Monday 11 July 2016

Alun-alun Magelang, Keindahan yang Memudar

Meski tak lagi memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) Magelang, namun kota ini tak bisa dipisahkan dari kehidupan saya. Besar dan sekolah di Magelang membuat saya peduli akan kota kelahiran anak sulung saya ini.

Setiap kali pulang ke Kota Tidar, saya selalu melewati alun-alun. Inilah rute dari rumah orang tua saya ke keluarga istri saya di Meteseh, Magelang Tengah (dulu masuk Kecamatan Magelang Selatan).  Nah, alun-alun yang hanya berjarak dekat dari rumah ortu dan mertua membuat saya paham dengan perubahan yang terjadi di pusat kota Maagelang ini.

Tahun lalu, alun-alun rapi dan bersih. Pedagang makanan diatur rapi di dekat menara air PDAM di sebelah Utara, membentang dari Menarai Air hingga di depan Bank Central Asia (BCA). Tenda pedagang ditata dengan bentuk dan warna seragam. Bahkan, pedagang gorengan pun mendapat tenda untuk berjualan. Tak ada tenda-tenda liar di sekeliling dan tengah lapangan.

Alun-alun benar-benar berfungsi sebagai ruang publik tempat bertemu dan berinteraksinya masyarakat. Pedagang dengan pembeli, pelancong, dan juga aktivitas budaya. Beberapa aktivitas pemerintah, seperti pentas seni, gelar budaya, atau lomba lari dan gerak jalan, memanfaatkan alun-alun sebagai tempat start atau finish.

Saat anak-anak saya ke alun-alun, mereka senang dengan kebersihan dan kerapian alun-alun. Sungguh memesona!

Memudar

Namun, Lebaran 2016 ini, pesona alun-alun berkurang. Sehabis melihat sunrise di Punthuk Setumbu, anak sulung saya ingin singgah untuk memotret Patung Diponegoro. Kami berkeliling alun-alun. Dari sinilah kekecewaan saya muncul.

Beberapa tenda pedagang, dari pedagang angkringan hingga terpal untuk mainan anak-anak ada di sekeliling alun-laun. Terpal berisi air ada di dekat Patung Diponegoro. Juga ada di bawah pohon beringin di tengah alun-alun. Mungkin, terpal berisi air itu adalah tempat anak-anak belajar memancing. Di sisi Selatan, tenda pedagang tak dilepas. Hanya ditutup terpal.

Jika dulu rental sepeda listrik dan mobil-mobilan hanya boleh mengelilingi menara air, kini sepeda dan mobil listrik boleh melibas rumput alun-alun. Rumput pun tak seindah tahun lalu. Beberapa bagian tampak gundul, persis seperti rambut saya yang mulai menipis.

Saya tidak tahu, apakah pemkot memberikan ijin terhadap pedagang di tengah alun-alun, mengingat walikota Magelang dari tahun lalu hingga saat ini masih sama. Seandainya pedagang itu tidak mendapat ijin, rasanya juga mustahil. Apakah mereka berani melanggar di pusat kota yang harusnya dijaga keindahannya?


Atau pemkot memang memberikan ijin kepada pedagang untuk berjualan di alun-alun untuk memberi kesan pemerintah kota yang lebih merakyat dan membela wong cilik? Saya tidak tahu dan tidak mau berspekulasi. Mungkin, teman-teman birokrat di Magelang bisa memberikan informasi mengenai kondisi ini? Mari kita jaga alun-alun agar tetap indah, bersih dan rapi sehingga Kota Sejuta Bunga ini tetap semerbak. *

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...