![]() |
Ilustrasi: Youtube |
Sebagai penumpang tetap Metromini atau Kopaja rute Dukuh Atas - Menara Thamrin dan sebaliknya, saya hafal mereka yang mencari nafkah di atas bis mulai dari pengamen hingga penyair.
Tipe pengamen di atas bis pun bermacam-macam. Ada ibu-ibu
tua, untuk tidak menyebut nenek, yang selalu menyanyikan lagu Sepanjang Jalan
Kenangan diiringi botol air mineral plastik yang di dalamnya diisi beras.
Suaranya cedal, penampilannya bersih. Banyak penumpang yang memberi uang
padanya karena kasihan.
Ada juga ibu-ibu tua berkerudung. Dia selalu menyanyikan
sholawad di atas bis. Pikirnya, sesuai dengan kostum yang dipakai. Mereka
beroperasi di atas jam 19.00 malam, ketika penumpang bis mulai berkurang. Saya,
tidak tahu seandainya sore hari juga beroperasi.
Kadang, ada pengamen anak-anak muda punk dengan tattoo
lengkap, tindik di hidung dan telinga. Kadang, mereka menyantikan lagu
ciptaannya sendiri yang menuturkan kesulitan mendapatkan pekerjaan di Jakarta.
Dia mengamen untuk mencari makan. Lebih mulia dibanding harus merampok. Model
seperti ini, membuat penumpang malas mengeluarkan uang. Hanya sedikit yang
memberi uang.
Jumat malam lalu, saya bertemu penyair di atas bis. Sudah
beberapa kali saya melihat wajah lelaki setengah baya itu. Namun, baru kali ini
dia menuntaskan baca puisi secara utuh karena dia naik dari halte Sarinah di Jalan
MH Thamrin dan berhenti di Stasiun Sudirman, Jakarta. Bis berhenti di lampu
merah Bunderan HI sehingga waktu untuk berekspresi menjadi lebih lama.
Dia mengawali dengan puisi karya Wiji Thukul. Sebelum
membaca, dia memberi pengantar, siapa Wiji Thukul. “Wiji Thukul adalah penyair
pro demokrasi di rezim Orde Baru. Dia menyuarakan kebebasan. Ia hilang dan
sampai sekarang tak tahu rimbanya,” ujarnya dengan nada keras dan pelan. Kata “tak tahu rimbanya” mendapat intonasi khusus sehingga penumpang
merasakan aura kekejaman.
Lalu dia membaca pusisi Sajak Suara. Runtut tanpa membaca.
Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian
bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
siapkan untukmu: pemberontakan!
sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu
menuntut keadilan?
sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan
Selesai membaca Sajak Suara, dia membaca puisi kedua karya
Ucok Virgo. Tak bicara tentang kebebasan. Mungkin, dia tahu tema tersebut sudah
usang karena kebebasan berbicara, saat ini, sudah bukan barang mewah lagi.
Orang bebas berbicara, bahkan di media sosial.
Tema yang diangkat tentang korupsi. Tema aktual. Saya tak
ingat persis syairnya. Sebenarnya pendek, hanya beberapa kalimat. Saya googling
pun, puisi yang dimaksud tak ketemu. Berikut petikan syair tersebut.
Tentang Korupsi
Di Philipina, koruptor tidak boleh memimpin
organisasi sosial
Di Italia, koruptor tidak boleh memimpin
klub sepak bola
Di Bali, koruptor memimpin sebuah partai
besar
Puisi di atas, jelas puisi baru karena persoalan yang
diangkat adalah peristiwa politik yang belum lama berselang. Ketika partai
besar menggelar musyawarah nasional dan memilih mantan ketua DPR yang
tersandung kasus Papa Minta Saham menjadi ketumnya. Soal bagaimana ia bisa
menjadi ketua, tak perlu dibahas karena bisa membutuhkan tulisan satu buku
sendiri.
Selesai puisi kedua, bis melintasi Bunderan HI. Waktu yang
tersisa tak lama. Ia melanjutkan dengan puisi karya Taufik Ismail. Nama penyair
ini tak asing. Anehnya, dia hanya membaca sepenggal saja (yang berwarna biru).
Entah karena tidak hafal atau waktu yang tersedia sangat mepet.
Kami Muak dan Bosan
Dahulu di abad-abad yang silam
Negeri ini pendulunya begitu ras serasi
dalam kedamaian
Alamnya indah,gunung dan sungainya rukun
berdampingan,
pemimpinnya jujur dan ikhlas memperjuangkan
kemerdekaan
Ciri utama yang tampak adalah kesederhanaan
Hubungan kemanusiaanya adalah kesantunan dan
kesetiakawanan
Semuanya ini fondasinya adalah Keimanan
Tapi, Kini negeri ini berubah jadi negeri
copet, maling dan rampok, bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu
Negeri penyogok dan koruptor,
Negeri yang banyak omong,
Penuh fitnah kotor
Begitu banyak pembohong
Tanpa malu mengaku berdemokrasi
Padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang
dan materi
Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji
Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan
kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah
sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan Tuhan
Negeri kita penuh dengan wong edan, gendeng,
dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang
ilo, manusia gila kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta
Jika penjahat-penjahat ini
Dibawa didepan meja pengadilan
Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar
hukuman
Atau sandiwara tipu-tipuan terus-terus
diulang dimainkan
Divonis juga tapi diringan-ringankan
Bahkan berpuluh-puluh dibebaskan
Lantas yang berhasil mengelak dari
pengadilan
Lari keluar negeri dibiarkan
Dan semuanya itu tergantung pada besar
kecilnya uang sogokan
Di Republik
Rakyat Cina, Koruptor dipotong kepala
Di kerajaan Arab
Saudi, Koruptor dipotong tangan
Di Indonesia, Koruptor
dipotong masa tahanan
Kemudian berhanyutanlah nilai-nilai luhur
luar biasa tingginya
Nilai Keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja
keras, tenggang rasa, pengorbanan,
Tanggung jawab, ketertiban, pengendalian
diri,
Remuk berkeping-keping
Akhlak bangsa remuk berkeping-keping
Dari barat sampai ke timur
Berjajar dusta-dusta itulah kini Indonesia
Sogok Menyogok menjadi satu,
Itulah tanah air kita Indonesia
Kami muak dan bosan
Muak dan bosan
Kami Sudah lama Kehilangan kepercayaan
Sepertinya, banyak penumpang yang terhibur dengan cara
membaca penyair bis kota itu. Penumpang memberikan uang di kantong yang
dikelilingkan sehabis pembacaan puisi. Penumpang bis masih bisa memberi
apresiasi kepada pengamen atau penyair. Mana yang bekerja sungguhan atau
sekedar meminta-minta dengan kedok pekerja seni. (Jumat, 24 Juni 2016)
No comments:
Post a Comment