Friday 25 December 2015

Sensasi Kopi Kong Djie


Memasak Kopi di atas tungku

Nasehat dokter untuk mengurangi minum kopi terpaksa saya langgar, ketika hari pertama saya singgah di Belitung, Provinsi Bangka Belitung. Aroma kopi di “Kota 1001 Warung Kopi” ini sungguh menggoda dibanding mendengarkan saran dokter penyakit dalam.

Apalagi siang itu hujan deras disertai angin kencang menghujam Belitung. Saya meminta Pak Pandi, guide sakaligus sopir kami selama berada di sana, untuk menepi mencari warung kopi sambil menunggu waktu sholat Jumat. Dia pun mencari warkop di dekat Masjid Agung Darussalam, Manggar, BelTim.

Berdiri sejak 1943
Dari deratan warkop, Pak Pandi membelokkan kami ke Millenium Coffe. Warung kopi yang luas dan ramai. Kami, saya dan istri, memesan Kopi O (kopi kosong (O) tanpa susu alias kopi hitam), sementara anak-anak meminta teh susu. Sebulan lebih saya yang tak menyentuh kopi hitam, langsung menyeruput kopi sambil menikmati pisang dan singkong goreng. Paduan pas. Kopi pahit dan pisang goreng nan manis. Beberapa pengunjung ngopi sambil main catur. Sayang, saya harus cepat-cepat menyeruput kopi karena adzan sudah berkumandang.

Sebelum kami pergi, pemilik warung menghampiri kami dan menanyakan apakah kami dari Jakarta. Kemudian dia meminta ijin untuk memotret. “Untuk dokumentasi,” ujarnya. Padahal, di warkop yang belum berdiri lama itu saya tak memotret apapun, baik kopi maupun suasana kafenya.

Kopi di Kong Djie
Di hari kedua, ketika mengunjungi Pulau Kepayang, saya menghindari minum kopi meski rumah makan menyediakan kopi gratis untuk pengunjung. Aroma kopi di depan istri tak mengusik hasrat saya. Kali ini, saya bisa mengikuti nasehat dokter.

Hari ketiga (20 Desember 2015), Pak Pandi menawari saya untuk singgah di warung kopi Kong Djie. Konon, warung ini amat tersohor di Belitung. Kami pun menuju ke warung yang terletak di sudut jalan di depan gereja Regina Pacis dan tepat di pinggir jalan raya yang menghubungkan Tugu Batu Satam dan Pantai Tanjung Pendam. Suasana Kong Djie pagi itu ramai. Menurut Pak Pandi, warung ini tidak pernah sepi pengunjung dari mulai buka pukul 05:00 hingga 16:00 WIB.

Setelah masuk, salah seorang penjaga warung, seorang nenek, menyodori menu. Kali ini kami memilih kopi susu, dan dua anak saya, kembali terpikat teh susu. Padahal, anak sulung saya penggemar kopi hitam. Tapi, teh susu Belitung Timur rupanya memiliki rasa khas yang jarang ditemukan di tempat lain.

Penuh pengunjung
Sekitar lima menit, pesanan kami datang, dua teh susu dan dua kopi susu, dibarengi sekaleng susu Omela. “Kalau kurang manis, tambah susu sendiri,” ujar penjaga warung itu. Saya tak buru-buru mengaduk kopi agar bercampur dengan susu. Saya menyeruput kopi hitam murni yang ada di bagian atas. Hmm, pahitnya pas. Mantap! Hanya sayang, kopi yang ada di depan saya, panasnya kurang maksimal. Mungkin kurang dari 90 derajat Celcius sehingga sensasi meniup kopi menjadi berkurang.

“Kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan.” (Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade).


Menurut Pak Pandi, generasi pertama Kong Djie adalah warga Tiongha Lampung. Mereka mencampur kopi Lampung dan Kopi Manggar. Tetapi beberapa bloger menyebut kopi di sini adalah campuran kopi robusta dan arabica sehingga menebar aroma sedap dan rasa lezat. Saya sendiri tak ada waktu untuk mengkonfirmasi kabar tersebut kepada pemilik warung saat ini, Om Joni.

Tampak luar
Warung yang berdiri sejak 1940-an itu selalu ramai. Saya tak tahu Kong Djie berdiri tahun berapa. Di atas tungku arang untuk memasak kopi, terdapat spanduk bertuliskan “Berdiri Sejak 1943.” Huruf S-nya luntur sehingga terbaca ejak. Namun, di spanduk sisi lain yang dibuat oleh sponsor (Omela), tertulis berdiri sejak 1945. Saya tak berminat menanyakan keganjilan ini karena saya bukan jurnalis yang tengah mencari kebenaran fakta. Saya pelancong yang ingin menikmati keindahan alam dan kelezatan kuliner.


Selain minuman, ada juga menu makanan berupa mie goreng, mie rebus, telor setengah matang dan kue seperti donat, getuk, dan lain-lain. Istri dan anak sempat mencicipi kue-kue itu tetapi saya tak sempat mencolek sehingga tak bisa memberi komentar apapun. (*)

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...