Pagi itu (28 Februari 2017), ketika Bentara Budaya baru saja
buka, saya sudah tiba di sana. Sengaja saya tidak menemui kawan lama, wartawan
Kompas yang menjadi General Manager Bentara Budaya, Frans Sartono, karena saya
ingin menikmati kesendirian. Kembali ke masa lalu, ketika saya bermain kapal
klothok atau menggelindingkan pelek sepeda dengan potongan batang pohon atau
bambu.
Melihat anak-anak TK digiring ke Galeri Sisi yang berisi
ratusan gasing dari Nusantara, saya ikut masuk ke situ. Melihat-lihat bentuk
gasing, baik panggang maupun blenthongan, dari Aceh hingga Papua. Gasing-gasing
ini kebanyakan koleksi Endi Agus Riyono, pemerhati dan pelestari permainan
tradisional Indonesia.
Meski banyak gasing berukuran besar yang harus diputar
dengan tali gedhe dengan cara dilempar dari atas, dari bawah atau dikepret,
penjaga gasing di situ hanya mengajarkan bermain gasing dari bambu dan gasing
buah mojo. Kecil dan mudah, karena hanya ditarik dengan benang. Menarik karena
mengeluarkan suara. Gasing bambu seperti itu masih bisa ditemukan di pasar
tradisional atau penjual kerajinan di berbagai tempat wisata.
Di booth gasing ini yang menarik adalah gasing dari Lombok,
Nusa Tenggara Barat. Menampilkan gasing cukup banyak dan proses evolusinya.
Pada awalnya berbentuk blenthongan, lalu secara bertahap menjadi pipih dan
lebar.
Puas melihat gasing, saya masuk ke gedung utama di bagian
tengah. Di sini, banyak anak SD sedang bermain. Ada yang main dakon/congkal,
telepon-teleponan dari benang dan kaleng susu, kapal klothok, lompat tali pakai
karet gelang, bekelan, sundah mandah atau menggambar layang-layang. Ada yang
menggelindingkan pelek sepeda dengan bantuan potongan batang pohon.
Alarm dari kaleng susu |
Ada juga alarm dari bekas kaleng susu. Dulu, saya membuat
alarm dari bekas susu Indomilk kecil dan uang Rp5. Koin itu dilubangi bagian
tengah, lalu dimasukin karet gelang yang dihubungkan ke tiang bambu bagian
kanan dan kiri. Koin itu saya tindih dengan batu. Sementara kaleng saya ikat
dengan benang warna hitam. Saya taruh di dekat masjid di mana ibu-ibu biasa
lewat. Ketika benang itu tersandung kaki, ibu-ibu akan kaget dan mengomel.
Kemarahan ibu dan nenek-nenek itu membuat kami bahagia. Dan ibu atau nenek
paling latah justru menjadi incaran anak-anak.
Anak-anak SD itu tampak riang bermain. Mereka bercakap,
berlari dan sendau-gurau. Suasan yang jarang didapat ketika mereka bermain play
station atau game di ponsel cerdas.
Kapal-kapalan |
Ada juga yang meminta bantuan guru bermain egrang. Guru
memegang bambunya, lalu anak-anak itu naik dan berjalan dengan 'kaki' bambu
tersebut. Yang tak kalah menarik, anak laki-laki mengambil tali di tengah
lapangan. Mereka tarik tambang tanpa ada wasitnya. Sungguh senang melihat
anak-anak bahagia dengan permainan tradisional. Rasanya, ingin kembali menjadi
anak-anak yang bebas berekspresi walau dengan alat-alat yang sederhana. (Foto:
Joko Harismoyo)