Tuesday 9 August 2016

Menyulap Kragilan (Magelang) Menjadi Gunung Pancar (Bogor)?

Berfoto di hutan pinus Top Selfie, Kragilan, Magelang.
Melihat foto-foto yang beredar di media sosial, Top Selfie Pinusan di Dusun Kragilan dan Kekokan, Desa Pogalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang perlu berbenah agar menjadi tempat wisata alam nan memesona seperti halnya Gunung Pancar di Sentul, Bogor.

Saat mengunjungi Kragilan di lereng Gunung Merbabu menjelang Idul Fitri 2016, tempat ini ramai pelancong, baik lokal maupun luar kota. Plat mobil B (Jakarta), F (Bogor), dan D (Bandung) lebih banyak parkir di lahan yang disediakan oleh pengelola Top Selfie Pinusan.

Saya tak kaget ketika memasuki Kragilan dan menemukan panjang hutan pinus ini sekitar 150-200 meter. Selebihnya sudah masuk ke perkampungan warga. Dari foto-foto yang beredar di media sosial, sebagai tukang foto, saya sudah bisa memprediksi kalau hutan pinus di sini tak sepanjang yang dibayangkan publik.

Hutan pinus yang menyatu dengan perkampungan adalah obyek wisata yang menarik. Asalkan, dikelola baik dengan melibatkan stakeholder (pemangku kepentingan) yaitu masyarakat setempat, pemda Kabupaten Magelang, pemda Provinsi Jawa Tengah, serta pihak swasta.

Karena saat ini (saat saya berkunjung ke sana) , pengelolaan Top Selfie dilakukan oleh penduduk setempat. Wajar, jika fasilitas yang tersedia hanya 'seadanya'. Tiket masuk pun super murah, untuk motor Rp3.000 dan mobil Rp10.000 (jumlah penumpang tidak dihitung).

Warung makan pun minim. Menu yang tersedia standar, sekitar mie instant, bakso, atau pecel lele dan ayam. Arena bermain anak hanya ada flying fox. Bagaimana mendongkrak Kragilan agar menjadi bidadari cantik seperti Gunung Pancar?

Keterlibatan Pemda

Top Selfie Kragilan, Magelang
Hutan pinus ini kabarnya milik Perhutani. Masyarakat berinisiatif mengelola setelah tempat ini dikunjungi banyak orang agar lebih tertib dan nyaman. Kragilan mulai termasyur setelah foto-fotonya beredar di media sosial.

Setelah tenar, fasilitas harus dibenahi. Terkenal tanpa melalui promosi besar-besaran adalah anugrah. Bayangkan, jika harus memasang iklan di media massa baik cetak, online maupun elektronik. Berapa biayanya? Harus matur nuwun pada Twitter, Facebook, Instagram, Path dan makhluk sejenisnya.

Membenahi fasilitas, bukan sekedar soal dana, tetapi juga itikad baik dari semua pemangku kepentingan dalam hal ini pemda kabupaten dan provinsi, masyarakat Kragilan, Perhutani sebagai pemilik lahan, serta swasta.

Pemda kabupaten (lebih baik didukung Provinsi), harus membuat anggaran untuk membangun infrastruktur menuju Kragilan. Jalan sudah baik, beraspal mulus. Angkutan umum sampai ke Kaponan, Pakis sudah banyak. Apa lagi yang dibutuhkan?

Bangun infrastruktur pendukung. Misalnya, membuat perkebunan buah untuk wisata petik buah (fruit picking). Saya melihat, tak jauh dari lokasi itu ada beberapa kebun petik buah strawberi. Pemda bekerja sama dengan penduduk, bisa mendirikan beberapa kebun petik buah seperti ini untuk meningkatkan daya tarik.

Perlu juga dipikirkan untuk mendirikan pusat seni untuk menampilan kerajinan dan budaya masyarakat setempat. Kubro siswo, tarian khas Magelang, bisa menjadi menu pembuka bagi pengunjung di Kragilan. Atraksi makan beling, tentu membuat decak kagum pengunjung, khususnya bule.

Gandeng Investor

Taman Wisata Gunung Pancar yang memiliki luas areal 447.5 dikelola oleh PT Wana Wisata melalui SK Menteri Kehutanan Nomor : 54/Kpts-II/93 tanggal 8 Februari 1993. Di tangan, Wana Wisata, Gunung Pancar berkembang pesat. Memiliki fasilitas outbond, paket fotografi, paket syuting, pesta pernikahan (termasuk foto pre wedding), camping ground, sampai kolam air panas yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Menggandeng investor swasta adalah salah satu opsi yang bisa dipilih. Tentu, beberapa klausul 'kerakyatan' harus disepakati. Misalnya, melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan fasilitas tertentu. Bisa menyediakan lahan untuk berdagang dengan harga sewa terjangkau. Juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat tanpa meninggalkan profesionalitas.

Saat saya ke sana, istri sempat membeli daun bawang di kebun penduduk, saat mereka memanen. Dengan Rp5.000, kami mendapat seikat besar daun bawang.

Wisata alam seperti menanam dan memetik sayuran bisa dikembangkan di sini. Penduduk bisa menjual produknya dengan harga di atas harga pasar sekaligus 'menjual' cara berkebun. Bagi orang kota, wisata ini amat menarik dibanding melihat mal.

Menciptakan berbagai fasilitas dan model wisata ini, saya rasa sulit dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Megelang, mengingat keterbatasan dana dan juga sumber daya manusia. Bekerja sama dengan swaswa bukan barang haram. Yang penting pemda bisa menjaga klausul yang menguntung kedua pihak, baik investor maupun masyarakat. Sebagai regulator, pemda harus bijak.

Saya tunggu aksi pemda Kabupaten Magelang untuk menyulap Kragilan menjadi layaknya Gunung Pancar. Semoga. (Warga Magelang yang hijrah ke kota). (Foto: Dirga Alban)*

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...