Wednesday 1 April 2020

Imajinatifnya para netizen


Generasi tua, kayak kamu, yang dibesarkan dengan sandiwara radio Saur Sepuh, buku stensilan tanpa cerita, dan mendegarkan pertandingan sepakbola melalui radio, pasti memiliki imajinasi yang lebih tinggi dibanding generasi milenial.
Bisa menggambarkan kegantengan Brama Kumbara, tanpa pernah melihat sosoknya, bahkan fotonya sekalipun. Dapat melukiskan raut wajah serem Mak Lampir, meski belum pernah bertatapan. Bahkan, Mak Lampir bisa hadir dalam mimpi jika sedang kelelahan. Sungguh menyeramkan.
Pertandingan sepakbola pun sungguh amat seru. Saling serang meski berujung tanpa gol. “Subangkit berhasil merebut bola dari lawan. Menggiring bola, meliuk-liuk melewati dua pemain tengah Fiji. Berputar-putar sambil melihat teman. Bola ditendang ke arah Bambang Nurdiansyah. Bambang menghentikan laju bola dengan dada, menggocek dengan kaki kiri, melewati tiga pemain lawan. Mengecoh bek belakang Fiji yang mencoba menebas kakinya. Langsung mengoper kepada Rully Nere yang berdiri bebas di sisi kiri pertahanan lawan. Bola langsung ditembak ke arah gawang. Sayang, hanya beberapa senti di atas mistar gawang.”
Rentetan 73 kata itu diucapkan dalam sekejap dengan latar suara penonton yang riuh. Bayangan kamu pasti pertandingan sungguh seru. Serangan yang maha hebat. Dan kegagalan mencetak gol pun hanya sebuah kesialan, karena beberapa senti di atas mistar. Benarkah demikian? Walahualam, wong kamu enggak lihat langsung. Tergantung komentatornya yang bicara dan membangun imej.
Komentator ini berbicara sangat cepat. Jika pada umumnya orang berbicara 125-150 kata per menit, Sutopo JK dalam buku Menuju Teknik Liputan yang Sangkil meminta komentator berbicara lebih cepat dari biasanya. Sayang saya gagal mengingat berapa kata yang diminta oleh Pak Dosen ini untuk menjadi komentator teladan.
Kalimat cepat ini membangun imej pertandingan berlangsung seru. Saling rebut, saling serang. Padahal, belum tentu pertandingan berlangsung seperti dalam imajinasi para pendengar.
Apesnya, para pendegar radio yang suka membangun imej itu, kini menjadi netizen. Mereka suka bericara cepat, mengupload status maha dahsyat tentang dunia politik. Seakan-akan dunia akan kiamat jika pemerintah tak bertindak sesuai keinginannya. Padahal, belum tentu imej yang dibangun netizen yang bermutasi di dua kubu itu benar adanya. Tapi, kedua kubu meyakini itu sebuah kebenaran dan harus dipertahankan di tengah-tengah wabah Covid-19 yang siap melahap mereka. Moga-moga, Covid-19 yang hanya beberapa senti di depan mulutnya tak jadi masuk. “Sayang, Covid-19 melebar di sisi kiri mulutnya,” ujang sang komentator.


No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...