![]() |
Ilustrasi: Bukalapak.com |
Bukan aku saja, beberapa tetangga, juga heran dengan Windy. Wajahnya layak masuk televisi. Andai kulitnya terawat dan memakai baju bagus, orang akan mengira ia artis. Hanya nasib yang membawanya menjadi seorang tukang cuci dan istri Budi.
Budi bukanlah pria ganteng. Wajahnya standar, cenderung ke
minimalis. Perawakannya kurus. Mungkin selagi muda belum seceking sekarang.
Tetapi tetap tak ada tanda-tanda ia bertubuh atletis. Katanya, dulu ia pemain
band. Pemain gitar andal.
Dia berhenti menjadi pemain band ketika mobil yang membawa
rombongan untuk pentas terbalik dan masuk jurang. Beberapa temannya tewas,
sementara Budi patah kaki. Akibatnya, ia sedikit pincang ketika berjalan.
Sejak itu Budi tak lagi menjadi gitaris. Dia beralih profesi
menjadi pengamen bis dengan gitar kecil. Dia berangkat pagi hari, sekitar pukul
05:30 WIB dengan mengendarai motor. Sehabis mengantar Windy ke pabrik, dia
mulai mengamen.
Namun, Budi terpaksa pensiun setelah penyakit asma
menggerogotinya. Nafasnya sering tersengal-sengal dengan suara mengi. Kalau
nafasnya normal, batuknya menjad-jadi. Batuk bersuara berat, seakan dahak yang
ada di saluran pernafasan sulit keluar.
Kini, tugasnya hanya antar jemput istri ke pabrik. Sekitar
jam 07:00 ia sudah di rumah. Sehabis mamarkir motor di ruang tamu, ia berganti
celanda pendek. Berjemur di halaman rumah. Pagar pohon teh-tehan di rumahnya
hanya semeter, sehingga kegiatan Budi di halaman itu terlihat oleh tetangga
yang lewat.
Yang kadang membuat risih tetangga, dan tentu juga aku,
adalah kebiasaannya setelah berjemur yaitu menonton televisi hanya dengan
memakai celana dalam. Jika celana pendek Budi masih berwarna-warna, tidak
halnya dengan celana dalam. Budi selalu memakai celana dalam warna cokelat.
Warna yang membuat aku cukup bingung. Budi jarang memakai
celana atau baju warna coklat. Cat rumahnya putih dengan aksen biru. Motornya
berwarna hitam dengan stiker merah. Tak ada unsur coklat. Helmnya juga berwarna
hitam. Entah mengapa dia begitu cinta dengan celana dalam warna coklat. Atau,
jangan-jangan, coklat bisa 'menutupi' kotor sehingga ketika dua atau tiga hari
tidak dicuci tak akan terlihat. Ingat, ini hanya prasangka buruk saja. Belum
tentu benar, tetapi belum tentu salah juga.
***
Pagi itu Budi tak mengantar istrinya kerja. Penyakit asmanya
kambuh. Windy diantar tukang ojek. Budi tak bisa berjemur di halaman rumah.
Juga tak menonton televisi dengan kostum celana dalam coklat. Dia terbaring di
kamar dengan nafas tersengal-sengal.
Dengus nafasnya terdengar sampai depan rumah. Aku iba,
membayangkan sakit dadanya saat bersusah payah menghirup udara. Meski pintunya
tertutup, aku tahu, pintu itu tak berkunci. Hanya diganjal batu. Kudorong pelan
dan pintu terbuka. Aku menerobos masuk ke kamar.
Budi nungging di atas kasur. Tangannya memukul-mukul bantal
sambil berteriak. Mengaduh kesakitan. "Pak Budi!" ujarku setengah
berteriak. Dia menoleh, memandangku dan kembali tangannya memukul-mukul bantal.
"Obat asmanya di mana? Saya ambilkan!" sergahku.
Budi menggelengkan kepala sambil memberi tanda jika dia sudah tak memiliki obat
lagi. Sepertinya dia enggan bicara karena menahan rasa sakit di dada. "Obatnya
habis?” Tanyaku lagi. Budi mengangguk pelan.
Aku keluar. Balik ke rumah. Mencari persediaan obat asma.
Karena si sulung juga memiliki penyakit ini, aku siap dengan nebulizer, obat
semprot dan pil untuk melegakan pernapasan.
Apes, obat untuk inhalasi dan pil sedang habis. Sementara,
obat semprot belum ketemu. Biasanya dibawa si sulung, untuk berjaga-jaga. Aku
tak menyerah, kucari di kamar si sulung, siapa tahu hari ini obat itu ditinggal
di rumah. Alhamdulillah, ada obat semprot lama yang masih tersisa sedikit.
Bergegas, aku menuju kamar Budi. Tanpa bicara sepatah kata pun, aku semprotkan
obat itu ke mulutnya. Tiga semprotan.
Aku duduk di samping Budi yang masih mengerang. Terdiam,
menunggu reaksi obat. Sempat terbayang, seandainya Budi memiliki anak, tentu
dia bisa membantu di saat ayahnya dalam kesulitan seperti ini. Tapi faktanya,
Budi dan Windy, tak memiliki anak. Mereka hanya hidup berdua.
Apesnya lagi, hubungan dengan tetangga tak semanis madu.
Mereka tertutup. Tak pernah ikut kegiatan sosial, kerja bakti, mapun hadir di
masjid dalam ritual keagamaan. Mereka merasa nyaman dengan kesendiriannya.
Beruntung, sebulan terakkhir tabiat kurang menyenangkan itu perlahan-lahan
memudar.
Budi mulai menyapa tetangga. Pernah ikut kerja bakti
membersihkan jalan di depan rumahnya. Istrinya mulai bertegur sapa. Sejatinya,
istri Budi adalah wanita ramah. Keenggenannya bertegur sapa karena takut akan
amarah Budi. Menurut dongeng, saat muda Windy pernah berselingkuh dengan
brondong alias anak baru gede (ABG). Sejak itu, Budi melarang Windy bergaul.
Dengan siapa pun.
Perubahan sikap Budi dan Windy itu yang membuat tetangga iba
ketika asma Budi kambuh. Meski sebenarnya pagi itu aku harus buru-buru ke
kantor karena pekerjaan menumpuk, namun aku tak tega mendengar Budi mengerang,
menahan sakit. Semprotan tiga kali ke rongga mulut Budi bisa meredakan
sakitnya.
***
Setelah Budi diam karena sesak napasnya berkurang, aku balik
ke rumah. Bersiap-siap ke kantor. Ini hari Senin. Tak elok jika datang
terlambat. Apalagi, alasannya membantu tetangga sakit. Tak profesional dan
terkesan mengada-ada.
Aku masuk ke kamar mandi dengan riang gembira. Tak lagi
mendengar erangan orang sakit. Bagiku, kamar mandi adalah tempat ternyaman
untuk 'merenung.' Dari sinilah kadang muncul ide brilian, judul berita menarik
atau lead sebuah berita. Ide-ide itu biasanya muncul saat buang hajat atau
mandi di bawah shower dengan air dingin yang perlahan-lahan mengucur ke atas
kepala. Tetesan-tetasan air itu bagai pintu pembuka kreativitas. Di kamar mandi
inilah aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
Untung, pagi itu semua anggota keluarga sudah berangkat,
mengurus kepentingan mereka sendiri. Tak ada yang mengusikku. Setelah membasuh
seluruh badan, giliran air mengucur ke kepala. Momen yang menyenangkan. Rambut
super tipis membuat siraman air itu begitu terasa di batok kepala.
Dingin-dingin menyegarkan. Menikmati kucuran air dingin itu, aku memikirkan
lead berita mengenai museum perdamaian di Prefektur Okinawa. Bagaimana orang
sadar bahwa perang hanya akan membawa penderitaan bagi masyarakat.
Di saat renungan itu belum membuahkan hasil, bel rumah
berbunyi nyaring. Dipencet berulang-ulang membuatku kesal. Segera aku mengambil
handuk, mengeringkan badan, berganti celana pendek dan kaos, lalu keluar rumah.
"Pak, Budi kambuh lagi,' ujar Rini, tetangga sebelahku.
Meski kesal karena bakal terlambat ke kantor lagi, aku masuk ke rumah Budi.
Kali ini tak ada pilihan lain, harus memboyong Budi ke rumah sakit. Dan perlu
diketahui, birokasi ke rumah sakit pemerintah di negeri ini, sungguh berbelit.
Harus ada rujukan dari puskesmas atau klinik kelas satu. Padahal, belum tentu
mendapat tempat tidur sesuai yang diinginkan. Dan untuk urusan ini, tidak
mungkin aku yang mengurusnya.
Aku memutuskan untuk menelepon Windy, istri Budi. Bertanya
pada Budi, rasanya tak mungkin. Nafasnya terengah-engah. Aku ambil HP di dekat
kepala Budi yang berbaring. Kubuka phone book, mencari-cari nama Windy. Tak
ada. Lalu kuganti dengan kata mama, ibu, bunda sampai umi. Nihil juga.
Setengah jengkel, HP itu aku dekatkan wajah Budi. "Mana
nomor HP istri sampeyan?" Dengan susah payah, Budi mencari daftar nama di
phone book sesuai abjad. Dia menaikkan krusor, dari W ke atas sampai ke huruf
J. Budi menunjuk kata Jembut. Ya, ia memanggil istrinya dengan kata itu. Istri
yang selama ini menafkahi hidupnya, merawat dari sakit serta menjaga agar ia
tetap sehat disamakan dengan rambut kemaluan. Sebuah ironi di pagi hari.
Niatku menelepon Windy mulai kendor. Sempat berpikir,
biarkan saja pria ini meninggal perlahan-lahan, menebus dosa pada istrinya yang
sudah bertumpuk selama bertahun-tahun. Namun, rasa kemanusiaanku terusik
melihat derita Budi yang ada di depan mata. Aku menelepon Windy, memberi tahu
kondisi suaminya.
No comments:
Post a Comment