Hampir seluruh rambut Firman berwarna keperakan, sesusai usianya yang tiga bulan lagi pensiun. Meski tak lama lagi berkantor, semangat Firman masih menyala. Datang pagi, sebelum pegawai muda berdatangan, dan pulang larut malam. Tak ada tanda-tanda mengendor.
Sayang, laporan dari bagian SDM, kinerja Firman tak lebih
baik dibanding sebelumnya, biasa-biasa saja. Alasan ini yang mengurungkan niat
kantor untuk memperkerjakan Firman sebagai karyawan kontrak pasca purna tugas.
"Ngopi yuk!" ajak Firman pada Ricka, teman sekantor
yang usianya separo dirinya. Saat itu, sebagian karyawan sudah pulang karena
jarum jam menunjukkan pukul 19:00 WIB. Mayoritas pegawai pulang sebelum atau
sesudah magrib. Biasanya jam 18:30 kantor sudah sepi. Tinggal office boy dan
sebagian anak IT yang memang piket malam.
Ricka tersenyum lalu berdiri. Keduanya berjalan menuju lift,
masuk dan memencet lantai Ground Floor, tempat Starbucks, kedai kopi asal
Amerika Serikat itu berada. "Mas, aku Green Tea Latte aja," ujar Ricka sambil
memegang pundak Firman. Seperti biasa, Firman memilih Brewed Coffee meski
berulang kali dokter mengingatkan Firman untuk menghindari minum kopi dengan
alasan kesehatan.
"Bandel ya masih ngopi," kata Ricka sambil meremas
jari Firman. Tatapan matanya beradu. Saling pandang, lalu tersenyum. Firman
mencoba tenang, meski detak jantungnya bergerak lebih cepat walau belum sempat
mencicip kopi hitam tersebut.
Baru kali ini Ricka berani memegang jari Firman. Tiga bulan
terakhir, Firman terus yang memulai. Menggandeng tangan Ricka saat turun ke
cafe. Membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Ricka duduk di kursi depan, di
samping dirinya. Kembali membuka pintu mobil saat Ricka sampai ke apartemen
sewaannya.
Selama tiga bulan tersebut, Firman memperlakukan Ricka bak
putri. Namun, karena bukan ABG lagi, ia bisa melihat situasi dan kondisi. Di
depan kolega, Firman tetap terlihat profesional. Hanya membicarakan urusan
pekerjaan.
Urusan pribadi dimulai ketika mereka hanya berdua.
Setidaknya, teman kantornya sudah pulang sehingga tidak menimbulkan kecurigaan,
apalagi kegaduhan. Itu pun tak mencolok. Tak ada percakapan mesra. Mereka
berkomunikasi intens melalui aplikasi WA. Layaknya ABG, dalam berkomunikasi
mereka juga menggunakan ikon emoji. Tanda bibir, apel atau orang tertawa. Tak
ada yang tahu tingkah Firman dan Ricka, kecuali mereka berdua.
Di awal perkenalan, Ricka enggan menanggapi sapaan Firman.
Lelaki ini lebih pantas menjadi ayahnya. Usia mereka terpaut jauh. Dia baru
masuk kerja, sementara Firman tiga bulan lagi akan pensiun. Dua kutub yang
berlawanan.
Firman pun semula tak memperhatikan Ricka. Namun karena
Ricka bawahannya dan baru saja lulus kuliah, mau tidak mau, Firman harus
mengajari. Membimbing membuat laporan keuangan yang benar. Memilah-milah
pengeluaran dan memasukkan sesuai pos yang sudah ditentukan agar manajemen
mudah melihat biaya operasional perusahaan.
Meski lulus dengan IP tinggi dan dari kampus ternama, namun
Ricka belum bisa dilepas begitu saja. Sebagaimana perguruan tinggi di
Indonesia, lulusannya belum siap kerja. Mereka masih dalam tahap siap latih.
Jadi tetap membutuhkan supervisor dalam mengerjakan tugas sehari-hari.
Karena sering bertemu, obrolan Firman dan Ricka bukan hanya
soal pekerjaan. Kadang mereka cerita masalah pribadi. Ricka yang belum
mengenyam asam manis kehidupan sering menceritakan perilaku suami yang
menurutnya kurang bertanggung jawab.
"Kalau temennya datang, dia bisa pergi sampai subuh.
Tak memedulikan saya yang menunggu sepanjang malam di depan televisi,"
keluh Ricka suatu ketika. Firman mendengarkan cerita Ricka dengan seksama. Tak
menyudutkan suami Ricka, tetapi juga tidak memberi saran apa-apa.
"Saya yakin, kalau dibicarakan ada jalan keluarnya.
Tetapi saya heran kenapa ada pria yang membiarkan istri seperti Ricka di rumah
sendirian. mau cari yang secantik apa sih?" kata Firman dengan tatapan
mata tajam ke Ricka.
Tatapan yang menghujam ke ulu hati seperti ini sudah setahun
sirna dari kehidupan Ricka. Badrun, suaminya, tiap pulang kerja istirahat
sebentar kemudian nonton TV sambil memegang HP. Pang ..ping...pang....ping.
Bunyi pesan masuk bersautan. Dan Badrun lelap dalam dunianya sendiri. Tak
peduli Ricka sedang menanti sapaan dan belaian darinya.
"Minggu depan saya ke Medan. Ke kantor cabang. Ricka
bisa ikut?" ujar Firman memecahkan lamunan Ricka. Firman segera
melanjutkan, "Ini tugas luar kota terakhir saya. Masak Ricka gak bisa
nemanin. Saya sudah mengajukan usulan ke pimpinan dan disetujui.”
Ricka terdiam. Ada sejengkal kejengkelan di sana. Buat apa
bertanya kalau usulan itu sudah disetujui atasan. Katakan saja ini perintah
sehingga harus dijalankan. Tidak perlu berbasa-basi. Seandainya bukan perintah
pun, dia bersedia ikut. Inilah kesempatannya untuk berdua dengan Firman dan
melepas kepenatan bersama Badrun.
"Nanti saya ijin ke suami dulu. Mudah-mudahan dia tidak
keberatan karena sudah disetujui pimpinan," ujar Ricka dengan mata
berbinar. Tangannya meraih Green Tea Latte panas di depannya. Menyerutup sambil
mencuri pandang pada Firman. "Waktu muda pasti ganteng juga nih bapak,"
batinnya.
"Besok kabari ke saya, bisa atau tidak. Karena akan
pesan tiket pesawat sekaligus booking kamar hotel," ujar Firman. Tangannya
mengambil ponsel, lalu mengirim WA ke istrinya dan mengabarkan kalau minggu
depan dia akan ke Medan untuk meninjau kantor cabang sehingga rencana ke Pulau
Seribu bersama anak bungsunya terpaksa ditunda. Tak lama kemudian, istri Firman
membalas, "Tidak apa-apa, Pa. Mama sudah bilang ke Putri. Tapi akhir bulan
ini mesti ke sana."
Sehabis ngopi, seperti biasa, Firman mengantar Ricka ke
apartemennya. Saat mobil berhenti, Firman memegang jari Ricka. Menatapnya tajam
lalu mengecup keningnya. "Besok pagi kabari saya ya?"
Ricka terdiam. Jantungnya berdetak cepat. Dia menduga Firman
akan mencium bibirnya. Tetapi, kecupan di kening itu tetap membuatnya
deg-degan, seperti gadis SMA yang menerima setangkai mawar dari cowok yang
menembaknya.
***
Sebagaimana biasanya, jam 07:00 Firman sudah duduk di meja.
Mengecek email yang masuk, membalas yang perlu direply, serta menghapus email
yang kurang berguna seperti penawaran asuaransi, penawaran mobil sampai
penawaran kartu kredit premium. "Saya bisa ikut, Pak. Sudah dapat ijin,"
kata Ricka setelah duduk di samping Firman.
"Oke, nanti tiket biar diurus sekretaris. Saya akan
booking hotel sendiri," jawab Firman dengan mata masih menatap layar
laptop. Tak sempat melihat Ricka yang tampil lebih fresh dibanding hari
biasanya. Dia mengenakan blazer hitam dipadu dalaman warna pink. Terlihat lebih
muda.
Firman melanjutkan browsing. Membuka situs untuk memesan
kamar hotel. Dia memesan suite room hotel bintang lima. "Ricka, lihat sini. Kita menginap di
sini saja yah. Bagus pemandangannya," ujar Firman dengan sorotan mata
bimbang. Takut kalau Ricka menolak menginap di suite room dan memilih kamar
sendiri, terpisah dengan Firman.
Ricka melihat layar laptop Firman. Terdiam. Tak bereaksi
apapun. Sebagai lelaki dengan jam terbang tinggi, Firman mengerti. Sikap diam
Ricka berarti menyetujui ajakannya. 'Diam berarti setuju' adalah rumus yang
umum dipakai lelaki saat tak ada jawaban dari wanita.
***
Para penumpang yang terhormat. Dengan permohonan maaf, kami
umumkan bahwa penerbangan malam ini terpaksa dibatalkan. Para penumpang diminta
untuk bersiap-siap menuju hotel. Pihak kami akan menyediakan mobil untuk transpor
ke hotel. Terima kasih," bunyi pengumuman di ruang tunggu bandara itu
mengagetkan Firman dan Ricka. Mereka sudah sejam menunggu pesawat. Semula
mereka mengira hanya terjadi penundaan, bukan pembatalan penerbangan.
Pembatalan penerbangan malam ini membuyarkan semua rencana
Firman. Dia tak jadi menginap di suite room yang telah dipesannya. Penerbangan
hari berikutnya pun pukul 09:00 WIB sehingga tiba di Medan sekitar jam 12:15.
Butuh waktu sekitar 15 menit untuk keluar dari Bandara
Kualanamu (KNO), Untuk lunch dan perjalanan ke kantor cabang memerlukan waktu
dua jam. Padahal, dia harus meeting mulai pukul 15:00. Nyaris tak ada waktu
untuk berdua, bersama Ricka. Tiket return Medan - Jakarta pukul 22:00. Jadwal
padat.
"Kesempatan hanya malam ini," gumam Firman.
Matanya menerawang langit-langit, mencari inspirasi agar bisa mengajak Ricka
pindah ke kamarnya. Pun, ia yakin Ricka tak keberatan karena kalau jadi
menginap di Medan, toh mereka juga satu kamar.
"Untuk penumpang pria mohon naik ke bis warna biru,
sedangkan penumpang perempuan bis warna putih. Kecuali pasangan suami istri,"
pengumuman yang membuyarkan lamunan Firman. Terpkasa, dia harus berpisah dengan
Ricka. Bukan sekedar bis yang mereka tumpangi. Maskapai tersebut menyedikan
gedung yang berbeda untuk pria dan wanita.
Hotel tersebut memiliki tiga gedung bertingkat. Satu gedung
khusus wanita, satu gedung untuk pria dan satu lagi untuk pasutri. Security
gedung akan melarang lawan jenis masuk ruangan, kecuali di gedung pasutri.
Untuk menginap ke gedung pasutri harus menyerahkan fotocopy surat nikah atau
minimal mempunyai alamat tinggal yang sama.
Tiba di kamar hotel, Firman merebahkan badan ke tempat
tidur, tanpa melepas baju, dasi dan sepatu. Dia terbangun ketika resepsionis
hotel meneleponnya atas permintaan Ricka. Mereka harus berbegas menuju bandara
agar tak terlambat. *
No comments:
Post a Comment