Friday 15 July 2016

Mengejar Cinta di Gereja Ayam Bukit Rhema

Foto di mahkota gereja

Saya terusik saat nonton film Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC2) di mana Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastrowardoyo) melepas rindu di Gereja Ayam di Dusun Gombong, Desa Kembang Limus, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang. Saya pun berniat untuk mengunjugi lokasi itu yang tak jauh dari kota asal saya, Magelang.

Menjelang Lebaran 2016, tepatnya Senin, 4 Juli pukul 06:00 WIB saya sudah tiba di lokasi. Tak jauh dari tempat tinggal ortu, sekitar 25 km. Lokasi gereja berada 200 meter dengan jalan menanjak. Yah, ibarat naik gunung. Namun jalan menuju Rumah Doa sudah diplester. Menebus tiket Rp10.000 per orang, kami (saya, istri dan 2 anak) naik ke Bukit Rhema. Setelah sedikit ngos-ngosan, sampailah di atas. Ehhhh......nongol mobil Taft disusul Feroza. Ternyata itu mobil angkutan dari parkir menuju lokasi. Tarif hanya Rp7.000 per orang.

Keinginan melihat sunrise kandas karena mentari sudah bersinar terang benderang. Saya mengambil foto Gereja Ayam, yang sejatinya adalah Rumah Doa Merpati, sebelum masuk ke bangunan. Saya khawatir panas matahari akan mengurangi kualitas foto.

Gereja Ayam di Magelang
Gereja Ayam yang menghadap Timur memiliki pintu masuk di sisi Utara. Penjaga gereja kebanyakan berasal dari Serui, Papua Barat. "Rumah doa ini dibangun 1992. Ini bukan gereja. Semua orang boleh berdoa di sini," ujar Yunus, pria asal Serui yang menyebut dirinya 'Mas'. "Kalau di Jawa jadi mas, kalau di Papau pace," lanjutnya.

Sebagai rumah doa untuk semua umat beragama, pengunjung boleh mengejar cinta Illahi di bangunan ini. Jadi, tak harus seperti Rangga yang memburu cinta dari gadis pujaanya yang kebetulan bernama CINTA.

Saya masuk ke lorong basement. Terdapat ruang-ruang kecil dengan bentuk tak beraturan. Penerangan melalui jendela dan lampu seadanya. Konon, ruang bawah tanah ini digunakan sebagai tempat rehabilitasi bagi mereka yang berbeban berat (orang stres, ketergantungan narkoba, kenakalan remaja, korban kekerasan).

Aula gereja
Saya sempat didatangi Yunus dan diberi tahu jalur menuju aula gereja. Dikiranya, saya nyasar. Padahal, saya memang ingin masuk ke ruang tersebut untuk mengambil foto.

Memasuki aula gereja, pemandangan berbeda dengan foto-foto yang beredar di website. Kini, aula sudah rapi dengan keramik utuh. Tak ada coretan-coretan anak alay yang mengungkap cinta atau mengharapkan uluran kasih. Panjang aula sekitar 20, dan lebar 12m (hanya kira-kira yah). Atap bangunan berbentuk melengkung. Inilah badan merpati.

Di sisi kiri kanan aula dekat tangga naik ke mahkota, terdapat beberapa kursi yang bisa dipakai beristirahat. Ada juga pedangan minuman dan mie instant.

Tangga naik
Dari aula, saya naik ke leher bangunan melalui tangga kayu. Terdapat lukisan wanita bermahkota membawa panah, bertuliskan "Welcome to Bukit Rhema." Saya tak tahu apakah itu lukisan Srikandi atau Sembodro.

Di leher merpati terdapat beberapa jendela berbentuk wajik. Dari sini, kita bisa melihat pemandangan di bawah atau mengintip bukit Punthuk Setumbu walau yang terlihat hanya pepohonan karena posisi yang kurang tinggi.

Melalui tangga kayu lagi, saya naik ke paruh merpati. dari paruh warna merah ini, bisa melihat pengunjung yang ada di luar gereja serta pohon di bawah bangunan. Ternyata, pengunjung yang antre untuk naik ke mahkota sudah banyak.

Jendela di leher ayam
"Hanya 10 orang. Saya kasih waktu lima menit," kata Nagor, penjaga asal Papua juga. Setelah menunggu sekitar 15 menit, barulah saya dapat giliran menginjakkan kaki di mahkota Rumah Doa Merpati.

Di Barat, terlihat Punthuk Setumbu, tempat melihat sunrise dan kemolekan Mahkota Gereja Ayam dari kejauhan. Kondisi mahkota sudah berbeda dengan kondisi saat Rangga dan Cinta bertemu. Mahkota sudah diberi pagar besi sehingga mengurangi nilai artistiknya. Tapi, demi keamanan, pemagaran itu bisa diterima akal sehat.

Karena penasaran ingin melihat Gereja Ayam dari Punthuk Setumbu, pada Lebaran kedua, 7 Juli 2016, jam 04:00 pagi saya berangkat ke bukit itu. Subuh sudah sampai ke lokasi.

Ekor ayam
Jalan naik ke bukit setinggi 400 dpl itu sudah diplester. Aman dan gampang, meski tetap ngos-ngosan karena lumayan jauh, 300 meter. Tak ada angkutan atau ojek sampai atas. Kalau malas naik, ada rumah singgah di bawah. Tapi, saya tak tahu bisa melihat sunrise dengan sempurna atau tidak.

Sampai di atas bukit, pengunjung sudah bejibun. Pelancong lokal dan turis asing sudah 'menguasai' posisi depan dengan kamera masing-masing. Harus berburu lokasi untuk mendapat tempat yang pas.

Sunrise di Punthuk Setumbu
Sayang, pagi itu terdapat awan sehingga sunrise kurang yahud. Tetapi, setelah mentari naik, mahkota Gereja Ayam tampak jelas di antara pepohonan nan hijau. (foto: Joko Harismoyo)***

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...