Beberapa kali melihat pameran lukisan, termasuk "17/71:
Goresan Juang Kemerdekaan" di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur,
Jakarta Pusat dari 1-30 Agustus 2016, hati saya gembira. Pengunjung banyak,
terutama kalangan muda: pelajar, mahasiswa dan eksekutif muda.
Awalnya saya menduga apresiasi kalangan muda terhadap
lukisan meningkat tajam. Namun, pendapat itu mulai goyah ketika saya sempat
mewawancari beberapa pengola galeri seni di Jakarta. Menurut mereka, memang ada
peningkatan apresiasi seni di kalangan muda, namun belum signifikan.
Amir Sidharta, pemilik Sidharta Auctioneer di Dharmawangsa
Square, Jakarta Selatan mengatakan kesadaran untuk menambah pengetahuan,
apalagi mengoleksi benda seni, belum setinggi yang diharapkan. "Mereka baru
sebatas berkunjung. Namun akan tiba saatnya mereka ingin memiliki benda-benda
seni itu," ujarnya optimis. Entah, berapa lama waktu yang diperlukan untuk
sampai pada tahap yang menggembirakan itu.
Pendapat Amir, setidaknya, tergambar saat saya melihat
pameran lukisan. Banyak pelajar SMA dan mahasiswa yang menonton pameran. Namun,
jarang di antara mereka yang membaca deskripsi lukisan yang dipasang di samping
karya tersebut. Sepertinya, mereka tak tertarik dengan informasi maha penting
itu, seperti ukuran lukisan, bahan cat, tahun pembuatan dan latar belakang
lukisan itu dibuat.
Mereka asyik berfoto di depan lukisan, lalu berbegas
menguploadnya ke media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram maupun Path.
Saat menyetir, radio Prambors, Jakarta menyiarkan acara Desta
Gina in The Morning! Mereka mengangkat tema tempat mana yang kelihatan keren
untuk selfie lalu diupload ke media sosial. Salah pendengar radio mengatakan
dia senang selfie di depan lukisan dalam sebuah pameran. "Kelihatan keren
aja," ujar gadis itu melalu telepon.
Selfie atau wefie di depan lukisan, apalagi lukisan orang
terkenal, terlihat keren. Menumbuhkan imej kalau mereka pecinta seni. Memiliki
olah rasa tingkat tinggi.
Keinginan foto di depan lukisan juga terjadi pada pameran "17/71:
Goresan Juang Kemerdekaan". Untuk masuk ke lokasi pameran, pengunjung
biasa tidak boleh membawa kamera. Mereka hanya diijinkan membawa ponsel. Boleh
memotret tanpa flash dan tidak boleh melebihi batas garis, apalagi menyentuh
lukisan.
Aturan ketat ini diterapkan karena pameran tersebut
menampilkan 28 lukisan terpilih hasil karya 21 pelukis dan sekitar 100 koleksi
foto-foto kepresidenan. Koleksi lukisan Istana Kepresidenan yang ditampilkan
adalah sebagai berikut:
1.
Affandi, Laskar Rakyat Mengatur Siasat, 1946
2.
Affandi, Potret H.O.S. Tjokroaminoto, 1946
3.
Basoeki Abdullah, Pangeran Diponegoro Memimpin
Perang, 1949
4.
Dullah, Persiapan Gerilya, 1949
5.
Harijadi Sumadidjaja, Awan Berarak Jalan
Bersimpang, 1955
6.
Harijadi Sumadidjaja, Biografi II di Malioboro,
1949
7.
Henk Ngantung, Memanah, 1943 (reproduksi
orisinal oleh Haris Purnomo)
8.
8. Kartono Yudhokusumo, Pertempuran di Pengok,
1949
9.
Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro,
1857
10.
S.Sudjojono, Di Depan Kelambu Terbuka, 1939
11.
S. Sudjojono, Kawan-kawan Revolusi, 1947.
12.
S. Sudjojono, Markas Laskar di Bekas Gudang
Beras Tjikampek, 1964
13.
S. Sudjojono, Mengungsi, 1950
14.
S. Sudjojono. Sekko (Perintis Gerilya), 1949
15.
Sudjono Abdullah, Diponegoro, 1947
16.
Trubus Sudarsono, Potret R.A. Kartini, 1946/7
17.
Gambiranom Suhardi, Potret Jenderal Sudirman,
1956
18.
Soerono, Ketoprak, 1950
19.
Ir. Sukarno, Rini, 1958
20.
Lee Man-Fong, Margasatwa dan Puspita Nusantara,
1961
21.
Rudolf Bonnet, Penari-penari Bali sedang
Berhias, 1954
22.
Hendra Gunawan, Kerokan, 1955
23.
Diego Rivera, Gadis Melayu dengan Bunga, 1955
24.
Miguel Covarrubias, Empat Gadis Bali dengan
Sajen, sekitar 1933-1936
25.
Walter Spies, Kehidupan di Borobudur di Abad
ke-9, 1930
26.
Ida Bagus Made Nadera, Fadjar Menjinsing, 1949
27.
Srihadi Soedarsono, Tara, 1977
28.
Mahjuddin, Pantai Karang Bolong, tahun tak
terlacak (sekitar 1950an).
Sebelum
masuk pun diberi wejangan. "Boleh motret tapi gak boleh pakai flash. Di
setiap sudut ada guide yang bisa membantu jika membutuhkan informasi apa
pun," kata penjaga di pintu masuk, setelah lolos pemeriksaan oleh polisi
dan tentara dengan detektor.
Nah,
fungsi guide dalam pameran ini malah berubah. Pengunjung jarang yang bertanya
soal lukisan karena sudah ada info lengkap di samping lukisan. Akhirnya,
pengunjung memanfaatkan guide-guide itu untuk memotret. Mereka berpose di depan
lukisan karya Soekarno, lalu berpindah ke depan lukisan Raden Saleh, dan pindah
lagi. Menyuruh guide di dekat lukisan untuk memotretnya lagi.