Beberapa kali mengunjungi Taman Buah Mekarsari, saya tak
bisa leluasa melihat aneka buah yang ada karena padatnya pengunjung. Selasa
(16/8/2016) saya bertandang ke sana sebagai seorang jurnalis. Tentu, saya
dipandu untuk melihat seluruh isi taman.
Kedatangan saya ke jalan Cilengsi, Bogor, Jawa Barat kali
ini sebenarnya untuk memotret obyek yang akan dijadikan cover tabloid. Jadi,
mata saya lebih banyak melihat buah dan tanaman dibanding mendengarkan
penjelasan dari Fransis E Kerong, Operational Manager Mekarsari serta staf
marketing (Firman) dan riset (Riris).
Walau demikian, ketika menengok kebun buah, saya banyak
bertanya dan mendengar, dibanding saat saya berada di kontor (gedung air
terjun).
Tempat pertama yang dituju adalah kebun melon. Ada beberapa
green house berisi tanaman melon dalam pot. Buah melon yang berwarna hijau
kekuningan itu tak terlalu besar, namun sudah cukup matang untuk dipetik
sekaligus dimakan.
Mata saya tertuju pada melon berbentuk hati (LOVE). Ini
mirip petani di Jepang yang membentuk melon atau semangka menjadi segi tiga
atau bujur sangkar. Sebenarnya, tak sulit membentuknya. Kita hanya perlu
cetakan, lalu memasangnya ketika melon sedang berbunga. Bentuk melon akan
menyesuaikan dengan cetakan tersebut.
"Banyak yang membeli melon ini untuk lamaran. Harganya
Rp50.000," ujar Riris yang mendampingi kami keliling Mekarsari. Ia
menambahkan, bisa juga orang memesan bentuk khusus, misalnya huruf tertentu.
Setelah melihat-lihat melon, penjaga mengupas dan menyodorkan
kepada saya untuk mencicipi. Rasanya lebih juicy dan manis dibanding melon yang
ada di pasar. Maklum, tanaman di sini semua memakai pupuk organik.
Selesai mengunjungi kebun melon, saya menuju ke kebun salak.
Meski melewati kebun buah lain, seperti komplek nangka, durian, mangga, jambu,
dan lain-lain, kami tak mampir mengingat keterbatasan waktu.
Mata saya tertuju kepada salak berwarna kemerahan dan tanpa
duri kecil di kulitnya. Namanya salak affinis (salacca affinis). Meski buahnya
tak berduri, tetapi pohonnya sama dengan salak lainnya, tetap berduri. Buah
salak pun menempel di pohon.
Lalu, saya dibawa ke pohon salak kurang duri (salacca
valacca). Pohon salah sudah tidak berduri. Buahnya pun tak menempel di pohon.
Ada batang menyembul dari pohon dan salak menempel di batang sembulan itu.
Lebih mudah memetiknya. Sayang, buah salak masih berduri lembut.
"Sekarang kami sedang menyilangkan salak affinis dengan
salak kurang duri. Diharapkan, akan muncul varietas baru di mana pohon dan
salak tidak berduri sama sekali," ujar Riris menjelaskan sambil
menyodorkan salak bali untuk dicicipi. Rasanya manis, dagingnya tebal dan tak
ada rasa sepet, seperti salak bali pada umumnya.
Dari kebun salak, kami melanjutkan ke kebun buah langka. Di
meja display, terdapat buah dewandaru, duwet (jamblang), gayam, kepel, matoa,
maja, dan lain-lain. Di sini saya baru tahu kalau kluwak adah biji dari buah
picung (pangium edule).
Perjalanan berikutnya ke kebun sawo. Jenis-jenis sawo dijual
di tempat ini. Ada sawo kecik, sawo apel, sawo duren, sawo manila, sawo
australia dan sawo raksasa. Sawo manila adalah sawo yang biasa kita makan dan
banyak beredar di pasar. Bentuknya kecil, lebih kecil dari genggam tangan.
Bandingkan dengan sawo raksasa, yang konon berasal dari
Amerika. Buahnya sebesar melon atau sama dengan kepala anak TK. Jauh lebih gede
dibanding salak manila.
Terakhir, saya mengunjungi kebun belimbing. Pohon belimbing
dibuat pendek dengan terus memotong batang agar tak naik. "Biar mudah
bungkus dan metiknya," ujar Riris. Di sini, dijual belimbing segar berikut
hasil olahannya, ada manisan dan dodol belimbing.
Mengingat matahari sudah di atas kepala, kunjungan pun
diakhiri. Mengunjungi Mekarsari di hari kerja ternyata lebih enak, bisa
mengelilingi seluruh kebun dengan mobil Mitsubishi L300 yang disulap menjadi
mobil wisata. Tak perlu antre dan nunggu lama.
No comments:
Post a Comment