Tuesday 28 November 2017

Roda Zaman Menggilas Kemapanan

Poster Primus dan Nafa masih nempel (Foto: Joko  H)

Lebih dari 15 tahun, tukang cukur itu tak pernah mengubah desain dan tampilannya. Termasuk memajang poster Primus Yustisio dan Nafa Urbach saat mereka masih pacaran.


Poster itu berada di dekat cermin, di depan kursi cukur sebelah kiri. Dulu, saat weekend, dua kursi cukur itu tak cukup menampung pengunjung. Harus antre untuk potong rambut, walau hanya potong gundul seperti saya.

Tukung cukur itu menjadi satu-satunya barber shop (biar keliatan agak keren) di sekitar Grand Depok City (dulu bernama Kota Kembang). Anak sulung saya, berusia 6 tahun, langganan potong di sini. Dia harus duduk di papan tambahan yang diletakkan di sandaran tangan agar tinggi dan memudahkan proses potong.

Saya ingat tukang cukur itu karena mendapat salam dari dia melalu anak sulung saya (kini 21 tahun) yang kembali cukur ke sana. Saya tak tahu, kenapa dia potong rambut lagi di situ. Mungkin tempat lain penuh atau sekedar ingin nostalgia. Maklum, saat TK dia langganan Bang Ale, nama tukang cukur itu.

Kalau saya memang sering cukur di situ, meski dalam beberapa bulan ini jarang potong di situ. Alasan saya, tetap potong di situ, sederhana. Saya kenal baik dan hasil potongannya sama dengan tukang cukur generasi baru. Bagaimana  tidak sama, wong saya potongnya gundul kok.

Saya membahas Bang Ale, lantaran dia tak melakukan perubahan dalam 15 tahun terakhir. Padahal, peta persaingan tukang cukur di wilayah itu sangat ketat. Berkembangnya perumahan Grand Depok City dan sekitarnya membuat jumlah penduduk meningkat pesat.

Tukang cukur baru bermunculan, terutama Asgar (asli garut). Ruangan dilengkapi AC plus pijat punggung dan kepala. Tarif sama dengan Bang Ale. Anak muda dan orang yang tidak memiliki ikatan historis dan emosional, pasti memilih cukur di Asgar tersebut.

Selain ruang nyaman, poster yang ditempel pun lebih kekinian. Foto gaya rambut dari pesohor dalam  dan luar negeri. Lah, di Bang Ale posternya masih Primus dan Nafa. Padahal mereka pacaran pada 1997-2001. Anak zaman now enggak kenal mereka!

Barber Asgar itu mengepung Bang Ale. Radius 2 km dari dia, ada sekitar 4 tukang cukur. Andai Bang
Ale tidak berubah, barbernya akan dirundung sepi. Situasi berbeda, Bang! Ayo lakukan perubahan agar barbernya ramai seperti dulu! Jangan biarkan roda zaman menggilasmu.

===========
Update 9 Desember 2017:

Saya datang ke Ale sekitar pukul 17:30. Hanya antre satu orang yang sedang dicukur. Sambil mencukur, ia bercerita mengenali anak saya dari model dan jenis rambutnya, bukan wajahnya. Maklum, dari TK model rambutnya tetap setia ala "Kak Seto." "Perasaan saya pernah motong rambut ini. Terus saya tanya ke dia apa pernah cukur ke sini," ujar Ale. Anak saya menjelaskan, zaman TK dan SD ia sering ke sini bersama bapak. Bapak servis mobil, dia potong rambut. *



Thursday 16 November 2017

Inilah Modus Emak Emak 'Minta' Kursi di Kereta

Commuter Line (Joko Harismoyo)

Setelah hampir lima tahun menjadi penumpang Commuter Line jurusan Depok-Tanah Abang, saya menjadi hafal trik yang digunakan emak-emak untuk meminta tempat duduk, khususnya kepada penumpang pria.


Sejak kereta api Jabodetabek dibenahi oleh Ignatius Jonan, yang saat itu menjabat Direktur PT KAI, kondisi perkeretaapian di sekitar Jakarta membaik. Tak ada lagi penumpang di atas gerbong, pedagang asongan atau copet (kadang masih ada meski turun drastis). Membaiknya kondisi kereta api yang dibarengi dengan semakin macetnya jalan raya menyebabkan jumlah penumpang moda transportasi ini terus meningkat (data pastinya silakan Googling karena kurang terkait dengan materi yang akan dibahas).

PT KAI juga menyediakan gerbong khusus wanita yang berada di gerbong paling ujung (depan dan belakang) berwanra pink. Konon, perebutan tempat duduk di sini, saat rush hours, sangat kompetitif. Penumpang di gerbong inipun egois. Wajar, jika sebagian wanita memilih berada di gerbong umum. Ada peluang diberi tempat duduk oleh penumpang pria.

Persoalan terjadi ketika mereka tidak diberi kursi. Berbagai cara dilakukan untuk bisa mendapatkan tempat duduk. Mayoritas sih emak-emak. Kalau gadis gengsi minta tempat duduk meski berasa capai juga. Nih, beberapa trik yang biasa dilakukan emak-emak agar bisa duduk:

1. Numpang dikit
Ketika kursi penuh, emak-emak biasanya 'memaksa' duduk dengan mengatakan numpang dikit. Padahal sudah tujuh penumpang yang duduk. Nah, ketika pantat si emak sudah mendapat kursi secuil, perlahan-lahan dia akan 'mendesak'. Mundur dikit demi sedikit sampai penumpang pria di sebelahanya enggak nyaman sehingga memilih berdiri dan memberikan kursi kepadanya. Habis itu, dia bersandar dan bermain ponsel. Atau tidur.....

2. Manggil teman
Kalau emak-emak naik kereta berombongan, yang dapat tempat duduk biasanya cuma beberapa. Nah, mereka yang sudah dapat tempat duduk ini memanggil emak lainnya untuk duduk di dekatnya. Caranya dengan memberikan sedikit kursi. Untuk menguasai, mereka menggunakan cara pertama tadi. Pelan-pelan menggusur penumpang di sebelahnya. Dapat dipastikan, penumpang pria akan gerah dan memilih berdiri.

3. Memanfaatkan anak
Emak-emak yang menggendong anak (cucu), tidak usah meminta pun akan diberi kursi. Nah, strategi ini dipahami betul oleh emak-emak nakal. Setelah memperoleh tenpat duduk, anak tersebut disuruh nggendong emak lain yang belum mendapat kursi. Penumpang pria, mau tidak mau, harus memberikan kursi kepada emak tersebut.

4. Pura-pura hamil
Trik ini hanya bisa dilakukan oleh emak-emak berperut gendut. Di dekat penumpang pria, ia mengelus-elus perutnya agar dikira hamil dan diberi kursi secara suka rela. Kalau enggak ada yang memberi, mereka bisa 'meminta' tempat duduk. Perut buncitnya bisa menjadi senjata karena disangka hamil. Berbahagialah emak muda berperut gendut!

Ada cara lain mendapatkan kursi? Silakan berbagi di sini..........




Monday 13 November 2017

Awas, Harga Makanan di Anyer, Bikin Jengkel!

Pantai Karang Bolong (Joko Harismoyo)

Rumah makan seafood dengan beberapa gubuk itu tampak sepi. Hanya ada dua orang yang sedang makan nasi goreng. Kami masuk ke resto itu dan memesan seafood. Harganya? Bikin jengkel!


Sehabis check in di Hawaii Resort Family Suites di Jalan Raya Labuan km 146 Pondok Waru, Bulakan, Serang kami keluar lagi untuk makan malam. Baru sekitar jam 19:00 WIB. Tapi, sudah melewati Karang Bolong, belum juga menemukan resto. Sudah sekitar 4 km jalan loh. Akhirnya, di jalan Kosambi kami menemukan sebuah resto seafood.

Ada beberapa gubuk di sisi kanan dan kiri. Di bagian tengah dipakai untuk parkir dan tempat memesan makan dan minum. Resto itu sepi, hanya ada sepasang pengunjung yang sedang makan nasi goreng. Kami memesan ikan bakar, cumi saus padang, dan cah kangkung. Minumnya, 2 es jeruk dan 2 teh tawar.

Ikan baronang yang disajikan ukuran sedang. Cukup untuk berdua. Sebelumnya, soal ikan ini, istri saya sempat tanya harganya. Katanya, Rp95.000. Ada ukuran nsedang Rp75.000. Untuk masakan lain, tidak bertanya apapun. Cumi yang dihidangkan tidak banyak, Potongannya besar dan alot. Mungkin cumi dewasa he hee. Untuk masakan tergolong standar.Karena laper, semua hidangan ludes.

Perkiraan kami, paling mahal Rp250.000. Ternyata haragnya Rp335.000. Cumi saus padangnya Rp125.000. Untuk resto sederhana dengan fasilitas seadanya itu, harga tersebut di luar perkiraan. Sehabis bayar, barulah kami menggerutu di mobil (saat bayar, kami tidak protes apapun). Harga itu memang tak sepadan dengan fasilitas dan menu yang disajikan.

Mengapa tidak sepadan? Siang berikutnya kami makan di RM Taman Taktakan (di Serang Timur). Resto yang sama, ada juga di sekitar Anyer. Kami pesan sup ikan, ayam goreng dan udang saus padang. Minumnya, 2 jeruk hangat, 1 jeruk nipis hangat dan 1 teh tawar. Harganya? tidak sampai Rp300.000. Padahal, ruang lebih nyaman, fasilitas lengkap. Malah, musholanya ber-AC.

Karena puas, sebelum pulang, kami membungkus otak-otak ikan. 10 biji harga Rp50.000. Harga yang pantas. Meski menurut saya pribadi, rasa otak-otaknya terlalu manis. Dan satu lagi, di resto itu sedia es Njonja Besar. Es kesukaan anak-anak.

Oh ya, untuk hotelnya, kami sedikit kecewa. AC kurang dingin. Dan ketika kami komplain, petugas datang dan bilang sudah diisi freon. Emang sih, saat petugas ngecek, AC lumayan dingin. Tapi malam menjelang pagi, dingin AC sudah tak terasa. Habis subuh, jendela kami buka lebar-lebar. Mending dapat angin langsung dari pada AC mati.

Untuk pesan hotel melalui situs, perhatikan juga beberapa opsi. Dapat sarapan atau tidak, lokasinya garden view atau beach view, dan sudah termasuk pajak atau belum. Berhubung yang memesan hotel si kecil, dia nggak nyontreng soal sarapan dan lokasi kamar. Jadinya, kamar menghadap ke kebun dan tidak dapat sarapan.

Kamar bisa ditempati 5 orang. 2 tidur di kasur atas, 2 di kasur bawah dan 1 di kursi. Karena cuma berempat, kami bisa tidur di kasur semua. Ada juga kompor, oven, panggangan roti dan peralatan masak. Lumayan bisa bikin mie instant atau kopi tanpa keluar kamar.

Bagaimana rasanya naik "donat" di pantai Karang Bolong? Besok yah reviewnya. *

Tuesday 7 November 2017

Pak Sandi Pancen Oke!!!

Foto: Kompas

Masih ingat iklan obat flu zaman yesterday, "Oskadon pancen oye!!!". Yah, iklan jadul itu cocok disematkan kepada wagub DKI Jakarta Bapak Sandiaga Uno. Cuma, kalimatnya diubah dikit menjadi, "Pak Sandi Pancen OK OC!!!"

Kalo ada yang bilang Pak Sandi adalah filsuf yang menyamar dan terpengaruh gaya Vicky, itu hanya celotehan orang yang tak suka. Orang yang sirik karena kalah dalam pilkada. Belum bisa move on sehingga nyari-nyari kesalahan.

Ide membuat sayembara sepatu "Bang Sandi" adalah ide brilian dari seorang pengusaha sukses. Tak ada gubernur atau wagub, bahkan presiden, yang menggelar sayembara seperti ini. Apalagi pemenangnya akan diajak ke Italia untuk belajar membuat sepatu agar kelak menjadi desainer sepatu level dunia. Jan, nyenengke tenan!

Sepatu pantofel yang diinginkan Pak Sandi tentu sepatu sapu jagad, bisa untuk berlari, masuk gorong-gorong, blusukan dan juga kondangan. Modar kowe sing desain! Model sepatu seperti apa yang bisa memenuhi kriteria tersebut. Tapi, saya yakin, ada desainer yang mampu membuat itu. Masyarakat Indonesia itu kreatif kok.

Pak Sandi, kalo boleh usul, mbok sayembara itu diperluas. Pertama, bukan hanya membuat sepatu untuk Pak Sandi saja, tetapi dijadikan seragam PDH pegawai pemprov DKI Jakarta. Jadi, ada sepatu pria dan wanita. Desain sepatu yang menang akan diproduksi dan wajib dipakai oleh karyawan pemprov DKI, baik pria maupun wanita.

Jumlah pegawai negeri (PNS) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta berjumlah 72,74 ribu orang pada 2015. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, dengan persentase 50,3 persen atau sejumlah 36,65 ribu orang. Sedangkan laki-laki berjumlah 36,09 ribu atau 49,7 persen (data dari sini loh).

Pemenang sayembara pasti bergembira jika mereka memproduksi 36.000 sepatu pria dan  36.000 sepatu wanita dibandingkan mereka diajak ke Italia. Tapi, diajak ke Italia juga gak apa-apa, siapa tahu bisa mampir ke markas besar AC Milan atau Juventus. Hadiah membuat 36.000 sepatu tentu lebih menyenangkan karena berdampak langsung pada usaha mereka.

Kedua, sepatu itu wajib dipakai oleh karyawan. Biar nurut, bikin saja Pergub. Pak Anies pasti mau karena ini menyangkut kepentingan pengusaha UMKM. Uang untuk membeli sepatu bisa diambil dari APBD. Jika DPRD reseh dan mempersulit, bikin Pergub lagi. Uang beli sepatu dipotong dari tunjangan kinerja daerah (TKD) Jakarta yang jumlahnya besar. Kalo harga Rp200.000 mah kecil untuk pegawai pemprov DKI.

Ketiga, sepatu itu tak perlu awet. Cukup berumur 1-1,5 tahun. Kenapa? Agar tiap tahun Pak Sandi bisa bikin sayembara. Sayembara sepatu menjadi acara tahunan pemprov yang pengumuman pemenangnya disiarkan secara live di stasiun televisi dengan memakai acara red carpet. Kalau tiap tahun ada program pengadaan sepatu pemprov, penguasaha UMKM tentu gembira, bungah, dan suka karena produksi mereka terus berlanjut.

Penyeragaman sepatu ini juga bisa menghilangkan sifat iri dan dengki, yang dilarang keras oleh semua agama. Mereka tak bisa memakai sepatu House of Testoni, Louis Vuitton, Stefano Bemer, Berluti maupun John Lobb. Sepatu mereka sama, merknya: Bang Sandi. "Waspadalah, waspadalah!" (Selasa malam sambil nonton debat munculnya sprindik baru untuk SN)***

Friday 3 November 2017

Mengenal Keberagaman Melalui Lukisan

Galeri Nasional, Jakarta (Joko Harismoyo)
Melihat pameran lukisan koleksi istana kepresidenan Republik Indonesia bertajuk Senandung Ibu Pertiwi di Galeri Nasional, Jakarta Pusat menumbuhkan kesadaran akan keindahan kebinekaan.

Pameran untuk memperingati kemerdekaan Indonesia ke-72 itu diselenggarakan dari 2-30 Agustus dan dikuratori oleh Asikin Hasan, Amir Sidharta, Mikke Susanto dan Sally Texania. Pameran ini menampilkan 48 lukisan dari 41 pelukis yang dibuat antara abad 19 dan abad 20.

Lukisan Perkawinan Adat Rusia karya Konstantin S Makovsky
(Joko Harismoyo)
Sebanyak 48 lukisan itu dibagi menjadi empat bagian. Pertama, melukisan keindahan dan keberagaman alam yang terdiri dari 12 lukisan. Di antaranya karya Raden Saleh (1811-1880) berjudul Harimau Minum (1863), karya Wakidi (1889-1979) Senja di Daratan Mahat (1954), dan Basoeki Abdullah (1915-1993) dengan Pantai Flores (1942).

Bagian kedua, dinamika keseharian (11 lukisan) menggambarkan kehidupan sehari-hari petani, nelayan dan pedagang. Terdapat lukisan yang jarang diketahui publik, yaitu Penggembala Kambing (1963) karya Tino Sidin (1925-1995).

Lukisan Pantai Flores karya Basuki Abdullah (Joko Harismoyo)

Di bagian ketiga, lukisan tentang tradisi dan identitas (15 lukisan). Sebagian besar lukisan bertema kebaya. Ada Perempuan Berkebaya karya Barli Sasmitawinata dan Madonna (1955) karya Sudarso, pelukis istana di era Soekarno.

Bagian akhir bertema mitologi dan religi dari berbagai pelosok Nusantara yang yang berasal dari perpaduan agama-agama besar yaitu Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Salah satu lukisan favorit pengunjung di bagian ini adalah lukisan Basokei Abdullah berjudul Nyai Roro Kidul (1955).

Menariknya, sebelum memasuki ruang pamer, pengunjung melihat lukisan karya Konstantin S Makovsky bertajuk Pengantin Adat Rusia. Lukisan ini ditampilkan melalui LED karena tidak mungkin memamerkan lukisan aslinya. (Artikel gagal tayang meski sudah didesain akibat kesodok iklan satu halaman)

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...