![]() |
Berfoto di hutan pinus Top Selfie, Kragilan, Magelang. |
Melihat foto-foto yang beredar di media sosial, Top Selfie
Pinusan di Dusun Kragilan dan Kekokan, Desa Pogalan, Kecamatan Pakis,
Kabupaten Magelang perlu berbenah agar menjadi tempat wisata alam nan memesona
seperti halnya Gunung Pancar di Sentul, Bogor.
Saat mengunjungi Kragilan di lereng Gunung Merbabu menjelang
Idul Fitri 2016, tempat ini ramai pelancong, baik lokal maupun luar kota. Plat
mobil B (Jakarta), F (Bogor), dan D (Bandung) lebih banyak parkir di lahan yang
disediakan oleh pengelola Top Selfie Pinusan.
Saya tak kaget ketika memasuki Kragilan dan menemukan
panjang hutan pinus ini sekitar 150-200 meter. Selebihnya sudah masuk ke
perkampungan warga. Dari foto-foto yang beredar di media sosial, sebagai tukang
foto, saya sudah bisa memprediksi kalau hutan pinus di sini tak sepanjang yang
dibayangkan publik.
Hutan pinus yang menyatu dengan perkampungan adalah obyek
wisata yang menarik. Asalkan, dikelola baik dengan melibatkan stakeholder
(pemangku kepentingan) yaitu masyarakat setempat, pemda Kabupaten Magelang,
pemda Provinsi Jawa Tengah, serta pihak swasta.
Karena saat ini (saat saya berkunjung ke sana) , pengelolaan
Top Selfie dilakukan oleh penduduk setempat. Wajar, jika fasilitas yang
tersedia hanya 'seadanya'. Tiket masuk pun super murah, untuk motor Rp3.000 dan
mobil Rp10.000 (jumlah penumpang tidak dihitung).
Warung makan pun minim. Menu yang tersedia standar, sekitar
mie instant, bakso, atau pecel lele dan ayam. Arena bermain anak hanya ada
flying fox. Bagaimana mendongkrak Kragilan agar menjadi bidadari cantik seperti
Gunung Pancar?
Keterlibatan Pemda
![]() |
Top Selfie Kragilan, Magelang |
Hutan pinus ini kabarnya milik Perhutani. Masyarakat
berinisiatif mengelola setelah tempat ini dikunjungi banyak orang agar lebih
tertib dan nyaman. Kragilan mulai termasyur setelah foto-fotonya beredar di
media sosial.
Setelah tenar, fasilitas harus dibenahi. Terkenal tanpa
melalui promosi besar-besaran adalah anugrah. Bayangkan, jika harus memasang
iklan di media massa baik cetak, online maupun elektronik. Berapa biayanya?
Harus matur nuwun pada Twitter, Facebook, Instagram, Path dan makhluk
sejenisnya.
Membenahi fasilitas, bukan sekedar soal dana, tetapi juga
itikad baik dari semua pemangku kepentingan dalam hal ini pemda kabupaten dan
provinsi, masyarakat Kragilan, Perhutani sebagai pemilik lahan, serta swasta.
Pemda kabupaten (lebih baik didukung Provinsi), harus
membuat anggaran untuk membangun infrastruktur menuju Kragilan. Jalan sudah
baik, beraspal mulus. Angkutan umum sampai ke Kaponan, Pakis sudah banyak. Apa
lagi yang dibutuhkan?
Bangun infrastruktur pendukung. Misalnya, membuat perkebunan
buah untuk wisata petik buah (fruit picking). Saya melihat, tak jauh dari
lokasi itu ada beberapa kebun petik buah strawberi. Pemda bekerja sama dengan
penduduk, bisa mendirikan beberapa kebun petik buah seperti ini untuk
meningkatkan daya tarik.
Perlu juga dipikirkan untuk mendirikan pusat seni untuk
menampilan kerajinan dan budaya masyarakat setempat. Kubro siswo, tarian khas
Magelang, bisa menjadi menu pembuka bagi pengunjung di Kragilan. Atraksi makan
beling, tentu membuat decak kagum pengunjung, khususnya bule.
Gandeng Investor
Taman Wisata Gunung Pancar yang memiliki luas areal 447.5
dikelola oleh PT Wana Wisata melalui SK Menteri Kehutanan Nomor :
54/Kpts-II/93 tanggal 8 Februari 1993. Di tangan, Wana Wisata, Gunung Pancar
berkembang pesat. Memiliki fasilitas outbond, paket fotografi, paket syuting,
pesta pernikahan (termasuk foto pre wedding), camping ground, sampai kolam air
panas yang dikelola oleh masyarakat setempat.
Menggandeng investor swasta adalah salah satu opsi yang bisa
dipilih. Tentu, beberapa klausul 'kerakyatan' harus disepakati. Misalnya,
melibatkan masyarakat setempat dalam pengelolaan fasilitas tertentu. Bisa
menyediakan lahan untuk berdagang dengan harga sewa terjangkau. Juga membuka lapangan
kerja bagi masyarakat tanpa meninggalkan profesionalitas.
Saat saya ke sana, istri sempat membeli daun bawang di kebun
penduduk, saat mereka memanen. Dengan Rp5.000, kami mendapat seikat besar daun
bawang.
Wisata alam seperti menanam dan memetik sayuran bisa
dikembangkan di sini. Penduduk bisa menjual produknya dengan harga di atas
harga pasar sekaligus 'menjual' cara berkebun. Bagi orang kota, wisata ini amat
menarik dibanding melihat mal.
Menciptakan berbagai fasilitas dan model wisata ini, saya
rasa sulit dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Megelang, mengingat
keterbatasan dana dan juga sumber daya manusia. Bekerja sama dengan swaswa
bukan barang haram. Yang penting pemda bisa menjaga klausul yang menguntung
kedua pihak, baik investor maupun masyarakat. Sebagai regulator, pemda harus
bijak.
No comments:
Post a Comment