Monday 29 January 2018

Manusia Getek

Foto: Adi Murdani

"Saya bisa tiga hari tiga malam berada di atas getek. Tidur beralaskan daun pinang," ujar Engkong, manusia getek dari Depok, Jawa Barat. 

Minggu (28 Januari 2018) sore itu saya mau main ke tetangga yang kebetulan teman kuliah. Sayang, dia tidak ada di rumah. Dari pada bengong di rumah, saya berhenti di papringan, satu-satunya tanah kosong yang ditumbuhi bambu di kampung kami.

Saya duduk berdua dengan engkong. Engkong, ada pula yang memanggilnya baba, adalah penduduk asli kampung situ dan berjualan bambu sejak orde lama. Usia engkong sendiri sekitar 70 tahun. Dia satu-satunya sesepuh asli pria yang masih tersisa.

Tak lama kemudian, datang dua orang lagi. Mereka dan engkong adalah penghuni setia tenda biru di bawah bambu. Kami ngobrol ngalur ngidul. Entah, siapa yang memulai, obrolan sampai pada profesi engkong sebagai penjual bambu.

"Saya mah jual bambu sejak 1965," kata engkong yang berkulit legam dan senang berkaos singlet. Mulailah dia menceritakan zaman bahuela ketika saya belum lahir. Zaman di kala harga bambu masih murah. Tak semahal sekarang yang harga per bijinya mencapai Rp20.000.

Engkong menceritakan belajar membawa bambu getek di atas Sungai Ciliwung sejak 1965, dari Depok (dulu masih Kabupaten Bogor) sampai Kampung Melayu, Jakarta Selatan. Saat pertama belajar, ia menangis karena geteknya menabrak batu dan ikatannya lepas. Dibantu senior, geteknya diperbaiki.

"Kalau airnya cethek (dangkal maksudnya), dari sini ke Panus bisa seharian," ujarnya. Panus yang dimaksud Engkong adalah jembatan di Jalan Tole Iskandar, kira-kira berjarak 5 km. Perjalanan yang melelahkan karena bambu sering nyangkut ke batu atau padas. Harus pandai-pandai mengendalikan getek.

Kalau kondisi arus air sedang, jam 06:00 berangkat dari Depok, sampai Kampung Melayu sekitar jam 16:00. "Kalau banjir lebih enak karena jam 12:00 sudah sampai," ujarnya seraya terawa terkekeh-kekeh. Kami bertiga mendengarkan dengan seksama. Kadang bertanya pada engkong.

Untuk menempuh perjalanan tak tentu waktunya itu, engkong selalu membawa bekal makan. "Tidur mah ngampar aja di atas bambu. Alas pakai daun pinang. Kena air tidak basah," ujarnya sambil menunjuk daun pinang di depan kami.

Beberapa peristiwa menyeramkan pernah dialami engkong. Misalnya, saat ia tidur ular sancha lewat di atas perutnya. Ia harus menahan nafas sampai ular itu berlalu. Kemudian, pernah pula melihat buaya. "Buaya itu makan nyamuk. Mulutnya dibuka lebar-lebar. Kalau sudah penuh, menyelam selama beberapa menit, kemudian muncul dan kembali membuka mulutnya," lanjut engkong.

Kami heran dan bertanya kenapa buaya tidak menyantap engkong yang tentu lebih mengenyangkan dibandung ratusan atau ribuan nyamuk selakipun.

"Nah, ini ada cerita. Menurut orang-orang tua, saat tahun dua. Saya gak tahu apa yang dimaksud dengan tahun dua," ujarnya menegaskan agar kami tidak menanyakan yang dimaksud dengan tahun dua itu. Entahlah, apa artinya.

Singkatnya, tahun dua itu, ada seorang bocah di Bogor yang terseret arus banjir. Konon, anak itu nyangkut di akar pohon di Pondok Cina. Kemudian diselamatkan oleh manusia getek dan dibawa sampai ke Lenteng Agung. Orang tua si bocah mencari dan menemukan anaknya selamat berkat pertolongan manusia getek.

"Mulai saat ini manusia getek tak akan diganggu siapapun, Yang penting loe bisa jaga diri," kata orangtua si bocah pada manusia getek. Dan sejak itu, manusia getek tak pernah diganggu ular, buaya maupun hantu.

Buktinya engkong yang beberapa puluh tahun menjadi manusia getek tetap aman. Tak pernah dimangsa ular, biawak maupun buaya, ***

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...