![]() |
Foto: BBC.com |
Padepokan adalah tempat menuntut ilmu. Di padepokan terjadi
interaksi belajar mengajar antara guru dan murid. Murid dituntut menguasai isi
kitab yang diajarkan guru. Guru, sebagai penguasa kitab, Â memiliki
kekuasaan untuk menilai kemampuan empiris, pengetahuan dan budi pekerti murid.
Ini padepokan dalam arti yang sesungguhnya.
Namun berita mengenai padepokan belakangan ini sudah
melenceng. Padepokan milik Gatot Brajamusti dikabarkan sering menggelar pesta
sabu dan melakukan seks menyimpang. Gatot sendiri ditangkap saat menggelar
pesta sabu di sebuah hotel. Cek di sini!
Belum hilang ingatan kita terhadap padepokan yang dihuni
para artis ciamik pada jamannya itu, geger padepokan kembali muncul. Taat
Pribadi, pria berwajah India berusia 46 tahun, pembina Yayasan Padepokan Dimas
Kanjeng di Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dijadikan
tersangka oleh polisi dalam kasus pembunuhan dan penipuan. Hebatnya, ketua
yayasan ini adalah cendekiawan pintar, doktor lulusan AS, politisi senior,
pengurus ICMI. Sampai detik ini, ia yakin Taat diberi karomah bisa menggandakan
uang. Hebat coy!
Geger Padepokan kembali muncul dari padepokan Satrio Aji di
Kampung Serab, Sukmajaya, Depok. Pimpinan padepokan, Andi alias Aji, membunuh
dua muridnya dengan kopi maut sianida. Aji mengaku bisa menggandakan emas dan
uang. Mantap! Cek di sini.
Padepokan Gatot dan Dimas menggegerkan. Gatot sangat cerdas.
Dia mendapatkan segalanya: uang, nafsu, serta kenikmatan. Dimas hanya
mendapatkan uang. Dia tidak bisa menikmati kemolekan tubuh muridnya karena
pengikutnya kebanyakan pejabat dan sudah tua.
Mengapa Dimas bisa mengumpulkan ribuan murid, di antaranya
para pejabat dan pengusaha. Simak pendapat ahli di sini dan ini. Intinya, masyarakat kita terbiasa dengan jalan pintas. Cepat
mencapai tujuan dengan jalan gampang. Mbahmu kuwi!!!
Kenyataannya memang demikian. Hampir semua orang ingin jalan
pintas. Motor melawan arah, naik trotoar. Kalau diingatkan malah marah-marah.
Sudah salah, galak pula. Bukan hanya motor, mobil pun melawan arah meski
mengakibatkan kecelakaan.
Mau cari sekolah, pakai nyogok. Bukan kemauan anaknya. Tapi
nafsu orangtua agar anaknya diterima disekolah favorit. Ini artinya, orangtua yang
mendidik anaknya untuk cari jalan pintas. Meski tahu salah, tetap dilakukan. Setelah lulus sekolah, cari kerja pakai nyogok lagi. Sekarang lagi berkurang suap masuk PNS wong penerimaannya dibatasi.
Kalau jadi pejabat, karena cari sekolah dan masuk kerjanya
nyogok, maka korupsi. Ketangkap. Sogok jaksa dan hakim agar dapat hukuman
ringan. Nah, kalau jadi politisi. Tetap juga cari sogokan. Mengumpulkan
modal untuk maju pemilu berikutnya. Dari pada pusing mikirin program, bagi uang
kepada calon pemilih. Toh, rakyat juga yang menghendari pembagian duit. Kalau
tidak bagi duit, tidak dipilih.
Bayangkan, dari mana kita mengurai problem kusut jalan
pintas di negeri ini. Semua menyukai, membutuhkan dan melakukannya.
Meski demikian, PADEPOKAN menawarkan jalan pintas yang
religius. Murid padepokan, entah disebut santri atau apapun namanya, lebih
diterima masyarakat karena dianggap menjalankan perintah Tuhan. Apalagi, mereka
memakai simbol-simbol religius. Guru padepokan juga membaca doa-doa seperti
dalam kitab suci, meski kadang dimodifikasi sesuai selera. Dengan kedok agama
ini, padepokan lebih mudah menyusup ke masyarakat, menawarkan jalan pintas yang
tidak berdosa. Walaupun sejatinya sama saja dengan jalan sesat di tempat lain.
Kemasan saja yang diubah dengan bungkus religius. Waspada!!! ***
No comments:
Post a Comment