Saturday 6 July 2019

Mendesak, Pendidikan Etika Naik Transportasi Publik


Hari ini, Sabtu 6 Juli 2019 saya naik kereta ke Manggarai, nganter si kecil ke dokter gigi langganannya. Praktik dokter gigi itu tak jauh dari Stasiun Manggarai sehingga lebih praktis naik kereta. Tinggal naik Bajaj atau jalan kaki ke TKP yang berjarak sekitar 1 km.


Berkereta di saat liburan sekolah sering menemui banyak kejadian aneh bin ajaib. Saya tak tertarik bahas yang nyleneh di kereta. Tetapi kejadian siang tadi menarik untuk ditulis karena menyangkut moral bangsa ke depan.

Dalam perjalanan pulang, saya naik kereta api dari Manggarai (Jaksel) menuju Stasiun Depok. Di Manggarai tempat duduk sudah habis. Hal biasa yang saya alami ketika berangkat dan pulang kerja.

Di Stasiun Tebet, penumpang bertambah. Terlihat seorang ibu muda sedang hamil. Penumpang pria memintakan kursi ke anak- anak SD yang duduk di kursi prioritas. Salah satu anak yang dari tadi bermain game di HP berdiri. Si mbak hamil pun duduk di pojok.

Tak selang lama, seorang ibu mengbampiri anak-anak tadi. "Bego banget sih mau berdiri," semprot si ibu.

Beberapa penumpang menjelaskan kalau kursi prioritas diperuntukkan untuk orang lansia, ibu hamil atau ibu yang bepergian dengan anak kecil. Anak-anak SD itu, tentu tak masuk salah satu kriteria di atas. Emak itu tak menjawab penjelasan penumpang lain. Namun ia masih menggerutu terus.

Tak tahan dengan gerutuan emak-emak setengah baya itu, mbak hamil pun memilih berdiri meski beberapa penumpang menyarankan untuk bertahan di kursi itu. "Sudah enggak apa-apa, saya berdiri saja," ujarnya sambil beranjak, memilih berdiri di seberang kursi prioritas yang tak ada tempat duduknya.

Penumpang lain mencoba mencarikan tempat duduk di gerbang sebelahnya tetapi penuh. Si mbak yang mengaku sedikit pusing itupun tetap berdiri. Sayang, saat hari libur, jumlah security lebih sedikit sehingga si mbak terus berdiri sampai saya turun di Depok.

Bagaimana dengan anak-anak SD yang mendapat pengawalan dari emak-emak heroik tadi? Mereka asyik bermain game di HP. Tak peduli, di depannya, berdiri juga bocah kecil berusia sekitar 2-3 tahun yang berpegangan ke tangan ibu dan bapaknya. Sejatinya, anak inipun lebih layak duduk di kursi itu.

Mengapa anak-anak itu tak peduli dan empati pada orang lain? Karena ajaran EMAK-nya. Dia yang memberi dukungan pada anaknya untuk tetap duduk meski itu bukan haknya. Untuk menegur emak-emak macam gini, pria mantan preman pun malas. Ogah ribut dengan emak-emak yang kehilangan akal sehat dan nurani. Emak model gini nih yang sering dimanfaatkan oleh politisi busuk untuk menggapai cita-citanya.

Untuk membangun empati dan etika di kalangan anak-anak, sudah sepantasnya pendidikan etika naik transportasi umum diberikan sejak masih TK. Mereka diajarkan bagaimana etika naik kendaraan umum, termasuk bagaimana menjaga kebersihan, ketenangan dan kenyamanan penumpang lain. Bukan model yang mengharapkan pengertian orang lain tanpa peduli situasi sekitarnya dengan dalih anak-anak.

Ayo pak menteri pendidikan, urus hal-hal begini, di samping zonasi yang bikin gaduh wkk wkk wkkk.

1 comment:

  1. Pagi ini, Senin 8 Jul, saya bertemu dengan anak kecil yang baik hati. Anak berusia sekitar 7 thn dan 3 thin itu naik kereta bersama kedua ortu. Dia diberi kursi oleh penumpang dewasa. Tapi ketika ada lansia naik, kedua anak itu langsung berdiri memberikan tempat duduknya.

    ReplyDelete

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...