Sunday 17 November 2019

Mengejar Jari Kaki Jamaah Sebelah







Sholat magrib di masjid pada malam Minggu, 9 November 2019 benar-benar tak khusyuk. Saya enggan disentuh jari kaki oleh jamaah di sebelahnya, sementara ia terus memburu jari kaki saya seperti burung yang sudah masuk dalam incaran bedilnya.


Selama ini saya jarang sholat magrib berjmaah di masjid tempat tinggal saya di Depok karena saya pulang ke rumah sesudah Isya. Paling banter, saya sholat shubuh berjamaah. Inipun belum lama kok. Selama sholat di masjid ini jarang bertemu dengan kaum yang suka menyentuh dan menginjak kaki dengan alasan merapatkan barisan shaf.

Tetapi, perkembangan kampung ini begitu dahsyat. Dalam sekejap tumbuh beberapa perumahan, baik dari pengembang besar maupun kecil. Jumlah jamaah pun semakin banyak dengan berbagai variasinya, mulai mereka yang berpenampilan amat religius sampai sholat dengan t shirt dan celana jeans.

Magrib itu saya masuk ke masjid saat qomah (iqomah) sudah berkumandang sehingga berada di shaf kedua. Setelah imam memulai sholat saya segera mengucapkan Allahu Akbar dan beresedeku. Jamaah sebelah saya mulai menempelkan ke jari kaki sebelah kiri. Tak lama kemudian saya menggerakkan tumit kaki kiri ke kanan, sekitar satu cm, diikuti jari kaki sehingga ada jarak antara jari kaki saya dengan jamaah sebelah. Tak lama kemudian, kaki dia mengejar jemariku. Dan tertangkaplah jariku. Kali ini aku bertahan karena imam mulai ruku dan sujud.

Setelah saya berdiri untuk memulai rakaat baru, saya berpikir, "Inilah saat tepat untuk bergeser agak jauh." Sambil berdiri saya menggeser kaki sekitar dua cm sambil mendesak anak kecil, sekitar tiga tahunan, yang berada di sebelah kanan saya. Gerakan ini berpotensi "menggencet" si kecil saat duduk tasyahud akhir (tawarruk). Tapi apa daya...

Gerakan tersebut ternyata tak bisa menyelematkan saya dari kejaran jamaah sebelah. Jari kakinya terus memburu jari kaki saya sampai kami bersentuhan. Kali ini saya pasrah. Nyerah. Takdir saya harus bekejaran di tengah sholat. Selain tak khusyu, saya pun mendzholimi si kecil karena mempersempit ruang geraknya.

Dan ketika tasyahud akhir tiba, si kecil gak bisa duduk sempurna karena kegencet. Saya masih bisa duduk dengan benar meski menyerobot ruang si kecil. Saat sholat selesai, saya menyalami si kecil. Ia masih mau mencium tangan saya meski bertindak tak mengenakkan.

Sehabis menyalami si kecil, saya menoleh ke kiri. Memastikan siapa jamaah yang gemar mengejar jari kaki itu. Saya tak mengenalnya. Kira-kira anak berumur 10 tahunan. Meski 20 tahun tinggal di kampung ini, saya tak bisa mengenal pendatang baru yang jumlahnya bertambah pesat.

Bukannya saya tak mau meraptkan shaf. Tapi cara menyentuh kaki ini menyulitkan orang-orang tak langsing, untuk menghindari kata gendut, saat duduk tasyahud akhir. Dapat dipastikan saya akan menindih kaki jamaah sebelah saat saya memaksa duduk dengan cara benar. Ini soal kenyamanan beribadah. Apalagi, menyentuh kaki bukan suatu kewajiban.

Penasaran dengan jamaah sebelah, saya langsung mencari informasi perihal menyentuh kaki ini. Dalam website ini dijelaskan seperti ini:

Memang dalam salah satu hadits dijelaskan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan para sahabat agar merapatkan shaf, lalu para sahabat saling merapatkan barisan shafnya dengan cara menempelkan telapak kaki dan bahu mereka dengan bahu dan telapak kaki orang lain yang ada di sampingnya. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam hadits riwayat Sahabat Anas bin Malik:

عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Artinya, “Diriwayatkan dari Anas bin Malik dari Nabi Muhammad SAW, ia bersabda, ‘Tegakkanlah shaf kalian, karena saya melihat kalian dari belakang pundakku,’ (Sahabat Anas berkata) ‘Ada di antara kami orang yang menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan menempelkan telapak kakinya dengan telapak kaki temannya,’” (HR Bukhari).

Hadits di atas tidak dapat dipahami secara literal sehingga menyimpulkan bahwa menempelkan kaki dan bahu adalah suatu kewajiban dalam shalat. Pemahaman demikian tidak dibenarkan, sebab hal tersebut sebenarnya hanya dilaksanakan oleh sebagian sahabat nabi saja, tidak secara keseluruhan.

Dengan berdasarkan redaksi “Ada di antara kami” (Wa kana ahaduna) yang terdapat dalam teks matan hadits di atas. Sedangkan segala hal tentang sahabat, hanya dapat dijadikan hujjah ketika memang dilakukan oleh sahabat secara keseluruhan, bukan sebagian. ***







No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...