Generasi tua, kayak kamu, yang dibesarkan dengan
sandiwara radio Saur Sepuh, buku stensilan tanpa cerita, dan mendegarkan
pertandingan sepakbola melalui radio, pasti memiliki imajinasi yang lebih
tinggi dibanding generasi milenial.
Bisa menggambarkan kegantengan Brama Kumbara, tanpa
pernah melihat sosoknya, bahkan fotonya sekalipun. Dapat melukiskan raut wajah
serem Mak Lampir, meski belum pernah bertatapan. Bahkan, Mak Lampir bisa hadir
dalam mimpi jika sedang kelelahan. Sungguh menyeramkan.
Pertandingan sepakbola pun sungguh amat seru. Saling
serang meski berujung tanpa gol. “Subangkit berhasil merebut bola dari lawan.
Menggiring bola, meliuk-liuk melewati dua pemain tengah Fiji. Berputar-putar
sambil melihat teman. Bola ditendang ke arah Bambang Nurdiansyah. Bambang
menghentikan laju bola dengan dada, menggocek dengan kaki kiri, melewati tiga
pemain lawan. Mengecoh bek belakang Fiji yang mencoba menebas kakinya. Langsung
mengoper kepada Rully Nere yang berdiri bebas di sisi kiri pertahanan lawan.
Bola langsung ditembak ke arah gawang. Sayang, hanya beberapa senti di atas
mistar gawang.”
Rentetan 73 kata itu diucapkan dalam sekejap dengan latar
suara penonton yang riuh. Bayangan kamu pasti pertandingan sungguh seru.
Serangan yang maha hebat. Dan kegagalan mencetak gol pun hanya sebuah kesialan,
karena beberapa senti di atas mistar. Benarkah demikian? Walahualam, wong kamu
enggak lihat langsung. Tergantung komentatornya yang bicara dan membangun imej.
Komentator ini berbicara sangat cepat. Jika pada umumnya
orang berbicara 125-150 kata per menit, Sutopo JK dalam buku Menuju Teknik
Liputan yang Sangkil meminta komentator berbicara lebih cepat dari biasanya.
Sayang saya gagal mengingat berapa kata yang diminta oleh Pak Dosen ini untuk
menjadi komentator teladan.
Kalimat cepat ini membangun imej pertandingan berlangsung
seru. Saling rebut, saling serang. Padahal, belum tentu pertandingan
berlangsung seperti dalam imajinasi para pendengar.
Apesnya, para pendegar radio yang suka membangun imej
itu, kini menjadi netizen. Mereka suka bericara cepat, mengupload status maha
dahsyat tentang dunia politik. Seakan-akan dunia akan kiamat jika pemerintah
tak bertindak sesuai keinginannya. Padahal, belum tentu imej yang dibangun
netizen yang bermutasi di dua kubu itu benar adanya. Tapi, kedua kubu meyakini
itu sebuah kebenaran dan harus dipertahankan di tengah-tengah wabah Covid-19
yang siap melahap mereka. Moga-moga, Covid-19 yang hanya beberapa senti di
depan mulutnya tak jadi masuk. “Sayang, Covid-19 melebar di sisi kiri mulutnya,”
ujang sang komentator.
No comments:
Post a Comment