Saturday 5 November 2016

Perempuan Siap Saji

Hampir seluruh rambut Firman berwarna keperakan, sesusai usianya yang tiga bulan lagi pensiun. Meski tak lama lagi berkantor, semangat Firman masih menyala. Datang pagi, sebelum pegawai muda berdatangan, dan pulang larut malam. Tak ada tanda-tanda mengendor.

Sayang, laporan dari bagian SDM, kinerja Firman tak lebih baik dibanding sebelumnya, biasa-biasa saja. Alasan ini yang mengurungkan niat kantor untuk memperkerjakan Firman sebagai karyawan kontrak pasca purna tugas.

"Ngopi yuk!" ajak Firman pada Ricka, teman sekantor yang usianya separo dirinya. Saat itu, sebagian karyawan sudah pulang karena jarum jam menunjukkan pukul 19:00 WIB. Mayoritas pegawai pulang sebelum atau sesudah magrib. Biasanya jam 18:30 kantor sudah sepi. Tinggal office boy dan sebagian anak IT yang memang piket malam.

Ricka tersenyum lalu berdiri. Keduanya berjalan menuju lift, masuk dan memencet lantai Ground Floor, tempat Starbucks, kedai kopi asal Amerika Serikat itu berada. "Mas, aku Green Tea Latte aja," ujar Ricka sambil memegang pundak Firman. Seperti biasa, Firman memilih Brewed Coffee meski berulang kali dokter mengingatkan Firman untuk menghindari minum kopi dengan alasan kesehatan.

"Bandel ya masih ngopi," kata Ricka sambil meremas jari Firman. Tatapan matanya beradu. Saling pandang, lalu tersenyum. Firman mencoba tenang, meski detak jantungnya bergerak lebih cepat walau belum sempat mencicip kopi hitam tersebut.

Baru kali ini Ricka berani memegang jari Firman. Tiga bulan terakhir, Firman terus yang memulai. Menggandeng tangan Ricka saat turun ke cafe. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Ricka duduk di kursi depan, di samping dirinya. Kembali membuka pintu mobil saat Ricka sampai ke apartemen sewaannya.

Selama tiga bulan tersebut, Firman memperlakukan Ricka bak putri. Namun, karena bukan ABG lagi, ia bisa melihat situasi dan kondisi. Di depan kolega, Firman tetap terlihat profesional. Hanya membicarakan urusan pekerjaan.

Urusan pribadi dimulai ketika mereka hanya berdua. Setidaknya, teman kantornya sudah pulang sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, apalagi kegaduhan. Itu pun tak mencolok. Tak ada percakapan mesra. Mereka berkomunikasi intens melalui aplikasi WA. Layaknya ABG, dalam berkomunikasi mereka juga menggunakan ikon emoji. Tanda bibir, apel atau orang tertawa. Tak ada yang tahu tingkah Firman dan Ricka, kecuali mereka berdua.

Di awal perkenalan, Ricka enggan menanggapi sapaan Firman. Lelaki ini lebih pantas menjadi ayahnya. Usia mereka terpaut jauh. Dia baru masuk kerja, sementara Firman tiga bulan lagi akan pensiun. Dua kutub yang berlawanan.

Firman pun semula tak memperhatikan Ricka. Namun karena Ricka bawahannya dan baru saja lulus kuliah, mau tidak mau, Firman harus mengajari. Membimbing membuat laporan keuangan yang benar. Memilah-milah pengeluaran dan memasukkan sesuai pos yang sudah ditentukan agar manajemen mudah melihat biaya operasional perusahaan.

Meski lulus dengan IP tinggi dan dari kampus ternama, namun Ricka belum bisa dilepas begitu saja. Sebagaimana perguruan tinggi di Indonesia, lulusannya belum siap kerja. Mereka masih dalam tahap siap latih. Jadi tetap membutuhkan supervisor dalam mengerjakan tugas sehari-hari.

Karena sering bertemu, obrolan Firman dan Ricka bukan hanya soal pekerjaan. Kadang mereka cerita masalah pribadi. Ricka yang belum mengenyam asam manis kehidupan sering menceritakan perilaku suami yang menurutnya kurang bertanggung jawab.

"Kalau temennya datang, dia bisa pergi sampai subuh. Tak memedulikan saya yang menunggu sepanjang malam di depan televisi," keluh Ricka suatu ketika. Firman mendengarkan cerita Ricka dengan seksama. Tak menyudutkan suami Ricka, tetapi juga tidak memberi saran apa-apa.

"Saya yakin, kalau dibicarakan ada jalan keluarnya. Tetapi saya heran kenapa ada pria yang membiarkan istri seperti Ricka di rumah sendirian. mau cari yang secantik apa sih?" kata Firman dengan tatapan mata tajam ke Ricka.

Tatapan yang menghujam ke ulu hati seperti ini sudah setahun sirna dari kehidupan Ricka. Badrun, suaminya, tiap pulang kerja istirahat sebentar kemudian nonton TV sambil memegang HP. Pang ..ping...pang....ping. Bunyi pesan masuk bersautan. Dan Badrun lelap dalam dunianya sendiri. Tak peduli Ricka sedang menanti sapaan dan belaian darinya.

"Minggu depan saya ke Medan. Ke kantor cabang. Ricka bisa ikut?" ujar Firman memecahkan lamunan Ricka. Firman segera melanjutkan, "Ini tugas luar kota terakhir saya. Masak Ricka gak bisa nemanin. Saya sudah mengajukan usulan ke pimpinan dan disetujui.”

Ricka terdiam. Ada sejengkal kejengkelan di sana. Buat apa bertanya kalau usulan itu sudah disetujui atasan. Katakan saja ini perintah sehingga harus dijalankan. Tidak perlu berbasa-basi. Seandainya bukan perintah pun, dia bersedia ikut. Inilah kesempatannya untuk berdua dengan Firman dan melepas kepenatan bersama Badrun.

"Nanti saya ijin ke suami dulu. Mudah-mudahan dia tidak keberatan karena sudah disetujui pimpinan," ujar Ricka dengan mata berbinar. Tangannya meraih Green Tea Latte panas di depannya. Menyerutup sambil mencuri pandang pada Firman. "Waktu muda pasti ganteng juga nih bapak," batinnya.

"Besok kabari ke saya, bisa atau tidak. Karena akan pesan tiket pesawat sekaligus booking kamar hotel," ujar Firman. Tangannya mengambil ponsel, lalu mengirim WA ke istrinya dan mengabarkan kalau minggu depan dia akan ke Medan untuk meninjau kantor cabang sehingga rencana ke Pulau Seribu bersama anak bungsunya terpaksa ditunda. Tak lama kemudian, istri Firman membalas, "Tidak apa-apa, Pa. Mama sudah bilang ke Putri. Tapi akhir bulan ini mesti ke sana."

Sehabis ngopi, seperti biasa, Firman mengantar Ricka ke apartemennya. Saat mobil berhenti, Firman memegang jari Ricka. Menatapnya tajam lalu mengecup keningnya. "Besok pagi kabari saya ya?"
Ricka terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Dia menduga Firman akan mencium bibirnya. Tetapi, kecupan di kening itu tetap membuatnya deg-degan, seperti gadis SMA yang menerima setangkai mawar dari cowok yang menembaknya.

                                                                          ***

Sebagaimana biasanya, jam 07:00 Firman sudah duduk di meja. Mengecek email yang masuk, membalas yang perlu direply, serta menghapus email yang kurang berguna seperti penawaran asuaransi, penawaran mobil sampai penawaran kartu kredit premium. "Saya bisa ikut, Pak. Sudah dapat ijin," kata Ricka setelah duduk di samping Firman.

"Oke, nanti tiket biar diurus sekretaris. Saya akan booking hotel sendiri," jawab Firman dengan mata masih menatap layar laptop. Tak sempat melihat Ricka yang tampil lebih fresh dibanding hari biasanya. Dia mengenakan blazer hitam dipadu dalaman warna pink. Terlihat lebih muda.

Firman melanjutkan browsing. Membuka situs untuk memesan kamar hotel. Dia memesan suite room hotel bintang lima.  "Ricka, lihat sini. Kita menginap di sini saja yah. Bagus pemandangannya," ujar Firman dengan sorotan mata bimbang. Takut kalau Ricka menolak menginap di suite room dan memilih kamar sendiri, terpisah dengan Firman.

Ricka melihat layar laptop Firman. Terdiam. Tak bereaksi apapun. Sebagai lelaki dengan jam terbang tinggi, Firman mengerti. Sikap diam Ricka berarti menyetujui ajakannya. 'Diam berarti setuju' adalah rumus yang umum dipakai lelaki saat tak ada jawaban dari wanita.

                                                                          ***  

Para penumpang yang terhormat. Dengan permohonan maaf, kami umumkan bahwa penerbangan malam ini terpaksa dibatalkan. Para penumpang diminta untuk bersiap-siap menuju hotel. Pihak kami akan menyediakan mobil untuk transpor ke hotel. Terima kasih," bunyi pengumuman di ruang tunggu bandara itu mengagetkan Firman dan Ricka. Mereka sudah sejam menunggu pesawat. Semula mereka mengira hanya terjadi penundaan, bukan pembatalan penerbangan.

Pembatalan penerbangan malam ini membuyarkan semua rencana Firman. Dia tak jadi menginap di suite room yang telah dipesannya. Penerbangan hari berikutnya pun pukul 09:00 WIB sehingga tiba di Medan sekitar jam 12:15.

Butuh waktu sekitar 15 menit untuk keluar dari Bandara Kualanamu (KNO), Untuk lunch dan perjalanan ke kantor cabang memerlukan waktu dua jam. Padahal, dia harus meeting mulai pukul 15:00. Nyaris tak ada waktu untuk berdua, bersama Ricka. Tiket return Medan - Jakarta pukul 22:00. Jadwal padat.

"Kesempatan hanya malam ini," gumam Firman. Matanya menerawang langit-langit, mencari inspirasi agar bisa mengajak Ricka pindah ke kamarnya. Pun, ia yakin Ricka tak keberatan karena kalau jadi menginap di Medan, toh mereka juga satu kamar.

"Untuk penumpang pria mohon naik ke bis warna biru, sedangkan penumpang perempuan bis warna putih. Kecuali pasangan suami istri," pengumuman yang membuyarkan lamunan Firman. Terpkasa, dia harus berpisah dengan Ricka. Bukan sekedar bis yang mereka tumpangi. Maskapai tersebut menyedikan gedung yang berbeda untuk pria dan wanita.

Hotel tersebut memiliki tiga gedung bertingkat. Satu gedung khusus wanita, satu gedung untuk pria dan satu lagi untuk pasutri. Security gedung akan melarang lawan jenis masuk ruangan, kecuali di gedung pasutri. Untuk menginap ke gedung pasutri harus menyerahkan fotocopy surat nikah atau minimal mempunyai alamat tinggal yang sama.


Tiba di kamar hotel, Firman merebahkan badan ke tempat tidur, tanpa melepas baju, dasi dan sepatu. Dia terbangun ketika resepsionis hotel meneleponnya atas permintaan Ricka. Mereka harus berbegas menuju bandara agar tak terlambat. *

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...