![]() |
Memasak Kopi di atas tungku |
Nasehat dokter untuk mengurangi minum kopi terpaksa saya langgar, ketika hari pertama saya singgah di Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Aroma kopi di “Kota 1001 Warung Kopi” ini sungguh menggoda dibanding mendengarkan saran dokter penyakit dalam.
Apalagi siang itu hujan deras disertai angin kencang
menghujam Belitung. Saya meminta Pak Pandi, guide sakaligus sopir kami selama
berada di sana, untuk menepi mencari warung kopi sambil menunggu waktu sholat
Jumat. Dia pun mencari warkop di dekat Masjid Agung Darussalam, Manggar, BelTim.
![]() |
Berdiri sejak 1943 |
Dari deratan warkop, Pak Pandi membelokkan kami ke Millenium
Coffe. Warung kopi yang luas dan ramai. Kami, saya dan istri, memesan Kopi O
(kopi kosong (O) tanpa susu alias kopi hitam), sementara anak-anak meminta teh
susu. Sebulan lebih saya yang tak menyentuh kopi hitam, langsung menyeruput
kopi sambil menikmati pisang dan singkong goreng. Paduan pas. Kopi pahit dan
pisang goreng nan manis. Beberapa pengunjung ngopi sambil main catur. Sayang,
saya harus cepat-cepat menyeruput kopi karena adzan sudah berkumandang.
Sebelum kami pergi, pemilik warung menghampiri kami dan
menanyakan apakah kami dari Jakarta. Kemudian dia meminta ijin untuk memotret. “Untuk
dokumentasi,” ujarnya. Padahal, di warkop yang belum berdiri lama itu saya tak
memotret apapun, baik kopi maupun suasana kafenya.
![]() |
Kopi di Kong Djie |
Di hari kedua, ketika mengunjungi Pulau Kepayang, saya
menghindari minum kopi meski rumah makan menyediakan kopi gratis untuk
pengunjung. Aroma kopi di depan istri tak mengusik hasrat saya. Kali ini, saya
bisa mengikuti nasehat dokter.
Hari ketiga (20 Desember 2015), Pak Pandi menawari saya untuk singgah di warung
kopi Kong Djie. Konon, warung ini amat tersohor di Belitung. Kami pun menuju ke
warung yang terletak di sudut jalan di depan gereja Regina Pacis dan tepat di
pinggir jalan raya yang menghubungkan Tugu Batu Satam dan Pantai Tanjung
Pendam. Suasana Kong Djie pagi itu ramai. Menurut Pak Pandi, warung ini tidak
pernah sepi pengunjung dari mulai buka pukul 05:00 hingga 16:00 WIB.
Setelah masuk, salah seorang penjaga warung, seorang nenek,
menyodori menu. Kali ini kami memilih kopi susu, dan dua anak saya, kembali
terpikat teh susu. Padahal, anak sulung saya penggemar kopi hitam. Tapi, teh
susu Belitung Timur rupanya memiliki rasa khas yang jarang ditemukan di tempat
lain.
![]() |
Penuh pengunjung |
Sekitar lima menit, pesanan kami datang, dua teh susu dan
dua kopi susu, dibarengi sekaleng susu Omela. “Kalau kurang manis, tambah susu
sendiri,” ujar penjaga warung itu. Saya tak buru-buru mengaduk kopi agar
bercampur dengan susu. Saya menyeruput kopi hitam murni yang ada di bagian
atas. Hmm, pahitnya pas. Mantap! Hanya sayang, kopi yang ada di depan saya,
panasnya kurang maksimal. Mungkin kurang dari 90 derajat Celcius sehingga
sensasi meniup kopi menjadi berkurang.
“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” (Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade).
Menurut Pak Pandi, generasi pertama Kong Djie adalah warga
Tiongha Lampung. Mereka mencampur kopi Lampung dan Kopi Manggar. Tetapi
beberapa bloger menyebut kopi di sini adalah campuran kopi robusta dan arabica
sehingga menebar aroma sedap dan rasa lezat. Saya sendiri tak ada waktu untuk
mengkonfirmasi kabar tersebut kepada pemilik warung saat ini, Om Joni.
![]() |
Tampak luar |
Warung yang berdiri sejak 1940-an itu selalu ramai. Saya tak
tahu Kong Djie berdiri tahun berapa. Di atas tungku arang untuk memasak kopi,
terdapat spanduk bertuliskan “Berdiri Sejak 1943.” Huruf S-nya luntur sehingga
terbaca ejak. Namun, di spanduk sisi lain yang dibuat oleh sponsor (Omela),
tertulis berdiri sejak 1945. Saya tak berminat menanyakan keganjilan ini karena
saya bukan jurnalis yang tengah mencari kebenaran fakta. Saya pelancong yang
ingin menikmati keindahan alam dan kelezatan kuliner.
Selain minuman, ada juga menu makanan berupa mie goreng, mie
rebus, telor setengah matang dan kue seperti donat, getuk, dan lain-lain. Istri
dan anak sempat mencicipi kue-kue itu tetapi saya tak sempat mencolek sehingga
tak bisa memberi komentar apapun. (*)
No comments:
Post a Comment