Lebaran kedua 2017 (Selasa, 26 Juni), sekitar jam 06:30 WIB saya bersama istri dan dua anak, berangkat ke Desa Mangli, Kecamatan Kaliangkrik, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah yang hanya berjarak sekitar 14 km dari alun-alun. Karena kesiangan, gagal rencana motret sunrise. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (biasa nyari alibi).
Tujuan utamanya ke Gardu Pandang Mangli. Tapi, akhirnya saya
parkir di Gardu Pandang Silancur, yang saat itu saya anggap sebagai Mangli.
Suhu sekitar 17 derajat Celcius. Cukup dingin untuk orang Jabodetabek. Dan
anginnya alamaaakkk. Kuenceng. Apalagi saya tidak memakai jaket. Tapi cadangan
lemak pada tubuh saya mampu menghalau hawa dingin tersebut. (Anak laki saya
akhirnya nyerah dan berlindung di mobil setelah satu jam dihajar angin
kencang).
![]() |
Tiket masuk Gardu Pandang Silancur |
Saya naik ke gardu pandang setelah membeli tiket masuk
seharga Rp5.000 per orang. Pengunjung belum banyak. Hanya ada ada satu mobil
plat B yang parkir di dekat saya dan beberapa motor plat lokal AA.
 Sebelum naik ke gardu pandang yang terbuat dari bambu, saya menyempatkan
diri mengambil beberap foto. Ada spot menarik, lereng Gunung Sumbing diselimuti
kabut tebal yang berarak kencang. Mirip awan di langit Jepang. Biru pekat
dengan awan putih berlarian.
Penyesalan saya karena tidak bisa melihat sunrise terobati
ketika saya bertemu dengan pemilik Gardu Pandang Silancur (GPS). Gardu di atas
bukit kecil ini ternyata milik perorangan, kepunyaan Jarwo (No HP
0856-43229-991). Gardu berada di punthukan paling atas. Sebelum naik ke gardu
ada dua punthukan (gundukan) bukit yang memiliki jalan melingkar. Di jalan
melingkar itu dibangun beberapa gubuk atau gazebo.
![]() |
Brokoli |
Di dekat pintu masuk, berdiri warung mungil dari bambu yang
menyatu dengan tempat penjualan loket. Warung ini menyediakan mie dan kopi instant.
Saya tidak tahu, kalau hari biasa, tersedia gorengan atau tidak. Yang pasti,
saat saya ke sana pagi hari, warung belum buka. Mereka baru berjualan sekitar
pukul 07:30.
"Dinten niki sunrise mboten sae, pak (sunrise hari ini
tidak baik)," kata Jarwo membuka pembicaraan. Lalu, kami ngobrol ngalor
ngidul menggunakan bahasa kromo inggil. Sebagai piyayi Jawa, saya terbiasa
ngomong kromo. Soal tepat atau tidak, nggak perlu dibahas.
Jarwo, pemilik GP Silancur |
Menurutnya, angin kencang baru terjadi dua hari, mulai
lebaran pertama. Di saat saya ngobrol, dua anak saya mengeksplore menggunakan
ponsel masing-masing. Kamera di bawah kuasa saya, mutlak. Â Sambil motret,
saya terus ngobrol, terutama soal konsep bisnis yang tengah dijalankan GPS.
Beberapa orang yang datang ke GPS, menurutnya, sudah
menawarkan modal untuk menyulap tempat tersebut menjadi tempat peristirahatan.
"Tapi saya tidak mau. Saya ingin tanah ini kami kelola bersama anak cucu,"
tegasnya. Saya sempat bertemu juga dengan ayah Jarwo, yang juga datang ke
lokasi.
Untuk menunjang bisnis GPS, Jarwo melibatkan tetangga. Ada
yang membangun lahan parkir mobil di pinggir jalan. Juga kebun-kebun di sekitar
GPS diberdayakan Jarwo untuk melayani pengunjung. Istri saya sempat memetik
brokoli, yang per bijinya dihargai Rp2.500. Lebih murah dibanding harga di
pasar tradisional di Jabodetabek yang menurut istri berkisar Rp9.000. Maaf saya
tidak tahu harga brokoli di pasar tradisional Magelang. Jadi tidak bisa
membandingkan. Juga membeli pohon onclang di dalam polybag. Di sini memang
menjual berbagai sayuran segar. Tidak semua milik GPS, tapi boleh dibeli dan
memetik sendiri. "Di sebelah sana ada stowbery, tapi belum berbuah,"
ujarnya.
![]() |
Gardu Pandang Mangli |
Ia ingin tetangga terlibat dalam bisnis pariwisata ini,
meski menurutnya tak mudah. Padahal, jika mereka bekerja sama niscaya daerah
tersebut bisa berkembang. Ada yang menyediakan homestay bagi masyarakat yang
ingin menginap atau menyewakan tenda bagi yang ingin berkemah. "Banyak
yang ingin menginap di sini, tapi tidak ada penginapan," keluhnya.
Dua hari setelah 'kesasar' ke Silancur, saya benar-benar
mengunjungi Gardu Pandang Mangli. Sayang, saya tak bisa sepagi saat mendatangi
Silancur. Sekitar jam 11:30 saya baru sampai di Mangli. Mobil tidak bisa naik
ke atas. Saya parkir di pinggir jalan, kemudian disambung ojek PP Rp15.000
(biasanya Rp10.000) per orang. Mereka sabar menanti sampai kita puas memotret
(lama pun dia tak protes).
Background awan |
Perjalanan naik dengan ojek lumayan, sekitar 1-2 km dengan
jalan makadam. Tukang ojek yang penduduk asli di situ sudah canggih melewati tikungan
dan tanjakan. Saya disuruh duduk menempel tukang ojek agar berat kendaraan
stabil saat menanjak. Perjalanan naik tak masalah, namun perjalan turun begitu
mendebarkan. Turunan tajam dengan jalan makadam. Bikin deg-degan. Sempat
membayangkan kalau rantai motor itu putus.....Saya, dan juga anak-anak,
berpegang erat pada bagian belakang jok sehingga anak-anak kampung meledek.
"Takut yah...," ujar mereka.
Di Gardu Pandang Mangli terdapat banyak spot untuk berfoto.
Ada gardu yang menempel di pohon dengan latar belakang lereng Gunung Sumbing,
ada yang bersentuhan langsung dengan awan putih sehinga kita serasa sedang naik
pesawat dan menembus awan. Karena siang hari yang terik, hasil jepretan kurang
maksimal.
Berfoto di gardu pandang yang menempel di atas pohon, hampir
mirip dengan foto studio karena latar belakangnya menjadi putih. Itu bukan kain
background di studio tetapi awan tebal di lereng tersebut. Nih hasilnya.
Di sini, banyak tanaman tembakau, kapri, onclang, kol dan
juga strobery. Sebenarnya ada juga air terjun di sekitar situ, tapi saya
memilih tak ke sana karena faktor stamina plus lapar yang menyerang. Anak-anak
mengajak makan kupat tahu di Tahu Pojok, dekat alun-alun. Karena kehabisan,
akhirnya makan kupat tahu di Pak Slamet. ***