Wednesday 8 June 2016

Kaya Rasa dan Tampil Kekinian



Tujuh gelas sloki berjejer dua di atas telenan kayu persegi. Di dekat sloki itu terdapat bahan-bahan jamu yang ditata rapi. Di sebagian sloki terlihat endapan, namun ada juga yang berbuih layaknya cappuccino.

Tujuh sloki itu adalah menu andalan Suwe Ora Jamu (SOJ) Cafe di daerah Petogogan, Jakarta Selatan yang disebut the seven wonderful alias jamu sapta sari. Menu tersebut akan disuguhkan kepada pengunjung cafe yang awam pada jamu.

“Orang asing saya kasih satu set itu. Biar dia merasakan banyak jamu,” ujar Nova Dewi saat berbincang, 25 Mei 2016. Dengan sloki kecil, diameter sekitar 4,5 cm dan tinggi 7 cm, pengunjung tak akan kembung meminum semua jamu yang disodorkan.

Ketujuh jamu itu, jika diminum berurutan dari beras kencur, kunyit asam, rosella, green tamarind, wedang jahe, alang-alang dan sari jamu sehat pengunjung akan merasakan perubahan mulai dari yang dingin menuju hangat dan kembali ke dingin, lalu netral.

Sloki terakhir, sari jamu sehat, terbuat dari ekstrak buah murbei tanpa fermentasi sehingga tak mengandung alkohol. Saat saya mencoba, baunya mirip anggur yang sering dipakai sebagai campuran minum jamu di kios-kios jamu tradisional. Juga hangat di badan.

Inovasi Rasa

Nova mendirikan Suwe Ora Jamu Cafe pada Februari 2013 setelah dia dan suami kesulitan mendapatkan jamu gendong di Jakarta. Perlu diketahui, Nova yang besar di Surabaya, sudah terbiasa minum jamu tradisional Jawa. Dia juga cemas dengan anak muda yang semakin jauh dari akar tradisi, khususnya jamu.

Karena membidik anak muda itulah, menu di cafe ini beragam. Mulai jamu bubuk merek Iboe (buatan Surabaya), minuman jamu segar, kopi hingga makanan ringan dan makan besar. “Jamu merek Iboe itu tertua di Indonesia loh,” ujar Nova dengan logat Jawa Timuran.

Inovasi rasa lebih banyak dilakukan di minuman segar. Di samping menyediakan beras kencur, temulawak, wedang jahe, alang-alang atau kunyit asam, Nova terus berkreasi menciptakan rasa baru, campuran buah dan sayur.

Salah satu minuman andalan di SOJ adalah  green tamarind yang diracik dari sawi dan kunyit asam. Warnanya hijau segar dengan buih putih di atasnya. Saya menyesal meminumnya belakangan sehingga dinginnya berkurang. Rasanya segar dengan takaran asam-manis yang pas. Tambahan daun mint membuat minuman ini meninggalkan pengalaman rasa yang kaya.

Nova juga menyuguhi saya dengan kunyit shot dan kunyit latte. “Kalau ada coffee latte, saya bikin kunyit latte. Biar kekinian nggih,” ujarnya. Taburan pada kunyit latte bukan coklat melainkan pala dan kayu manis. Sayang, saya tak sempat meminumnya karena sudah mencoba berbagai minuman lain.

Nova yang demen bicara Bahasa Jawa ini saya minta memberi contoh cara minum kunyit shot. Saya tertarik pada kunyit shot karena tampilannya keren. Warna kuning tua (lebih tua banding kunyit latte) dengan taburan garam serta irisan lemon di bibir sloki.

Setelah memberi contoh, giliran Nova meminta saya untuk meminumnya. “Monggo sakniki njenengan, saya yang motret,” ujarnya. Saya pun mengambil lemon dengan tangan kanan, dan meminumnya dengan tangan kiri (maaf saya terbalik karena seharusnya pakai tangan kanan he hee). Rasa pahit dan agak pedas perlahan-lahan hilang setelah garam menyentuh bibir. Sekitar tiga detik kemudian, saya menyesap jeruk lemon. Paduan yang pas!

Ngobrol Nyaman

Saya mampir di SOJ Cafe yang di Jalan Petogogan 1, Jakarta Selatan. Di lantai satu, nuansa jamu terasa banget. Di meja bundar yang berada di depan peracik jamu terdapat lumpang (alat penumbuk jamu) besi. Ini hanya hiasan, tidak dipakai untuk menumbuk beneran.

Saya ngobrol dengan Nova di sofa paling depan. Sarung bantal di sofa ada yang bertuliskan STMJ alias susu, telor, madu dan jahe. Di depan Nova ada sepiring nasi bakar dan kopi. “Lagi bikin menu untuk buka puasa,” uajrnya.

Setelah menyuguhkan seven wonder, kunyit latte, kunyit shot, lalu datanglah pisang goreng krispi yang ditaburi karamel dan keju. Busyeet dah. Saya bukan dalam masa pertumbuhan ke atas, tapi ke samping. Lantai satu ini ber AC dengan beberapa meja.

Nah, bagi yang ingin merokok bisa ke lantai tiga. Lantai dua untuk kantor operasional SOJ, jangan nyelonong ke sini yah. Interior lantai tiga ini bernuansa jadul. Kusen kuno yang agak keropos, seterika jago, dan sepeda onthel tua. “Workshop pembuatan jamu di sini. Saya mengajar di tengah dan peserta duduk di posisi U,” jelas Nova.

Setiap bulan, SOJ menyelenggarakan workshop. Beberapa peserta datang dari orang asing. Paling banyak orang Jepang. “Saya sudah delapan kali mengadakan workshop untuk ekspat Jepang,” tambahnya.

Orang Jepang memang demen minuman seperti ini. Saya sempat menghubungi teman di Tokyo yang membuka restoran Indonesia di sana. Dia memberi nama, email dan alamat temannya yang membuka cafe jamu bernama Tetes Manis di dekat Stasiun Ogawamachi, Tokyo. “Saya sudah kasih tahu dia tentang Pak Joko,” ujar Ohira, teman saya itu. Di Osaka juga sudah ada sekolah membuat jamu. Pemiliknya Kobayashi Mie. Saya sedang mengatur waktu untuk chat dengan dia untuk menanyakan seluk beluk sekolah jamu tersebut.


Jepang bukan Malaysia yang suka mengklaim budaya kita sebagai budaya mereka. Tapi, Jepang pandai melihat peluang bisnis. Jangan sampai kita hanya menjadi penonton dan mereka yang meraup rezeki dari budaya leluhur kita. Ayo Nova, segera wujudkan membuat cafe jamu di Tokyo dan kota lain di Negeri Sakura! (Foto: Joko Harismoyo)

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...