas sana, Jeruk Konci. Anak-anak masih senang teh tarik.

Dulang Set, dijelaskan dalam daftar menu itu, yaitu “Budaya makan bersama yang disajikan di dalam wadah bernama dulang untuk mempererat tali silahturahmi antar kerabat, keluarga, maupun tamu kehormatan, yang disajikan sesuai ada istiadat masyarakat Belitong. Set menu terdiri dari berbagai makanan khas Belitong, yaitu Gangan Ikan / Gangan Darat, Ayam Ketumbar, Sate Ikan, Sayur Sambal Ati Ampela, Lalapan, dan Sambal Serai.”

Berita Pak Bondan 'Maknyus'
Gangan adalah sup ikan dengan potongan nenas. Biasanya menggunakan kepala ikan laut sebagai bahan baku utama (gangan laut), meski ada pula yang menggunakan daging rusa (disebut gangan darat). Gangan yang otentik sama sekali tidak menggunakan bumbu tumisan melainkan bumbu ulek yang langsung dicelupkan ke dalam kuah. Sup ini berwarna kuning, pekat oleh rempah, gurih oleh ikan, dan asam segar oleh nenas.

Sayang, pramusaji datang dan mengabarkan Berego habis. Berego bentuknya seperti kwetiaw gulung yang kemudian disiram kuah kari ikan. Adonan berego terbuat dari tepung beras dan sagu yang dikukus dan digulung lalu dipotong-potong. Teksturnya kenyal, bercampur gurih kuah kari ikan bertabur bawang goreng. Jika suda pedas, bisa ditambah sambal.

Cumi goreng tepung disajikan di atas daun simpor. Daun ini bentuknya lebar sehingga cocok untuk membungkus makanan, dan merupakan tumbuhan khas Belitung.


Semua menu yang disajikan, ludes tak bersisa. Si kecil sampai kekenyangan dan tertidur dalam perjalanan menuju hotel. Makanan terlezat yang kami santap selama berada di kota tersebut. (Semua foto diambil pakai HP karena kamera tertinggal di mobil bandara).

Friday 25 December 2015

Sensasi Kopi Kong Djie


Memasak Kopi di atas tungku

Nasehat dokter untuk mengurangi minum kopi terpaksa saya langgar, ketika hari pertama saya singgah di Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Aroma kopi di “Kota 1001 Warung Kopi” ini sungguh menggoda dibanding mendengarkan saran dokter penyakit dalam.

Apalagi siang itu hujan deras disertai angin kencang menghujam Belitung. Saya meminta Pak Pandi, guide sakaligus sopir kami selama berada di sana, untuk menepi mencari warung kopi sambil menunggu waktu sholat Jumat. Dia pun mencari warkop di dekat Masjid Agung Darussalam, Manggar, BelTim.

Berdiri sejak 1943
Dari deratan warkop, Pak Pandi membelokkan kami ke Millenium Coffe. Warung kopi yang luas dan ramai. Kami, saya dan istri, memesan Kopi O (kopi kosong (O) tanpa susu alias kopi hitam), sementara anak-anak meminta teh susu. Sebulan lebih saya yang tak menyentuh kopi hitam, langsung menyeruput kopi sambil menikmati pisang dan singkong goreng. Paduan pas. Kopi pahit dan pisang goreng nan manis. Beberapa pengunjung ngopi sambil main catur. Sayang, saya harus cepat-cepat menyeruput kopi karena adzan sudah berkumandang.

Sebelum kami pergi, pemilik warung menghampiri kami dan menanyakan apakah kami dari Jakarta. Kemudian dia meminta ijin untuk memotret. “Untuk dokumentasi,” ujarnya. Padahal, di warkop yang belum berdiri lama itu saya tak memotret apapun, baik kopi maupun suasana kafenya.

Kopi di Kong Djie
Di hari kedua, ketika mengunjungi Pulau Kepayang, saya menghindari minum kopi meski rumah makan menyediakan kopi gratis untuk pengunjung. Aroma kopi di depan istri tak mengusik hasrat saya. Kali ini, saya bisa mengikuti nasehat dokter.

Hari ketiga (20 Desember 2015), Pak Pandi menawari saya untuk singgah di warung kopi Kong Djie. Konon, warung ini amat tersohor di Belitung. Kami pun menuju ke warung yang terletak di sudut jalan di depan gereja Regina Pacis dan tepat di pinggir jalan raya yang menghubungkan Tugu Batu Satam dan Pantai Tanjung Pendam. Suasana Kong Djie pagi itu ramai. Menurut Pak Pandi, warung ini tidak pernah sepi pengunjung dari mulai buka pukul 05:00 hingga 16:00 WIB.

Setelah masuk, salah seorang penjaga warung, seorang nenek, menyodori menu. Kali ini kami memilih kopi susu, dan dua anak saya, kembali terpikat teh susu. Padahal, anak sulung saya penggemar kopi hitam. Tapi, teh susu Belitung Timur rupanya memiliki rasa khas yang jarang ditemukan di tempat lain.

Penuh pengunjung
Sekitar lima menit, pesanan kami datang, dua teh susu dan dua kopi susu, dibarengi sekaleng susu Omela. “Kalau kurang manis, tambah susu sendiri,” ujar penjaga warung itu. Saya tak buru-buru mengaduk kopi agar bercampur dengan susu. Saya menyeruput kopi hitam murni yang ada di bagian atas. Hmm, pahitnya pas. Mantap! Hanya sayang, kopi yang ada di depan saya, panasnya kurang maksimal. Mungkin kurang dari 90 derajat Celcius sehingga sensasi meniup kopi menjadi berkurang.

“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” (Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade).


Menurut Pak Pandi, generasi pertama Kong Djie adalah warga Tiongha Lampung. Mereka mencampur kopi Lampung dan Kopi Manggar. Tetapi beberapa bloger menyebut kopi di sini adalah campuran kopi robusta dan arabica sehingga menebar aroma sedap dan rasa lezat. Saya sendiri tak ada waktu untuk mengkonfirmasi kabar tersebut kepada pemilik warung saat ini, Om Joni.

Tampak luar
Warung yang berdiri sejak 1940-an itu selalu ramai. Saya tak tahu Kong Djie berdiri tahun berapa. Di atas tungku arang untuk memasak kopi, terdapat spanduk bertuliskan “Berdiri Sejak 1943.” Huruf S-nya luntur sehingga terbaca ejak. Namun, di spanduk sisi lain yang dibuat oleh sponsor (Omela), tertulis berdiri sejak 1945. Saya tak berminat menanyakan keganjilan ini karena saya bukan jurnalis yang tengah mencari kebenaran fakta. Saya pelancong yang ingin menikmati keindahan alam dan kelezatan kuliner.


Selain minuman, ada juga menu makanan berupa mie goreng, mie rebus, telor setengah matang dan kue seperti donat, getuk, dan lain-lain. Istri dan anak sempat mencicipi kue-kue itu tetapi saya tak sempat mencolek sehingga tak bisa memberi komentar apapun. (*)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...