![]() |
Ilustrasi: Detik |
Ketika Tempo melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada sejumlah jurnalisnya dengan pesangon yang dianggap belum memenuhi hak-hak karyawan seperti dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, netizen mulai ramai. Menuding media ini hanya jarkoni, kata orang Jawa. Iso ngajar, ora iso nglakoni. Bisa mengatakan, tetapi tidak bisa menjalankannya.
Saya tak tertarik mengomentari besarnya pesangon yang diberikan oleh sejumlah perusahaan pers di Indonesia yang umumnya memang di bawah standar. Namun, saya mulai tergelitik dengan sejumlah orang yang mulai menggiring opini dengan mengatakan media ini sebagai lembaga yang tak layak dipercaya (kareka jarkoni) sehingga mempertanyakan apa yang ditulisnya.
Saya lebih tertarik membahasnya dari sudut pandang teori komunikasi. Menurut Keith Davis Communication is a process of passing information and understanding from one person to another. John Adair mengatakan Communication is essentially the ability of one person to make contact with another and make himself or herself understood. Sedangkan, William Newman dan Charles Summer menyebut, Communication is an exchange of ideas, facts, opinions or emotions of two or more persons.
Dalam perkembangannya, definisi komunikasi menyebut respon dari penerima pesan sebagai bentuk dari komuniasi dua arah, bukan searah seperti pada definsi awal komunikasi. Dari definisi itu setidaknya ada beberapa elemen penting dalam komunikasi yaitu: Komunikator, pesan, media, penerima pesan, dan respon. Kalau disingkat, ada tiga hal penting: pengirim, pesan, dan penerima.
Terkait dengan Tempo, media ini bisa dikategorikan sebagai pengirim pesan. Pihak yang menyampaikan pesan-pesan, dalam hal ini berita, kepada khalayak. Medianya bisa berupa koran, majalah, serta media sosial miliknya.
Sejauh ini, tulisan dan berita Tempo memang membuat gerah sejumlah pihak. Apalagi, sempat menyerukan pembangkangan sosial terkait dengan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Kasus PHK-pun menjadi senjata ampuh untuk menggiring opini seakan-akan apa yang disampaikan Tempo kurang valid. Sebagai lembaga jarkoni, tak layak menyuarakan hak-hak buruh. Tak pantas pula mengritik kebijakan yang tak memihak rakyat. Bagi saya, ini membahayakan. Dengan menggerogoti kredibilitas media ini, sejumlah orang menginginkan agar apa yang disuarakan Tempo tak perlu di dengar.