Thursday 26 April 2018

Wawancara Orang Tokyo, Malah Bertemu Tetangga Lama

Foto: Agoda

Mengetahui Koga Rumiko, pecinta kain dan batik Indonesia asal Tokyo, berada di Aceh, saya menghubungi beliau untuk bertemu. Malam itu, ia memberi nomor telepon dan kontak temannya, untuk janji wawancara esok hari di Jakarta sebelum terbang ke Tokyo.


Pagi hari, Ida, teman Koga san, menghubungi saya dan memberi waktu wawancara di hotel tempat mereka menginap. Saya setuju dan datang tepat waktu ke TKP. Lega, karena dengan didampingi Mbak Ida, wawancara akan lancar. Maklum, saya tidak bisa ngomong Jepang sementara Koga san belum lancar bahasa Indonesia dan tidak bisa ngomong Inggris. Beberapa tahun lalu, saat nulis batik, saya wawancara melalui email dengan Koga san. Pertanyaan dalam bahasa Jepang. Saya buat melalui Google translate dengan bahasa Inggris. Meski agak ribet, tetapi saya bisa mengerti maksud Koga san. Dan alhamdulillah, tulisannya dianggap berbobot.

"Saya sibuk sekali. Saya mau menerima wawancara Joko san karena tabloid ini berbobot," ujar Koga san sebelum wawancara. Meski senang, tapi saya khawatir jangan-jangan ia hanya menyenangkan hati saya. Dari mana ia tahu tulisan saya berbobot? Dan ini langsung saya tanyakan, tentu melalui Mbak Ida.

Menurutnya, sekitar dua tahun silam, ia pernah membaca tulisan saya tentang sebuah film yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Saya pernah menulis film Murudeka 17805 atau Merdeka 170845. Film ini dilarang diputar di Indonesia. Saya menyaksikan penayangan film ini di Galeri Foto Antara dilanjutkan dengan diskusi. Setelah terbit, artikel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang oleh Oda Kenji, dosen Bahasa Jepang, di Universitas Jenderal Sudirman.

"Saya dan suami membaca artikel itu. Jadi saya tahu kualitas tabloid ini," jelas Koga san. Harap maklum, suami Koga seorang jurnalis juga. Kata suami, sangat disayangkan tabloid seperti ini hanya dibagikan gratis.

Setelah basa-basi, wawancara dimulai. Sekitar 42 menit. Saya tidak berani lama-lama karena hanya diberi waktu satu jam. Sudah dipotong basa-basi 10 menit he heee. Menjelang akhir wawancara, Mbak Ida menanyakan asal saya.

"Magelang? Saya juga Magelang. Dimana?" ujarnya sumringah. Saya jawab di Kebonpolo, belakang pasar. Mbak Ida langsung berdiri mengajak salaman. "Saya depan pasar, kios yang jual bensin sebelum masuk ke TK YWKA," tambahnya girang.

Kegirangan Mbak Ida berlanjut setelah tahu kita sama-sama lulusan SMAN 2 Magelang. Dia angkatan 86, saya 87. Melihat saya dan Ida sumringah, Koga san heran. Akhirnya dijelaskan, jika kami berasal dari kota yang sama, kampung yang sama dan sekolah yang sama. Mbak Ida sempat tinggal di Jepang. Tiba-tiba suami, yang asli Jepang, meminta untuk hidup di Indonesia. Akhirnya menetap di Nusa Dua, Bali.

Setelah memotret, saya mau pamit. Tapi, Koga san meminta waktu lima menit untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Saya kira pertanyaan ringan, ternyata kayak sesi wawancara ahli ekonomi. Duh, kok jadi saya diwawancarai. Ada tiga pertanyaan penting. Pertama, 25 tahun ke depan Indonesia akan menjadi negara dengan perekonomian kuat. Apa pendapat Anda, yakin atau tidak?  Kedua, 25 tahun ke depan dengan kondisi ekonomi seperti itu, Anda ingin jadi apa? Ketiga, 25 tahun ke depan, budaya original Indonesia apa yang bisa dipertahankan?

Saya jawab satu per satu. dan itu perlu 15 menit sendiri. Dan uniknya, dia mencatat jawaban saya. Nggak ngerti mau ditulis dimana he heee. Pertanyaan kedua, saya jawab, 25 tahun ke depan, usia saya 75. Sudah pensiun dan ingin menjadi petani di pinggir Kali Progo. Dua pertanyaan lain saya jawab panjang lebar, tidak perlu ditulis di sini! (Grand Cemara Hotel, 25 April 2018)

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...