Jika selama ini Magelang diidentikkan dengan makanan manis,
seperti getuk dan gudeg, Anda akan kaget ketika menyantap mangut beong di
sekitar Candi Borobudur. Tak ada rasa manis sedikit pun. Hanya gurih dan
pedasss!!!
Sebelum ngomongin soal mangut, kita bahas dulu ikan beong.
Nama beong mungkin asing bagi sebagian orang. Ikan ini hidup di Kali Progo,
mungkin juga di sungai lainnya, yang berhulu di sekitar Gunung Sindoro. Ikan
beong bernama latin Mystus nemurus. Berwarna hitam, memiliki
tiga patil, dan 'kumis' melintang panjang khas ikan lele. Rasanya lebih maknyus
dibanding lele maupun patin. Gurih.
Kendati habitat aslinya di Sungai Progo, tidak banyak warung
yang menyajikan menu ikan beong karena populasinya menurun beberapa tahun
terakhir."Kalau ngandalin Progo susah. Saya dikirim dari Wonogiri dua hari
sekali," ujar perempuan setengah baya di warung tempat saya makan, Omah
Kayoman di Jalan Paren, Progowati, Mungkid, Magelang. Ndak usah tanya
siapa nama ibu itu karena saya tidak sedang mencari berita. Dalam sehari, Omah
Kayoman bisa memasak sampai 30 kg ikan beong.
Menurutnya, ikan beong Progo ukurannya kecil, sedang pasokan
dari Wonogiri ini masih jumbo. "Tuh, beong Progo di akuarium,"
lanjutnya sambil menunjuk akuarium berisi satu ikan beong yang ngumpet di pipa
paralon ukuran sedang sehingga hanya terlihat kumisnya.
Sensasi Pedas
Mangut Kepala Ikan Beong |
Omah Kayoman menyediakan menu ikan beong, patin, nila dan
wader. Tapi mangut ikan beong menjadi pilihan utama sebagian besar pengunjung,
termasuk saya. Beberapa kali makan di tempat ini, saya selalu memesan mangut
beong. Kalau sedang enggan menyantap kepala yang super gede, saya memilih
bagian lain yang lebih kecil.
Kuah mangut berwarna merah sungguh menggoada. Cabai rawit
merah bertebaran di sekitar ikan. Coba ceplus cabai jika ingin merasakan
sensasi pedas yang luar biasa. Santan cair yang direbus dengan cabai membuat
kuahnya juga pedas sehingga rada pedas itu merasuk ke daging ikan. Cita
rasa mangut beong ini unik. Dagingnya tebal dan empuk. Lebih gurih dan tidak
terlalu amis dibandingkan ikan sejenis seperti lele atau ikan patin.
Cara memasaknya, cabai rawit ditumis bersama dengan daun
salam dan serai dalam satu wajan. Cabai sengaja utuh dan tidak dihaluskan
supaya pelanggan yang tidak terlalu suka pedas dapat menyisihkan sebagian
cabainya. Sementara ikan beong digoreng dulu hingga garing. Baru
setelahnya, bumbu mangut dibuat dari racikan bawang merah, bawang putih,
kunyit, ketumbar, dan lengkuas. Aroma harum tercipta dari daun serai dan salam
yang dimasukkan saat merebus kuah. Tambahan tomat dan bawang putih menambah
masakan semakin segar.
Pengunjung lahap. |
Setelah kuah siap, ikan beong yang sudah digoreng garing
dimasukkan ke rebusan kuah selama beberapa saat. Tambahkan santan dalam kuah
setelah mendidih agar bumbu mangut lebih meresap dalam daging dan lebih empuk.
Meski Omah Kayoman cukup terkenal, jangan bayangkan sebagai
sebuah resto besar di mall. Ini hanya sebuah warung makan yang memanfaatkan
rumah pemiliknya. Letaknya pun masuk ke jalan desa. Tempat parkirnya adalah
halaman rumah pemilik warung. Warung berada di samping rumah inti, dengan kursi
plastik dan tempat lesehan.
Menu makanan ditaruh di lemari kaca, layaknya sebuah warteg.
Dengan 'layar sentuh' kita bisa memilih menu yang diinginkan. Meski 'nyempil'
warung ini dikunjungi pelancong luar kota. Beberapa kali ke sana saya selalu
bertemu dengan mobil plat luar kota. Apakah rasanya lebih maknyus dibanding
mangut beong di Sehati, Ndas Beong Kembanglimus atau Omah Mangut? Saya tidak
bisa menjawabnya karena sampai saat ini saya hanya makan mangut beong di Omah
Kayoman. Tunggu saya mencicipi mangut di tempat lain. (Foto: Joko Harismoyo)