Malam Jumat itu Riko sengaja pulang lebih cepat dari
biasanya. Rintik hujan di stasiun diterabas. Jas hujan seharga sepuluh ribu
rupiah mampu melindungi tubuh kurusnya dari percikan air hujan.
Sesampai di rumah, ia merebahkan tubuh di sofa, persis di
depan TV yang sedang memutar acara Golden Memories. Acara yang dibenci
anak-anak Riko karena menampilkan artis lawas dengan lagu-lagu mendayu tempo
dulu. Sesuatu yang tak kekinian bagi anak-anak muda sekarang.
"Golden bangeetsss," ujar salah satu juri wanita
sambil memiringkan kepala ke pundah, diikuti seluruh penonton. Riko tersenyum.
Entah sinis atau geli dengan ulah juri itu. Suaranya mendayu-dayu, super melow.
Kadang, jadi bahan candaan tiga host. Tapi, tindakan aneh ini justru kadang
menjadi daya tarik tersendiri.
Suara bel rumah mengangetkan Riko. Hanya bersinglet, Riko
membuka pintu. "Pak, diundang ke rumah Badrun untuk pengajian," ujar
tamu tanpa merinci apa maksud dan tujuan pengajian tersebut. Riko pun tak
bertanya karena biasanya tiap malam Jumat digelar pengajian rutin. Tempatnya
berpindah-pindah. Ia berpikir, mungkin ini jatah Badrun, tetangga depan
rumahnya. Riko kembali duduk, menonton TV.
Salah satu juri pria menyanyikan lagu berjudul Preman. Suara
dan semangatnya masih sama dengan puluhan tahun silam. Serak. Hanya, nafasnya
sudah terengah-engah. Tak sehebat waktu muda.
Mau mandi masih malas. Gerimis belum juga reda. Air di
penampungan, meski tak terkena hujan langsung, pasti dingin terpapar dinginnya
angin malam. Lagi pula, acara TV menarik. Bukan karena penyanyi atau jurinya.
Tapi, penonton acara itu adalah teman-teman seangkatan saat SMA. Di antara
mereka terdapat Menik, mantan kekasihnya. Meski sudah tak muda, sisa-sia
kecantikan dan kenes Menik masih terlihat. Dia menyanyi sambil menggerakkan
tangan ke kanan kiri, mengikuti arahan floor manager. Berkerudung pink,
penampilan Menik sepuluh tahun lebih muda dari umur sebenarnya.
Riko tersenyum. Mengenang masa muda saat mereka menonton
film Warkop DKI di Magelang Theater, gedung paling keren di kota tersebut.
Sebelum nonton, mereka mampir ke Es Semanggi di dekat gedung itu. "Cepetan
mandi! Diundang pengajian kok lelet," gerutu istri Riko.
Ia tahu, bukan malas mandi yang
membuatnya marah. Tapi, penampilan centik Menik di TV yang membuatnya cemburu. "Maaf,
Pak. Sudah ditunggu. Pengajian akan dimulai," tambah tetangga sebelah yang
tiba-tiba nyelonong masuk ke rumah Riko.
Riko memilih koko putih yang masih
tampak baru karena hanya sekali dipakai saat Lebaran. Dipadu peci dan sarung
hitam, Riko tampak religius. Apalagi jenggotnya dibiarkan memanjang, meski
hanya beberapa helai.
***
Dia melangkah ke rumah Badrun. Setelah mengucapkan salam dan
menyalami seluruh tamu yang ada di teras, dia merapatkan jari-jari di depan
dada seperti orang bersalaman, lalu membungkuk ke arah tamu yang ada di ruang
dalam. Memberi hormat karena tidak mungkin menyalami semua tamu di dalam.
"Masuk dalam saja, Pak. Sini kosong," kata Badrun
sambil menggeser tempat duduknya sehingga menyisakan ruang kosong. Pemuda yang
berada di teras juga menyilakan Riko masuk. Tokoh masyarakat tak pantas duduk
bersama anak muda yang lebih banyak bercanda saat pengajian berlangsung.
Beberapa tokoh masyarakat sudah datang. Pengajian belum
dimulai, ketua RT yang sedang dalam perjalanan. "Bentar ya pak. Nunggu Pak
RT. Lagi ke sini," ujar Badrun sambil mengeluarkan rokok, makanan ringan
dan kopi. Jamaah diam. Mereka asyik merokok atau makan kacang rebus sambil
mengobrol sendiri.
"Suara Iis keren. Bajunya sopan. Kayaknya dia bakal
juara," ujar seorang jamaah mengomentari kontes penyanyi dangdut di sebuah
televisi yang sudah memasuki babak final. "Bagusan Wiwik. Cengkoknya pas
banget. Goyangannya oke," tambah jamaah lain.
Diskusi mengenai siapa yang bakal menjadi juara kontes itu
berlangsung seru. Mereka sepertinya lupa kalau diundang di acara pengajian,
bukan dukung-mendukung biduan pantura. Di tengah perdebatan seru, ketua RT
masuk teras. Semua diam, menjawab salam dilanjut bersalaman. Ketua RT duduk di
sebalah kanan Badrun.
"Berhubung Pak RT sudah datang, acara kita mulai.
Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena hanya
berkat rahmat dan karunianya kita bisa berkumpul di sini. Saya mengucapkan terima
kasih kepada jamaah  yang sudah menyempatkan diri datang ke gubug
saya,\" ujar Badrun membuka acara.
Dia berhenti sejanak, menarik nafas dalam-dalam, kemudian
melanjutkan, "Saya mengundang bapak-bapak ke sini untuk menyaksikan akad
nikah anak saya, Ratna dengan pria pilihannya, Galuh."
Jamaah diam. Kaget. Termasuk Riko. Dia Gak menduga kalau
malam ini adalah akad nikah Ratna. Tidak ada tanda-tanda ke arah situ. Di rumah
Badrun pun tak ada tetangga atau orang yang sibuk memasak. Juga tak ada tamu
jauh ataupun saudara-saudara Badrun. Tak ada juga tenda sebagai pertanda akan
berlangsungnya hajatan.
"Mungkin jamaah bertanya, ada apa saya menikahkan
Ratna? Saya tegaskan, tidak ada apa-apa. Seperti diketahui, saat ini Ratna kost
di Yogyakarta. Di sana ia memiliki teman dekat pria. Dalam Islam, kita tidak
mengenal pacaran. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa, saya ikut menanggung
dosa. Untuk mencegah itu, maka malam ini akan saya nikahkan," jelas
Badrun.
Dia kembali menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengundang Ratna
dan Galuh untuk masuk ke ruang tamu. Ratna mengenakan baju muslim warna putih,
sedangkan Galuh memakai jas dengan celana jeans. Mereka duduk di hadapan
Badrun.
"Saya mohon Pak Ustadz menjadi saksi pernikahan ini,"
ujar Badrun ke arah ustadz yang duduk tak jauh darinya. Ustadz mengangguk.
Badrun sendiri yang akan melangsungkan ijab kabul karena ia memang seorang
penghulu.
"Mana mas kawinnya, keluarkan!" kata Badrun kepada
Galuh. Galuh melepas jam yang dipakai di pergelangan tangan kanan, kemudian
memasukkannya ke dalam kotak warna putih. Badrun mengumumkan kepada jamaah,
bahwa persyaratan pernikahan sudah lengkap. Sudah ada calon mempelai, ijin
wali, saksi, mahar sehingga tinggal melangsungkan pernikahan.
Badrun menjabat tangan Galuh, disaksikan seluruh jamaah. "Saudara
Galuh bin Yahya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan gadis yang
bernama Ratna binti Badrun dengan mas kawinnya berupa jam tangan dibayar tunai,"
kata Badrun sambil menggetarkan jabat tangan agar Galuh segera menjawab. "Saya
terima nikah dan kawinnya Ratna binti Badrun dengan mas kawin yang tersebut
tunai," ujar Badrun mantap.
"Bagaimana jamaah, syah?"
seru Badrun. Seluruh jamaah menjawab serentak, "Syah." Wajah Badrun,
Galuh dan Ratna tampak lega. Kedua mempelai mengelilingi jamaah untuk
bersalaman. Kemudian ustadz diminta memberikan khotbah nikah. Ustadz yang tak
ada persiapan apapun tampak gugup. Khotbah berlangsung singkat dan padat.
***
Malam hari itu, berita pernikahan Ratna dan Galuh menyebar.
Entah melalui medsos atau dari mulut ke mulut. Yang jelas, pagi hari, ketika
mereka membeli nasi uduk untuk sarapan, berita tersebut mendapat rating paling
atas. Kasuk-kusuk. Ditambah bumbu-bumbu penyedap dari masing-masing orang.
"Kok mendadak amat sih. Jangan-jangan...," ujar
seorang ibu sambil menutup mulutnya. Pembicaraan kian seru. Selain mendadak,
pernikahan Ratna dan Galuh tak dihadiri oleh keluarga Galuh, termasuk termasuk
orang tuanya. Hampir seminggu lamanya, berita ini menjadi gosip. Makin besar dan
bermacam-macam versi. Lama-kelamaan Badrun gerah juga.
"Galuh, untuk menghentikan gosip pernikahan kalian,
Bapak minta minggu depan Galuh mengajak ibu ke sini," ujar Badrun kepada
menantunya. Selama ini, ibu Galuh tidak tahu kalau anaknya sudah menikah dengan
gadis pilihannya. Sedangkan, ayahnya, menurut tutur ibunya, menghilang saat
Galuh berusia enam bulan.
"Dia menikah lagi dengan gadis kota," kata ibu
Galuh sambil menangis saat menceritakan ayahnya. Sebenarnya Galuh belum siap
memberitahu ibu yang kini menjadi orang tua tunggal. Dia meminta Galuh
menyelesaikan studi dulu sebelum menikah. Tapi, karena mertua terus mendesak,
akhirnya Galuh memberanikan diri. Memberi tahu pernikahannya dengan Ratna dan
mengajak ibu berkunjung ke besan.
Badrun siap menyambut besan. Dia memasang tenda biru di
depan rumahnya dengan deretan kursi yang dilapisi kain putih. Dia ingin
membuktikan kepada tetangga kalau pernikahan anaknya adalah pernikahan yang
wajar. Tak hadirnya orang tua Galuh bukan berarti mereka tidak merestui
pernikahan tersebut.
Galuh dan ibunya tiba di rumah Badrun pagi hari, sekitar
pukul 05:00 WIB. Mereka duduk di ruang tamu, menunggu Badrun yang sedang mandi.
Ratna dan istri Badrun menemui Galuh. Mereka bercakap-cakap. Ibu Galuh lebih
banyak diam. Mengamati wajah istri Badrun dan Ratna.
"Bikinin teh hangat untuk ibu. Kan capai naik kereta
semalam," ujar istri Badrun, menyuruh Ratna untuk membuat teh manis hangat
bagi ibu mertua.
Ratna masuk. Tak lama kemudian ia membawa nampan berisi lima
gelas teh hangat."Silakan diminum!" ujar istri Badrun. Ibu Galuh
mengambil segelas teh, menyerutup teh hangat itu. Tubuhnya yang kedinginan
terkena AC kereta mulai sedikit hangat. Perutnya pun terasa lebih enak. Tapi,
dia masih diam. Ia syok dengan kenekadan Galuh yang menikah secara diam-diam,
tanpa memberitahu wanita yang sudah mengandung dan membesarkannya.
Di saat ibu Galuh larut dalam lamunan, masuklah Badrun ke
ruang tamu. Badrun tertegun. Memandang ibu Galuh nanar. Mulutnya terkunci. Tak
bisa berkata-kata. Ibu Galuh tersadar dari lamunan. Menatap Badrun, lalu berdiri
dan berteriak, "Badrun!!!". Tubuhnya lemas, pingsan.
Ketika tetangga berdatangan menolong ibu Galuh, Badrun
terdiam. Ratna, Galuh dan istrinya menatap Badrun tajam-tajam. Tatapan penuh
kebencian dan amarah. ***
No comments:
Post a Comment