Sunday 16 September 2018

Akhirnya membuat pupuk dari sampah organik sendiri...

Foto: Joko Harismoyo
Gara-gara ulah dan sikap segelintir orang, tukang sampah organik itu tak mau mengambil lagi sampah dapur di sekitar tempat tinggal saya. Padahal, kebiasaan memilah sampah organik dan nonorganrik sudah berlangsung cukup lama sejak berdirinya bank sampah.

Setelah ditelusuri keengganan tukang sampah itu disebabkan beberapa warga membuang sampah organik berikut tas plastiknya. Padahal, sudah diwanti-wanti plastik dilarang keras masuk tong agar memudahkan proses berikutnya. Yang lebih parah, ada yang membuang pempers (popok instan) berikut isinya. Ini yang benar-benar membuat mereka geram dan ngambek.

Solusi sementara, semua sampah kembali digabung, dan diangkut tukang sampah. Saya tidak mau mundur dalam bersikap. Kebiasaan memilah sampah harus dilanjutkan. Tak peduli, jika akhirnya kembali digabung oleh tukang sampah. Lama-kelamaan, sayang juga sampah yang sudah saya pilah jika akhirnya tak berguna.

Saya putusakan untuk membeli komposter. Saya mulai berburu di Google. Menemukan lokasi yang tak jauh dari rumah, yaitu di Tapos, Depok. Tidak sampai 10 km. Sehabis antar si kecil yang mau pesta ultah ke-17 temannya, saya meluncur ke Tapos. Rumahnya tak jauh dari Situ Jatijajar. Dengan bantuan Google Map, saya sampai di situ dan parkir di tenpat tersebut karena tidak bisa parkir di depan rumah Greenhouse Sri Murti.

Ternyata tidak ada stock barang. Semua komposter pesanan orang lain. Namun, Bapak Nurdin, berjanji bisa mengirim ke rumah saya esok hari dengan tambahan ongkos Rp30.000. Harga satu paket (tong dengan pintu 60 liter, pupuk EM4 dan sprayer) adalah Rp420.000. Benar, siang hari beliau sudah sampai ke rumah dengan barang pesanan saya.

Mulailah saya memproduksi pupuk kompos dengan bahan sampah dapur. Jika ini berhasil, akan saya tularkan ke lingkungan supaya warga lain ikut memproduksi juga. Apalagi dua tetangga saya sedang menekuni bisnis pohon bonsai sehingga membutuhkan pupuk. Jika mereka bisa membuat sendiri, bukan hanya menekan biaya produksi tetapi juga membuat lingkungan bersih. Bebas dari bau sampah.

Sampah memang menjadi problem di tempat kami. Beberapa perumahan di lingkungan kami tidak memiliki tempat pembuangan sampah. Akhirnya, tanah kosong di dekat masjid dijadikan tempat pembuangan sementara. Tukang sampah keliling mengambil sampah dari rumah ke rumah dan membuangnya ke lahan tersebut.

Dua kali dalam seminggu, Dinas Kebersihan Kota Depok mengambil sampah tersebut. Tetapi tetap saja tidak bisa tuntas sehingga sisa sampah yang ada menimbulkan bau tak sedap. Pendirian bank sampah sudah sedikit mengiurangi volume sampah karena botol, kertas dan barang lain yang bernilai ekonomis tidak dibuang, tetapi dijual.

Sebenarnya, pemilahan sampah organik dan nonorganik mampu mengurangi bau. Tetapi, dengan penghentian sepihak menyebabkan problem lagi. Mengadu ke Pemkot atau anggota Dewan? Kelamaan! Di tahun politik ini mereka sibuk memikirkan suara dalam pemilu. Untuk mengubah, bisa dimulai dari diri sendiri kemudian lingkungan terdekat. Tidak perlu muluk-muluk bicara soal lingkungan seperti anggota dewan yang terhormat itu. Mulailah bekerja dengan senyap, dari diri sendiri! ***

No comments:

Post a Comment

Bukan Hitam Putih

  Michelin adalah perusahaan ban asal Prancis. Ketika penjualan ban melempem, sekitar 1900-an, mereka malah menerbitkan buku panduan restor...