"Asu tenan kok sutradarane. Arep adegan perang seru malah
kon goro-goro. Aku ora seneng kon dadi Yudistira. Yudistira ora duwe nafsu. Lha
aku weruh wedhus dibedaki nafsu. Weruh wong lanang nganggo rok, nafsu. Mending
duwe nafsu iso nyalon gubernur DKI. Bisakah manusia hidup tanpa hasrat,
nafsu dan gairah?" tanya Yudistira - yang diperankan Gunawan Maryanto- kepada
penonton sesaat sebelum Perang Kurusetra pecah.
Penonton yang dari tadi terdiam dan menyimak gerak tari
serta dialog campuran bahasa Jawa, Jepang, Tiongkok, dan Tagalog tertawa.
Suasana menjadi cair. Sebelumnya, penonton terbawa ritme serius pementasan ini
yang lebih banyak mengeksplorasi gerak dan ekspresi wajah dibanding dialog.
![]() |
Gunawan Maryanto |
Sehabis pementasan, di belakang panggung, saya sempat
wawancara dengan Wangi Indriya, penari topeng asal Indramayu yang memerankan
Kunti, Kripa, Amba dan Srikandi. Jangan kaget, pentas ini hanya melibatkan
sembilan artis peran. Tapi, satu orang memerankan beberapa tokoh. Misal, Carlon
Matobato dari Filipina menjadi Kresna, Karna dan Kartamarma. Koyano Tetsuro
(Jepang) menjadi Bima dan Bisma. Gunawan Maryanto menjadi Yudistira, Sanjaya
dan Durna.
Untuk berganti peran, mereka berganti kostum yang diletakkan
di bagian belakang panggung. Kadang, mereka cukup memakai topeng. Singkat dan
praktis.
Karena memakai berbagai bahasa, maka di layar belakang
panggung terpampang teks terjemahan dari apa yang dikatakan pemain. Menurut
Wangi, sutradara asal Jepang Koike Hiroshi menekankan agar pemain ekspresif
dalam berdialog sehingga meminta pemain berbicara dengan bahasanya sendiri. "Saya
harus menerjemahkan ke bahasa Jawa Indramayuan," katanya.
Meski mereka berbicara dalam berbagai bahasa, namun penonton
bisa menangkap makna yang tersirat berkat ekspresi wajah pemain. Intonasi dan
mimik bisa menunjukkan apakah mereka sedang marah, sedih atau senang.
![]() |
Wangi Indriya, penari topeng |
Percakapan pun berjalan lancar. Sahut-sahutan seperti mereka
saling mengerti arti kata yang diucapkan lawan bicaranya. Padahal, belum tentu
demikian. Wangi mengaku tak bisa berbicara bahasa Inggris, apalagi Tagalog dan
Jepang.
Perang digambarkan dengan properti bendera dari
masing-masing pasukan. Tunggangan kuda dan gajah. Arjuna mengusung busur
raksasa, sementara Pandawa dan Kurawa lainnya membawa tombak atau gada.
Pertumpahan darah digambarkan dengan kain panjang berwarna
merah. Sementara, kain biru berfungsi sebagai simbol air atau laut yang
bergemuruh. Permainan simbolik ini membawa kesan tersendiri. Apalagi, musik dan
tata cahaya dalam pertunjukan ini mewakili situasi yang digambarkan.
Kesan eksperimen sangat terasa dalam pementasan Hiroshi
Koike Bridge Project (HKBP). Koike yakin seni budaya dapat melintasi batas waktu
dan negara.
Berangkat dari pemikiran itu, ia melibatkan sembilan pemain
dari latar belakang berbeda, dari empat negara, yakni Indonesia, Jepang,
Malaysia, dan Filipina. Masing-masing menyampaikan dialognya lewat bahasa
masing-masing.
Para pemain tersebut yakni Gunawan Maryanto, Suryo Purnomo,
Riyo Tulus Pernando, Sandhidea Cahyo Narpati, dan Wangi Indriya dari Indonesia.
Empat lainnya yakni Carlon Matobato dari Filipina, Koyano Tetsuro dan Shirai
Sachiko dari Jepang, dan Lee Swee Keong dari Malaysia.
Untuk pertunjukan teater Mahabharata ini, HKBP menciptakan
versinya sendiri atas epos tersebut. Â Pementasan Mahabharata dibagi dalam
lima bagian, lalu mengelompokkannya dalam dua bagian besar, yakni bagian
pertama dan bagian akhir atau later part.
Sebelumnya Mahabharata Part 1 sudah diproduksi dan
dipertunjukan di Kamboja pada tahun 2013 lalu. Pada tahun 2014, Mahabharata
Part 2 ditampilkan di India dan Indonesia, sedangkan Mahabharata Part 2.5
(B-War) diproduksi di Jepang.
Selanjutnya, serial Mahabharata ini akan dibawa ke Thailand
pada 2017 dengan menampilkan kisah Mahabharata Part 4. Setahun kemudian, akan
hadir Mahabharata the First Part di Malaysia dan Mahabharata the Later Part di
India pada tahun 2019 mendatang. Puncaknya pada 2020 bertepatan dengan
Olimpiade Tokyo, Jepang, kisah Mahabharata secara utuh akan dipentaskan keliling
dunia. (Foto: Joko Harismoyo)*
No comments:
Post a Comment