Wednesday 3 May 2017

Mangut Pedas Khas Magelang


Jika selama ini Magelang diidentikkan dengan makanan manis, seperti getuk dan gudeg, Anda akan kaget ketika menyantap mangut beong di sekitar Candi Borobudur. Tak ada rasa manis sedikit pun. Hanya gurih dan pedasss!!!

Sebelum ngomongin soal mangut, kita bahas dulu ikan beong. Nama beong mungkin asing bagi sebagian orang. Ikan ini hidup di Kali Progo, mungkin juga di sungai lainnya, yang berhulu di sekitar Gunung Sindoro. Ikan beong bernama latin Mystus nemurus. Berwarna hitam, memiliki tiga patil, dan 'kumis' melintang panjang khas ikan lele. Rasanya lebih maknyus dibanding lele maupun patin. Gurih.

Kendati habitat aslinya di Sungai Progo, tidak banyak warung yang menyajikan menu ikan beong karena populasinya menurun beberapa tahun terakhir."Kalau ngandalin Progo susah. Saya dikirim dari Wonogiri dua hari sekali," ujar perempuan setengah baya di warung tempat saya makan, Omah Kayoman di Jalan Paren, Progowati, Mungkid, Magelang. Ndak usah tanya siapa nama ibu itu karena saya tidak sedang mencari berita. Dalam sehari, Omah Kayoman bisa memasak sampai 30 kg ikan beong.

Menurutnya, ikan beong Progo ukurannya kecil, sedang pasokan dari Wonogiri ini masih jumbo. "Tuh, beong Progo di akuarium," lanjutnya sambil menunjuk akuarium berisi satu ikan beong yang ngumpet di pipa paralon ukuran sedang sehingga hanya terlihat kumisnya.

Sensasi Pedas

Mangut Kepala Ikan Beong
Omah Kayoman menyediakan menu ikan beong, patin, nila dan wader. Tapi mangut ikan beong menjadi pilihan utama sebagian besar pengunjung, termasuk saya. Beberapa kali makan di tempat ini, saya selalu memesan mangut beong. Kalau sedang enggan menyantap kepala yang super gede, saya memilih bagian lain yang lebih kecil.

Kuah mangut berwarna merah sungguh menggoada. Cabai rawit merah bertebaran di sekitar ikan. Coba ceplus cabai jika ingin merasakan sensasi pedas yang luar biasa. Santan cair yang direbus dengan cabai membuat kuahnya juga pedas sehingga rada pedas itu merasuk ke daging ikan. Cita rasa mangut beong ini unik. Dagingnya tebal dan empuk. Lebih gurih dan tidak terlalu amis dibandingkan ikan sejenis seperti lele atau ikan patin.

Cara memasaknya, cabai rawit ditumis bersama dengan daun salam dan serai dalam satu wajan. Cabai sengaja utuh dan tidak dihaluskan supaya pelanggan yang tidak terlalu suka pedas dapat menyisihkan sebagian cabainya. Sementara ikan beong digoreng dulu hingga garing. Baru setelahnya, bumbu mangut dibuat dari racikan bawang merah, bawang putih, kunyit, ketumbar, dan lengkuas. Aroma harum tercipta dari daun serai dan salam yang dimasukkan saat merebus kuah. Tambahan tomat dan bawang putih menambah masakan semakin segar.

Pengunjung lahap.
Setelah kuah siap, ikan beong yang sudah digoreng garing dimasukkan ke rebusan kuah selama beberapa saat. Tambahkan santan dalam kuah setelah mendidih agar bumbu mangut lebih meresap dalam daging dan lebih empuk.

Meski Omah Kayoman cukup terkenal, jangan bayangkan sebagai sebuah resto besar di mall. Ini hanya sebuah warung makan yang memanfaatkan rumah pemiliknya. Letaknya pun masuk ke jalan desa. Tempat parkirnya adalah halaman rumah pemilik warung. Warung berada di samping rumah inti, dengan kursi plastik dan tempat lesehan.


Menu makanan ditaruh di lemari kaca, layaknya sebuah warteg. Dengan 'layar sentuh' kita bisa memilih menu yang diinginkan. Meski 'nyempil' warung ini dikunjungi pelancong luar kota. Beberapa kali ke sana saya selalu bertemu dengan mobil plat luar kota. Apakah rasanya lebih maknyus dibanding mangut beong di Sehati, Ndas Beong Kembanglimus atau Omah Mangut? Saya tidak bisa menjawabnya karena sampai saat ini saya hanya makan mangut beong di Omah Kayoman. Tunggu saya mencicipi mangut di tempat lain. (Foto: Joko Harismoyo)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...